34. CTRL + F11

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Senyuman di wajah Joel tidak mampu membayar rasa kesal Yujin. Pria yang mengenakan kaus abu-abu itu kini melipat tangan di dada dan menatap sahabatnya sinis. Yujin sempat celingak-celinguk untuk memastikan kalau tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka. Kemudian ia langsung merangkul Joel dan mengunci leher pria jangkung itu dengan tangannya.

"Bisa-bisanya, lo bohongin gue!"

Joel mengaduh sambil menepuk tangan Yujin yang mengunci lehernya.

"Gue udah booking hotel buat lo mabok-mabokan sampai puas, terus ternyata cowok yang muncul di rumah gue itu lo." Yujin sudah murka. Ia menjentikkan jari ke dahi Joel dengan sekuat tenaga.

Bukannya meringis, Joel malah tertawa pelan. Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Yujin melepaskan Joel.

Kini pria jangkung itu tengah batuk-batuk sambil memegangi leher. "Lo beneran mau bunuh gue?"

"Ye, kalo gue beneran mau bunuh lo, ngapain gue lepasin?" Pria berambut tebal itu melangkah mendekati Joel. Hal itu membuat Joel langsung mundur dua langkah. "Gue penasaran sama satu hal, Tyas gimana?"

Mendengar pertanyaan sahabatnya, pria jangkung itu langsung mendekat. "Janji dulu, lo nggak bakal mukul gue lagi."

Yujin mengepalkan tangan dan meninju udara. "Oke."

"Gue udah cerita sama Gia dan dia heboh banget pas tahu." Joel menarik kursi yang ada di teras. Kemudian ia duduk dengan santai. Hal itu diikuti oleh Yujin yang tadinya berdiri di ujung teras. "Tyas itu, sepupu gue."

"Sialan." Yujin mengumpat sepenuh hati.

Joel tertawa. "Sorry, Bro. Gue nggak mungkin nyeritain ini ke lo sebelumnya. Secara, lo adiknya Gia."

"Lo bener-bener, ya? Di saat gue panik mikirin keadaan lo, ternyata lo udah jadian sama kakak gue. Setelah gue tahu lo jadian sama Gia, gue khawatir sama Tyas. Terus sekarang, lo bilang kalau Tyas itu sepupu lo? Jadi, lo mau bilang kalau lo bohongin gue?"

Pria bertubuh jangkung itu mengangguk sambil tersenyum bodoh. "Oke, gue akuin gue salah karena sudah bohongin kalian, tapi dengan begitu, gue jadi tahu kebenarannya."

"Kebenaran kalau Gia ternyata suka sama lo? Cara lo nggak sehat, Bro."

Joel mengangguk. "Sebenarnya gue masih punya beberapa rahasia, tapi hal itu enggak akan bisa dibilang rahasia kalau lo tahu, 'kan?"

"Sejak kapan Joel yang gue kenal jadi sosok misterius kayak gini?"

"Sejak dulu sebenarnya. Lo ingat siapa yang nyaranin lo buat kontrak Jenna jadi pacar lo waktu SMA?"

Pertanyaan itu menarik ingatan lama Yujin. Ia sudah mengatakan pada wanita yang mengajarnya, kalau ia memiliki pacar, tetapi gadis itu masih tidak percaya. Akhirnya, Joel menyarankan untuk menyebutkan nama Jenna dan mengontrak gadis itu untuk menjadi pacar sewaan selama beberapa hari.

"Gue, 'kan?"

Yujin mendengkus. "Sekarang gue juga kejebak kontrak sama Jenna gara-gara lo!"

Joel tertawa. "Gue nggak ngerasa menjebak kalian. Kalian punya kesepakatan yang saling menguntungkan. Terus, masalahnya di mana? Kalau kalian cocok, toh, tinggal lanjut aja, 'kan?"

"Cocok apanya? Gue nggak ada cocok-cocoknya sama Jenna. Lagian, Mina juga udah pindah ke sini. Kayaknya dalam waktu dekat gue sama Jenna bakalan pisah."

Suara teriakan dari pintu depan membuat punggung Yujin menegang. Namanya tengah diteriakkan oleh Papi dengan nada penuh kemarahan. Pria yang mengenakan kaus abu-abu itu sempat membeku di tempat, hingga Joel menepuk pundaknya.

"Lo dipanggil bokap."

"Yujin! Ke sini sekarang!"

Suara teriakan penuh amarah itu membuat Yujin sedikit gemetar. Ia melangkah ke ruang tamu dengan perasaan kacau. Ia bisa melihat kalau semua orang sudah berkumpul di ruang tamu dengan wajah menghakimi.

Belum juga Yujin duduk, Papi sudah melemparkan beberapa lembar foto ke wajahnya.

"Papi nggak tahu lagi harus ngomong apa sama kamu! Sekarang, jelaskan apa yang ada di foto itu!"

Kejadian kali ini sudah pernah Yujin alami sebelumnya. Jadi, ia berusaha
tetap tenang dan melihat foto tersebut. Namun, setelah melihat objek yang ada di sana, Yujin tidak bisa tenang. Foto itu adalah foto dirinya dengan Mina pada rentang waktu selama wanita itu ada di Indonesia.

"Yujin, Ayah nunggu penjelasan kamu."

Tatapan pria bermata sipit itu beralih dari Papi ke Ayah. Ia melihat wajah penuh kekecewaan dari pria yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri.

"Itu Mina, pacar Yujin." Jenna buka suara dengan wajah datar.

Yujin meremas rambutnya. Ia benar-benar tidak menduga kalau kekacauan ini akan segera tiba.

"Jenna, apa-apaan ini? Kamu tahu semuanya?" Papi terlihat terkejut karena penyataan dari menantunya.

Jenna menarik napas dalam, lalu mengembuskannya pelan. Ia mengepalkan tangan untuk menguatkan dirinya sendiri. "Sebenarnya, weekend ini, aku sama Yujin mau ngomong sama Mami, Papi, Ayah dan Bunda, kalau kami memutuskan untuk berpisah, tapi karena ada kejadian tidak terduga seperti ini, mungkin ini bakal jadi waktu yang tepat untuk kami kasih tahu ke semuanya. Kami sudah mutusin untuk pisah."

Bunda langsung menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Jenna, ketika melihat putri tunggalnya mulai menangis.

"Yujin, Papi nggak mendidik kamu untuk jadi laki-laki yang pengecut seperti ini. Sekarang, jelaskan!"

Yujin menatap Jenna yang tengah menangis. Separuh hatinya ingin segera memeluk wanita itu, tetapi separuh bagian hatinya yang lain mengatakan kalau ini saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya. "Apa yang dibilang Jenna itu benar, wanita di foto itu pacar aku. Dia datang dari Jepang, dua minggu lalu."

Satu tamparan keras dari Papi mampu membuat ujung bibir Yujin pecah.

Melihat hal itu, Jenna langsung bangkit berdiri. "Enggak cuma Yujin, aku juga punya pacar." Jenna meminjamkan mata. "Aku balikan sama Saka, mantan pacarku."

"Jenna!" Ayah berseru kaget.

"Pernikahan kami nggak dilandaskan cinta. Apa yang kalian harapkan? Kami sama-sama sepakat untuk nggak melarikan diri karena menghargai orang tua. Kami sudah berusaha. Jadi, sekarang tolong, biarin kami pilih jalan kami masing-masing." Jenna berbicara sambil terisak.

Papi yang tadinya berdiri, langsung terduduk di sofa. Amarah yang tadinya memenuhi pria itu kini luruh menjadi sebuah tangisan tanpa suara.

Seumur hidup, Yujin tidak pernah melihat Papi menangis. Pria itu selalu jadi sosok yang kuat dan berwibawa, tetapi kini, Papi menangis hanya karena ulahnya.

"Pi, maafin aku." Yujin mencoba mendekat. Namun, gerakannya langsung terhenti ketika Papi menatapnya.

"Saya sudah gagal menjadi seorang Ayah. Anak laki-laki yang saya banggakan, sudah mati."

Yujin merasa waktunya berhenti. Papi selalu mampu menghujaninya dengan kata-kata menyakitkan.

"Jenna, kamu ikut Ayah, pulang ke rumah!" Ayah bangkit berdiri. Terlihat berusaha keras menahan emosi.

Aloha!

Ada yang bubar, nih.

Satu kebahagiaan harus ditukar dengan satu kemalangan agar semuanya seimbang.

Terima kasih buat yang sudah membaca dan berkenan vote.

"Gue kira, nggak akan secepat ini."

"Semua salah gue."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro