3. CTRL + V

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat masuk, Jenna disambut oleh Gia yang sedang duduk sendirian di salah satu kursi di ruang tunggu sambil memainkan ponsel. Wanita tamboi itu terlihat anggun dengan gaun biru muda yang membalut tubuhnya. Wajahnya kelihatan serius memandangi ponsel sampai tidak menyadari kehadiran Jenna. 

"Gia." Jenna memanggil dengan senyum terbaik yang ia punya. 

Reaksi pertama Gia adalah terperangah. Ia belum pernah melihat Jenna secantik ini. Jenna mengenakan gaun putih dengan brokat yang membalut bagian dada. Gaun yang dipakainya menampilkan lekuk bahu dengan indah. Sebuah mahkota kecil dan beberapa jepit menghiasi rambut yang tergerai. 

"Ah, lo kelihatan cantik banget." Gia bangkit dari duduknya dan memeluk Jenna. 

Kedatangan Jenna diikuti oleh dua orang berpakaian formal yang membantunya untuk membenahi mekap dan tatanan rambut. Wanita itu langsung duduk di sofa yang berada di tengah ruangan itu.

"Udah lama sampainya?" Jenna bertanya pada Gia yang kelihatan masih memandangnya dengan kagum. "Jangan liatin gitu. Malu gue."

"Lo cantik banget." Gia tersenyum sambil terus memandangi sahabatnya.

Jenna tertawa bahagia. Gia adalah salah satu orang yang paling ia butuhkan di saat penting. Wanita itu sudah menjadi teman baiknya selama tujuh tahun terakhir. Meski sudah berteman lama, ini adalah kali pertama Gia bertemu dengan Saka. Kesibukan keduanya membuat mereka belum bertemu hingga acara ini berlangsung. 

"Gue udah lihat dekorasinya. Cantik banget. Sesuai sama yang lo mau, 'kan?" Gia bertanya sambil menaikkan alis.

"Siapa dulu yang cari EO-nya?" 

"Tentu, Giasefana." Percakapan mereka ditutup dengan tawa. 

Jenna yang didampingi Gia, berjalan memasuki aula setelah jarum jam menunjuk pukul sebelas tepat. Acara pertunangan akan dilakukan pukul dua belas siang. Satu jam sebelumnya, Jenna diminta untuk menyapa semua tamu undangan yang notabenenya adalah keluarga dan teman dekat. Gaun yang dikenakan Jenna tidak menghambat pergerakan wanita itu sama sekali. Ia bergerak lincah menghampiri hampir semua tamu yang hadir.

"Gia, kenalan dulu sama temen Mami." Seorang wanita yang mengenakan baju dengan warna senada dengan Gia memanggil sambil melambai.

"Halo, Bunda." Gia memeluk dan cipika-cipiki dengan Bunda. Kemudian wanita itu menyalami teman-teman Mami yang lain.

"Saya sudah kenal Gia, dia ini salah satu sahabat Jenna yang paling dekat." Bunda berbicara sambil mengusap punggung Gia. 

Jenna tahu kalau Gia sangat nyaman dengan Bunda, bahkan mereka pernah makan siang bersama tanpa mengajaknya. Menurut Jenna, hal itu adalah pengkhianatan yang manis. Namun, ia senang kalau Bunda dan sahabatnya bisa akrab seperti teman.

"Oh, ya? Pantes tadi Mami ajak, kamu nggak protes."

Gia hanya membalas dengan cengar-cengir. 

"Anak laki-laki kamu nggak ikut? Katanya mau dikenalin sama kita-kita?" Salah satu teman Bunda bertanya.

"Emang lo punya saudara laki-laki?" Jenna bertanya sambil berbisik.

"Oke, pembicaraannya mulai nggak penting. Ayo, ke sana." Wanita berbaju biru muda itu menarik Jenna ke meja lainnya yang belum mereka datangi. 

Satu jam berlalu dengan sangat cepat. Hampir semua tamu sudah tiba. Keluarga pihak pria juga sudah datang memenuhi ruangan. Namun, ada satu yang kurang. Jenna tidak bisa menemukan Saka di antara orang-orang itu. 

"Ma, Saka mana?" Jenna berbisik pada ibu Saka.

Wanita yang juga kelihatan khawatir itu sempat menelan salivanya sebelum menjawab pertanyaan Jenna. "Tadi dia berangkat pakai mobil yang terpisah. Katanya biar nggak terlambat. Mama juga kaget, Saka belum sampai."

Ayah yang bisa melihat kekhawatiran Jenna, segera meminta tolong pada Gia untuk mengamankan Jenna ke ruang tunggu. Gia yang sudah siap siaga, langsung mengarahkan Jenna ke ruang tunggu yang berada terpisah dengan aula gedung.

Gia mengerahkan segala kemampuannya untuk terlihat baik-baik saja. Sedikit kekhawatirannya pasti akan membuat Jenna runtuh. "Saka pasti masih di jalan."

Jenna mulai menggigit kukunya. Salah satu tangannya memegang ponsel sambil melakukan panggilan. Sudah hampir setengah jam sejak telepon pertama dilakukan. Kaki kanan Jenna terus bergerak mengetuk lantai. Hal ini membuat Gia jadi gugup.

"Saka bukan tipe orang yang bakal terlambat. Kalau ada apa-apa sama dia gimana, Gia?" Jenna bertanya dengan mata berkaca-kaca. Wanita yang dua jam lalu tersenyum cerah, kini kelihatan sangat berantakan. 

"Lo tenang. Ayah sama orangnya Mami lagi berusaha cari Saka. Dia pasti baik-baik aja. Oke?" Gia memegang kedua lengan Jenna untuk menguatkan. 

Dengan tangan gemetar, Jenna terus melakukan panggilan. Namun, setiap panggilannya tidak dijawab, ketukan kakinya semakin cepat. 

"Cukup. Jangan telepon lagi." Gia merebut paksa ponsel milik Jenna karena takut sahabatnya itu akan semakin cemas.

Air mata Jenna pecah seketika. Tangisannya mirip seperti anak kecil yang baru diambil permennya. "Lo nggak akan bisa jamin dia datang, 'kan? Jangan pura-pura semua baik-baik aja."

Setelah tangis Jenna pecah, Gia jadi merasa bersalah. Ia mengembalikan ponsel Jenna dengan hati-hati. Jenna kembali berusaha menghubungi nomor Saka, tetapi yang didapati hanya pemberitahuan kalau nomor itu tidak aktif. 

Setelah dua jam dan Saka tak kunjung datang, akhirnya acara dibubarkan.  Jenna masih menangis ketika ibu Saka menghampirinya untuk meminta maaf. Namun, semua kesalahan ini tidak bisa diselesaikan begitu saja. Ayah yang sudah terlanjur marah memilih untuk segera mengusir keluarga Saka. 

Setelah perdebatan kecil itu selesai, Ayah menghampiri Jenna yang masih menangis dalam pelukan Gia. Ayah menatap Jenna sebanyak yang ia mau. Tatapan marah tadi sudah hilang sepenuhnya, kini mata cokelat itu juga mulai berkaca-kaca. Begitu siap, Ayah memberi kode pada Gia untuk melepaskan pelukannya dan Ayah mengambil alih posisi itu.

"Maafin Jenna, Yah." Jenna menangis sejadinya. "Maaf."

Ayah membingkai wajah Jenna dengan tangan dan menatap anak semata wayangnya dengan senyuman yang membuat Jenna semakin merasa bersalah. "Anak Ayah nggak pernah salah. Ayah yang salah. Ayah yang memberikan izin. Ayah yang salah." 

Pasangan ayah anak itu berpelukan cukup lama hingga tangis keduanya reda. Bunda juga menangis di pelukan Mami. Kejadian hari ini tidak akan pernah dilupakan oleh Jenna. 

***

Yujin duduk bersama Joel di kafe dekat dengan sekolah mereka semasa SMA. Joel adalah teman dekat Yujin sejak kecil. Hal itu juga yang membuat Gia dekat dengan Joel. Tidak jarang Gia memilih untuk bersekutu dengan Joel untuk menjahili Yujin. 

"Kak Gia tambah absurd tahu nggak." Yujin mengeluh sepenuh hati.

"Nggak tuh, gue baru ketemu dia minggu lalu dan dia masih secantik itu." 

"Lo kalau suka sama kakak gue, bilang aja. Mumpung dia jomlo." Yujin mengejek.

Keduanya sibuk bernostalgia sambil menyeruput kopi. 

Tanpa ada aba-aba, Joel berkata, "Lo masih inget Jenna?"

Yujin berhenti menyesap kopinya.

"Dia tunangan hari ini."

Yujin langsung tersedak. Kemudian ia batuk-batuk heboh. 

Aloha!
Makasih, ya, buat yang mau baca dan berkenan vote.

Joel yang cinta sepihak sama Gia selama dua puluh tahun.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro