21. F12

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna tidak langsung pulang ke rumah setelah ia menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Wanita berusia 27 tahun itu malah duduk santai di sofa ruang tamu rumah orang tuanya. Ia menyandarkan tubuhnya dengan posisi tangan terbentang.

"Yujin mana, Sayang?" Bunda bertanya dengan lembut begitu duduk di samping putri semata wayangnya.

"Ya, tanya aja sama dia. Kok, nanya aku, Bun." Jenna sewot.

"Kamu, kan, istrinya. Walaupun ini rumah kamu, seharusnya kamu datang sama Yujin atau seenggaknya izin sama dia. Barusan Bunda telepon Yujin lho. Katanya dia mau jemput kamu ke kantor. Eh, kamunya malah di sini."

"Sejak kapan Bunda jadi akrab banget sama itu Jin Tomang?"

"Kamu nggak boleh panggil Yujin begitu, dia suami kamu sekarang."

Jenna meringis. "Anggep aja panggilan sayang, Bun. Aku ke sini mau ambil mobil, sekalian mau numpang makan di sini. Makan malem sama Yujin nggak asik."

Suara dehaman dari belakangnya membuat Jenna menoleh. Wanita itu langsung bangkit dan memeluk Ayah yang baru keluar dari kamar. "Tumben jam segini Ayah udah di rumah."

Ayah tersenyum. Senyuman yang lama Jenna rindukan. Mata cokelat milik pria baya itu kelihatan lebih cerah dari biasanya. "Ayah ada janji makan malam sama menantu."

Jenna melongo, lalu ia menatap Bunda untuk meminta penjelasan.

"Bunda tadi telepon Yujin buat ngundang kalian makan malam di sini."

Jenna menarik napas panjang. Kemudian, ia meniup poninya sambil mendengkus kesal. Kekesalannya semakin bertambah ketika ponselnya berdering dan layar ponsel tersebut menampilkan nama Yujin.

Jenna melangkah menjauh dari orang tuanya agar bisa melontarkan makian kepada suaminya. "Heh, Jin Tomang! Lo nggak bisa kasih alasan apa gitu ke Ayah sama Bunda gue, biar lo nggak usah datang ke sini?"

"Emangnya kenapa? Bukannya bagus kalau gue makan malam sama keluarga lo? Dengan begitu mereka pasti nganggap kalau hubungan kita baik-baik aja."

"Nggak ada di untungnya di gue. Kalau bisa, gue malah pengen nunjukin ke Ayah, kalau gue dan lo itu nggak cocok dan kita bisa segera mengakhiri hubungan ini."

"Jenna, lo tahu isi perjanjian kita, 'kan? Pernikahan ini harus bertahan seenggaknya selama 3 bulan. Gue bisa di depak dari kantor dan negara ini kalo kita buru-buru pisah. Hari ini, gue baru aja dapat kepercayaan untuk megang satu project. Tolong kerja samanya."

"Setelah gue pikir-pikir, yang beruntung cuma lo doang. Gue nggak dapat apa-apa dari pernikahan ini."

"Oh, tentu saja, lo salah. Lo beruntung karena pernah punya suami cowok ganteng pake banget."

Jenna bergidik ngeri. Ia menggeliat saking tidak sukanya. "Idih, amit-amit. Lo pede banget, sih?"

"Lo dapat sesuatu juga. Seenggaknya, lo buat Ayah sama Bunda bahagia. Mereka kedengaran happy banget waktu telepon gue."

Jenna terdiam. Ia tidak berniat mendebat. Matanya beralih menatap kedua orang tuanya yang kelihatan sedang bercanda sambil tertawa bahagia.

Yujin tiba di rumah orang tua Jenna, satu jam kemudian. Ia sudah tidak mengenakan kemeja biru muda yang ia pakai untuk ke kantor, tetapi pria itu kini mengenakan kemeja kuning bercorak daun. Dalam hati Jenna ingin mengatakan kalau tampilan Yujin terlihat norak. Namun, belum sempat ia mengejek, Bunda sudah memuji Yujin.

"Menantu Bunda ganteng banget pakai baju ini."

"Oh, iya, dong. Siapa dulu yang kasih bajunya? Mertua kesayangan." Yujin tersenyum hingga matanya membentuk lengkungan. Setelah memeluk Bunda singkat, Yujin berjabat tangan dengan Ayah. Jenna cukup terkejut ketika melihat Ayah merangkul Yujin lebih dulu.

Ketika mereka sudah duduk di meja makan, Jenna mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Lo pakai pelet apaan? Kok Ayah sama Bunda lengket banget sama lo?"

Yujin tertawa kecil dan malah memasukan makanan ke mulut. Ia kelihatan tidak berminat menjawab pertanyaan Jenna.

"Jadi, kalian nggak mau bulan madu dulu?"

Jenna sampai tersedak mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Ayah.

Bukannya panik, Yujin malah menyeringai, tetapi tangannya tetap menyodorkan minum pada Jenna.

"Aku kerja baru 3 bulan, Yah. Jadi, belum dapat jatah cuti. Mungkin nanti setelah masa percobaan selesai, aku bisa coba ajuin cuti."

"Ayah tunggu, ya. Nanti biar Ayah yang siapkan, kalian pilih lokasi saja. Anggap hadiah pernikahan."

Jenna menyenggol lengan Yujin untuk memberi tanda kalau ia tidak setuju dengan ide tersebut, tetapi pria itu malah mengangguk setuju.

"Siapa tahu pulang-pulang bawain kita cucu, ya, Yah?"

Kini Yujin yang terkejut. Ia langsung menelan makanan yang ia kunyah dan menghabiskan segelas air untuk melegakan tenggorokannya.

"Makanya jangan diterima. Lo, sih!" Jenna berbisik, lalu menendang kaki Yujin sekuat tenaga.

"Kenapa, Yujin?" Bunda bertanya setelah Yujin mengaduh pelan.

"Nggak apa-apa, Bun." Yujin memaksakan senyumnya.

***

Hari Minggu sudah tiba, Yujin tengah bersantai di ayunan belakang ketika Jenna berlari ke arahnya sambil memegang selembar kertas.

"Kenapa? Kok, sampe lari-lari?"

Jenna mengangkat selembar foto yang kelihatan sudah termakan usia. Tepi kertas foto tersebut sudah menguning. "Lo masih nyimpen foto ini?"

Yujin menyipitkan mata, tetapi ia tetap tidak bisa melihat foto itu dengan jelas. Selembar kertas itu terdiri dari empat buah foto yang tersusun memanjang. Yujin mengambil foto tersebut dengan cepat. "Sini."

"Gue benci banget sama lo karena nggak kasih gue foto itu. Bisa-bisanya lo simpen sendiri." Jenna langsung berkacak pinggang.

Yujin melihat foto itu dengan seksama. Kemudian bibirnya tertarik. Tipis. Hampir tidak terlihat. "Lo dapet dari mana?"

"Dari buku yang ada di kamar lo."

Ekspresi Yujin langsung berubah drastis. "Lo masuk ke kamar gue?"

Sadar kalau Yujin kelihatan tidak suka, Jenna langsung mencari alasan. "Lo juga masuk-masuk kamar gue! Masa gue nggak boleh masuk kamar lo?"

"Ini rumah gue."

Jenna berdecak. "Ini juga rumah gue."

"Jangan masuk kamar gue sembarangan!" Yujin tidak mau kalah.

"Gue nggak masuk ke kamar lo sembarangan. Gue abis taro jelly. Kayaknya mood lo lagi nggak bagus. Gue liat buku itu nggak sengaja. Setelah gue buka, gue liat nama gue di sana. Udah minjem, nggak tahu diri. Sepuluh tahun, ya, lo nggak ngembaliin buku itu ke gue. Terus sekarang lo mau marah-marah cuma karena gue masuk kamar lo? Gue nggak akan pernah masuk kamar lo lagi!" Jenna menjelaskan semua dengan penuh emosi. Mata besarnya sampai berkaca-kaca karena kesal.

Yujin merasa bersalah, tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Ia malah berbicara pada dirinya sendiri. "Gue emang selalu sejahat itu buat lo."



Aloha!

Tiada hari tanpa bertengkar memang dua manusia ini.

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

Jin Tomang yang suka cari gara-gara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro