4. DELETE

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bukannya membantu, Joel malah tertawa karena Yujin kelihatan begitu kaget. Setelah puas tertawaa, laki-laki jangkung itu bangkit untuk memesan air mineral. Ia menyodorkan air tersebut pada Yujin yang masih sibuk berdeham.

"Sekaget itu lo denger Jenna tunangan. Jangan-jangan lo pernah suka sama Jenna?" Joel tersenyum meledek.

Yujin menerima air mineral kemasan itu dan segera meminumnya hingga habis. Air mineral itu cukup membantu melegakan tenggorokannya. "Ya, masa lo nggak kaget? Seorang Jennaya bisa tunangan? Wah, gue prihatin banget sama calon suaminya. Ternyata ada yang mau juga sama cewek barbar itu."

Joel menyeringai. "Kayaknya kalimat lo perlu dikoreksi. Siapa yang nggak mau sama Jenna? Dia cantik, baik, ceria, belom lagi sekarang kerjaannya bagus."

Yujin mengerutkan dari. Ia menatap Joel lekat-lekat. Raut wajahnya terkesan serius. "Lo sebenernya suka sama kakak gue apa sama Jenna?"

"Pengen banget lo jadi ipar gue?" Joel tertawa sampai bertepuk tangan karena kegirangan.

Yujin tidak menjawab. Laki-laki bermata sipit itu malah menatap Joel sinis.

"Dari zaman SMA, Jenna udah populer kali. Lo aja yang nggak nyadar. Kakak tingkat, temen sekelas, sampe adek tingkat juga banyak yang deketin dia." Joel bercerita sambil memandang ke arah lain. Suaranya semakin pelan ketika kalimatnya hampir selesai. 

"Perasaan pas SMA dia nggak pernah pacaran. Jenna anti banget sama pacaran." Melihat Joel yang tidak memperhatikannya, Yujin jadi melihat ke arah yang sama. 

Seorang wanita dengan blus putih dan rok mini memasuki kafe. Blus putih tipis yang membalut tubuh wanita itu tidak mampu menutupi warna bra yang digunakan. Sepatu bot hitam yang digunakannya menambah kesan kuat. Mekap yang digunakan membuatnya lebih berkarisma.

Joel mulai panik ketika wanita itu semakin dekat dengan meja mereka.

"Oh, hai." Wanita itu berhenti tepat di meja mereka.

"Hai." Joel menjawab pelan dan menatap Yujin sambil berusaha menyampaikan pertanyaannya dengan tatapan mata. 

"Akhirnya, kamu balik lagi. Untuk berapa lama?" Wanita itu menarik kursi dan duduk bersama mereka.

"Nggak ada urusannya sama lo!" Yujin menjawab dingin. "Ayo, cabut." 

Tanpa menunggu lama, Joel langsung bangkit berdiri. Yujin mengambil ponselnya di atas meja dan segera beranjak dari sana. Namun, langkahnya berhenti karena lengannya ditahan oleh wanita tadi.

"Urusan kita belum selesai." Wanita itu bangkit berdiri.

Yujin menghempaskan tangannya dengan kasar. "Nggak ada lagi kita. Urusan gue sama lo sudah selesai satu tahun lalu. Gue sudah punya pacar di Jepang."

Kata-kata Yujin membuat wanita itu terduduk. Tanpa peduli, Yujin langsung meninggalkan wanita itu. Gerakannya diikuti Joel dengan sigap.

Begitu mereka berdua masuk ke mobil, Joel langsung mengembuskan napas lega. "Itu cewek beneran Carissa?"

Yujin bersandar dan menghela napas. Ia memejamkan mata untuk menenangkan diri. "Gue nggak ngerti kenapa dia masih muncul dan cari gue."

"Mungkin karena rasa bersalah?"

Pertanyaan Joel membuat Yujin membuka mata.

"Dia selingkuh dari lo. Nggak cuma sekali, tapi tiga kali. Ya, mungkin dia ngerasa belom selesai sama lo karena lo yang mutusin. Eh, tapi gue nggak pernah denger kalau lo punya pacar di Jepang. Tipe yang gimana, nih? Cewek cute atau modelan Carrisa tadi?" Joel jadi semangat.

"Yang jelas dia cantik." Yujin tersenyum. Ia memasang seatbelt dan menyalakan mobil.

***

Gia berjalan cepat ke area parkir mobil. Ia sudah berpisah dengan Mami. Wanita ber-dress biru muda itu harus bergegas untuk menyusul Jenna dan keluarganya. Di saat seperti ini, jadi pendamping Jenna adalah prioritasnya. Gia sudah membatalkan janji pemotretannya hari ini hanya untuk menemani Jenna seharian.

Gia baru masuk ke mobil ketika ponselnya berdering. Dengan satu gerakan mengusap, suara dari telepon terdengar.

"Halo, anak Papi. Yujin sudah di rumah, ya?"

Gia menghela napas. "Kalau Papi cuma mau nanya tentang Yujin, telpon dia. Jangan telpon aku!" 

"Kayaknya kamu lagi nggak mood, ya?" Papi bertanya dengan nada khawatir.

"Sorry, Papi. Aku lagi buru-buru. Nanti aku telepon lagi." Gia memutuskan sambungan telepon itu dan melemparkan ponselnya ke jok penumpang.

Begitu tiba di rumah Jenna, Gia langsung masuk dan menuju kamar Jenna. Pintu kamar itu ditutup rapat dan dikunci dari dalam. Gia langsung bertanya pada Ayah dan Bunda yang duduk tidak jauh dari sana.

"Dia pasti butuh waktu sendiri." Ayah berbicara pada Gia yang kelihatan khawatir.

"Jenna nggak akan bisa hadapi ini sendiri. Dia pasti bakal menyalahkan diri sendiri." Gia berseru panik. Tidak lama setelah kalimatnya selesai, sebuah suara kaca pecah terdengar dari kamar itu.

Ketiga orang yang ada di sana langsung menghambur ke depan pintu. 

"Jenna, please, buka pintunya. Gue ada di sini, buat lo." Gia berteriak sambil menggedor pintu. 

Ayah yang mencari kunci serep langsung berusaha membuka pintu setelah menemukannya. Namun, pintu tersebut tetap tidak bisa dibuka. 

"Kuncinya pasti gantung di dalam." Ayah berbicara panik. Bunda sudah menangis karena khawatir. 

Gia ingat kalau kamar tamu yang ada di samping kamar Jenna memiliki balkon yang terhubung dengan kamar Jenna. Wanita itu langsung berlari dan melompati pagar pembatas yang ada di balkon. Dengan cepat, ia sudah tiba di kamar Jenna. Gia sempat membeku di tempat karena melihat bingkai foto yang berserakan di lantai. Namun, ia langsung lega ketika melihat Jenna yang berbaring di tempat tidur dan kelihatan tidak terluka fisik.

"Jenna." Gia menyentuh lengan Jenna dengan hati-hati. Gerakannya direspons cepat. Wanita bergaun putih itu mengubah posisinya menjadi duduk.

"Gue kelihatan jelek, ya?" Jenna bertanya sambil terisak-isak.

Gia tersenyum sambil merapikan rambut Jenna yang berantakan. "Lo selalu cantik, Jenna. Selalu. Lo nggak perlu menyalahkan diri lo sendiri. Gue orang yang paling tahu baiknya lo. Lo sudah melakukan yang terbaik. Semua yang terjadi hari ini, bukan salah lo. Siapa yang berani nyalahin sahabat gue? Sini berhadapan sama gue!" 

Jenna tersenyum di tengah tangisnya. 

"Gue bakalan nginep di sini,  buat nemenin lo." Gia membersikan kekacauan yang dibuat oleh Jenna.

"Nggak. Lo ada pemotretan hari ini." Tangis Jenna mulai mereda.

Gia tersenyum. "Gue udah tunda semuanya. Lo tenang aja. Gue ada di sini, buat lo."

Malam itu, Jenna dan Gia menghabiskan waktu dengan menenggak minuman beralkohol. Keduanya lebih banyak diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Namun, mereka tahu kalau hening yang tercipta di antara mereka adalah sebuah kenyamanan. 

Gia bangun perlahan dari tidurnya. Ia mengedip lambat, tetapi matanya langsung membelalak ketika melihat Jenna yang sudah berpakaian rapi. "Lo mau ke mana?" 

"Ke kantor." Jenna menjawab santai.

Gia langsung bangkit berdiri. "Lo yakin mau ngantor?" 

Jenna mengangguk. "Hidup gue harus tetap berjalan, 'kan?" 

Aloha!
Makasih buat yang mau baca dan berkenan vote.

Jenna, Gia dan seseorang yang belum dikenalkan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro