35. CTRL + F3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana mencekam di ruangan itu membuat Jenna harus menghela napas berkali-kali. Tangan yang meremas baju, tidak bisa mengurangi rasa gugupnya. Dua pasang mata yang menatapnya kini, berhasil membuat Jenna menunduk dalam. 

"Apa benar, kamu berhubungan lagi dengan Saka?" Ayah memejamkan mata untuk menahan emosinya.

Jenna diam. Tidak ada jawaban yang bisa ia berikan. Pernyataannya mengenai Saka adalah sebuah dusta. Kepalanya menunduk semakin dalam.

"Kalau kamu nggak bicara, Ayah sama Bunda bisa tahu dari mana, Sayang?" Bunda menatap Jenna. 

Tadinya Bunda berniat duduk di samping Jenna, tetapi Ayah langsung menghentikannya dengan menarik Bunda agar duduk di hadapan Jenna. 

Kini Jenna merasa tengah menghadapi sidang. Tangan wanita itu mulai gemetar. 

"Jenna, Ayah nggak mau kamu bohong cuma untuk menutupi kesalahan Yujin." 

Jenna mengangkat kepalanya. Kini matanya tertuju pada Ayah yang kelihatan berusaha tidak membentak. 

"Kenapa Ayah nggak percaya sama aku? Ini sama seperti kejadian malam itu. Ayah nggak mau percaya sama ceritaku. Aku benar-benar nggak punya perasaan apapun sama Yujin. Kami cuma teman. Apa Ayah sama Bunda memang nggak pernah percaya sama aku?" Jenna berbicara susah payah di tengah tangisnya. Tangisan yang bahkan ia sendiri tidak sadar penyebab pastinya, ketidakpercayaan Ayah atau kebohongan yang ia ciptakan.

"Jenna!" Ayah membentak setelah emosinya lepas kendali.

"Benar, 'kan? Kalau malam itu, Ayah sama Bunda angkat telepon aku. Aku nggak akan hubungi Yujin. Kami nggak akan terjebak di situasi konyol karena ketidakpercayaan kalian. Kalau dulu, kalian nggak ninggalin aku waktu hujan dan mati lampu, mungkin aku nggak akan setakut itu!" Kini bahu Jenna sudah gemetar. Ia membiarkan air matanya terus mengalir. "Kalian ingat, waktu aku masih lima tahun, aku berdiri di atas pecahan kaca dengan kaki penuh darah, Ayah sama Bunda datang terlambat. Kalian datang setelah lampu menyala. Ayah sama Bunda nggak pernah tahu seberapa takutnya aku waktu itu!"

Melihat Jenna menangis dan berusaha menyampaikan maksudnya, perlahan emosi Ayah memudar. Pria bertubuh tambun itu bergerak dari tempatnya untuk memeluk Jenna. 

"Tolong, percaya sama aku." Tangis Jenna semakin menjadi ketika Bunda turut bergabung dalam pelukan. 

Setelah tangis Jenna mereda, barulah Ayah kembali memulai pembicaraan. "Kamu yakin, akan bercerai dengan Yujin?"

Jenna terdiam. Ia tidak bisa langsung menjawab.

"Ayah rasa, kalian masih bisa bicarakan hal ini dengan baik-baik. Ayah kenal kamu lebih dari siapa pun. Ayah tahu, kamu nyaman sama Yujin, begitu juga sebaliknya. Kalian hanya butuh waktu." 

Jenna menggeleng pelan.

"Kamu yakin?" Ayah memberi kesempatan untuk Jenna berpikir. "Kalau memang kalian sudah sepakat untuk berpisah, Ayah akan mendampingi prosesnya." Ayah menghela napas berat setelah menyelesaikan kalimatnya.

***

Kamar hotel dengan dua tempat tidur itu kini diisi oleh dua orang pria dewasa yang tengah menenggak minuman beralkohol. Yujin meminum minumannya dengan cepat. Dalam setengah jam, ia sudah menghabiskan hampir dua botol.

"Lo beneran mau mabuk?" Joel bertanya setelah menghentikan Yujin membuka botol ketiga.

Yujin menyeringai. Ia merebut paksa botol yang dipegang Joel. 

Joel kembali mengambil alih botol tersebut. "Lo nggak akan mabuk walau minum lima botol. Lebih baik berhenti sekarang sebelum gue gemes buat nonjok lo!"

Yujin melepaskan gelasnya. Pria yang mengenakan kaus abu-abu itu menyentuh ujung bibirnya. "Udah lama banget gue nggak ditampar Papi."

"Oke, stop it." Joel menghentikan gerakan sahabatnya yang mulai memukuli wajahnya sendiri.

"Keberadaan gue emang nggak pernah diharapkan. Setelah Mama pergi, nggak ada yang mengharapkan gue."

Satu pukulan di kepala berhasil membuat Yujin menegakkan tubuhnya. 

"Gue selalu mengharapkan keberadaan lo. Mami juga. Siapa yang bilang keberadaan lo nggak diharapkan?" Gia muncul dan mengambil gelas yang sudah digunakan oleh Yujin. "Lo bodoh banget kalau harus uring-uringan kayak gini. Sekarang gue tanya, bukannya ini mau lo? Lo bawa Mina ke sini buat nikahin dia, 'kan? Gimana lo mau bertanggung jawab sama hidup orang lain, kalau lo nggak bisa bertanggung jawab sama diri lo sendiri?" 

"Gue udah buat Papi kecewa. Gue juga udah nyakitin Jenna. Harusnya gue kabur aja ke Jepang, bukannya malah menyeret sahabat gue ke masalah yang seharusnya nggak perlu ada." Yujin meremas rambut lebatnya.

Kalimat yang keluar dari mulut Yujin membuat Gia dan Joel bertukar tatap.

"Kenapa bisa lo nyakitin Jenna?"

Yujin mendengkus. "Gue tahu, dia sama Saka nggak balikan."

"Hah!" Joel dan Gia kompak berseru kaget.

"Dia pasti coba lindungin gue dengan ngaku balikan sama Saka."

"Jangan sok tahu!" Gia mulai kesal.

Yujin menatap Gia serius. "Waktu Jenna ketemu sama Saka, gue lihat langsung. Gue juga yang jemput Jenna setelah mereka ketemu. Kalau memang mereka bertemu untuk baikan, harusnya Jenna nggak nangis selama tiga jam. Satu minggu setelah itu juga, Jenna nggak pernah kelihatan ceria. Gue nggak tahu cerita lengkapnya, Jenna cuma bilang kalau Saka ngajak balikan. Jadi, gue saranin buat dia kasih kesempatan buat mantannya itu."

Begitu kalimat Yujin selesai, satu pukulan di kepalanya berhasil mendarat dengan sempurna.

"Kak!" Yujin berseru pada pelaku yang memukulnya.

"Lo beneran nggak tahu atau bego, sih? Ada gue sama Joel yang bisa ditanya, kalau lo mau tahu cerita tentang Jenna. Lo jahat banget, sampe nyaranin dia buat balikan sama Kampret itu!"

"Kayaknya dia beneran nggak tahu, Gi." Joel menggeleng melihat kebodohan natural dari sahabatnya.

Akhirnya, Gia bercerita mengenai berakhirnya hubungan Jenna dan Saka. Wanita itu menceritakan semua detail yang sengaja dilewatkan Jenna sebelumnya.

"Saka pasti punya alasan kuat." Yujin menyimpulkan.

Joel menyeringai. "Dan lo bisa cari tahu alasannya." 

"Kenapa gue?"

Joel tertawa pelan. "Karena lo yang mulai semuanya."

***

Gia berpindah ke balkon begitu melihat nama yang muncul di layar ponselnya. Ia sempat menoleh untuk memastikan kalau Joel dan Yujin tidak mendengar percakapannya.

"Iya, Jenna." Gia menjawab sambil berbisik.

"Gue harus gimana, Gi? Kayaknya gue nggak mau kehilangan adik lo. Gue nggak mau kehilangan Yujin." Jenna berbicara sambil menangis.

Meski tidak begitu jelas, Gia bisa menangkap maksud Jenna. "Kalau gitu, bilang."

"Gue nggak punya hak. Yujin punya Mina. Gue nggak mau ngerusak kebahagiaan mereka cuma karena keegoisan gue."

Gia menghela napas. "Ya, sudah. Tahan sakit hati lo. Nggak ada cara lain. Tahan. Tanggung semua keputusan lo. Sebagai sahabat, gue cuma bisa mendukung keputusan lo."

Bukannya mereda, tangis Jenna malah semakin keras.

"Jenna, denger gue. Kadang, kita perlu jadi egois! Gue bakal ada di samping lo apapun keputusan yang lo pilih."


Aloha!

Pesan hotel buat Joel ngegalau, eh, malah dipake Yujin sendiri.

Gia kalo ngomong, suka bener.

Udah mau tamat, nih. Penumpang kapal Jenna Yujin, apa kabar?

Terima kasih sudah membaca dan berkenan vote.

"Gue harus gimana?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro