6. CTRL + F

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna tidak mampu menahan air matanya. Kini ia duduk sendirian di balkon kamarnya. Wanita yang sudah mengenakan baju tidur itu masih menelepon nomor yang sama. Meski nomor tersebut tidak aktif, sebelum tidur, Jenna masih selalu melakukan panggilan ke nomor itu selama tiga bulan terakhir.

Ada sesuatu yang janggal tentang keluarga Saka. Setelah satu minggu, keluarga Saka tidak kelihatan khawatir. Bahkan setelah tiga bulan, orang tua Saka selalu menjawab pertanyaan Jenna dengan tenang. Mereka mengatakan kalau Saka pasti punya pilihannya sendiri. Namun, Jenna tetap tidak diberikan kontak Saka.

Jenna masih sering menangis ketika mengingat semuanya. Ia ditinggalkan sendiri tanpa ada penjelasan. Hal itu yang membuat Jenna masih berusaha menghubungi Saka. Sebuah ketukan membuat Jenna segera menghapus air matanya. Ia berusaha untuk tersenyum. Ia tahu, kesedihannya bisa membuat orang tuanya sakit hati.

"Iya, masuk."

"Malam, Sayang." Bunda membuka pintu dengan gerakan halus.

Jenna cukup heran melihat Bunda dan Ayah datang bersamaan. 

"Ada yang harus Ayah bicarakan." 

Satu alis Jenna terangkat. "Tentang apa, Yah? Kok, kelihatannya serius."

Ayah dan Bunda duduk di kiri dan kanan Jenna. Bunda menggenggam tangan anak semata wayangnya. Hal ini membuat Jenna tambah heran.

"Ayah cuma mau menyampaikan sesuatu. Kamu nggak punya kewajiban untuk menerima, tapi Ayah harap kamu mau." 

Jenna memandang orang tuanya bergantian. Ia berusaha mencari petunjuk, ke mana arah pembicaraan mereka.

"Teman Ayah punya anak yang single, kami sudah ngobrol banyak, kelihatannya anaknya tertarik sama kamu. Jadi, kalau kamu mau, Ayah sama Bunda nggak maksa, tapi kalau kamu mau, besok kalian ketemu di tempat yang sudah ditentukan."

Jenna terperangah sejenak.

"Ayah sama Bunda bukan mau jodohin kamu." Bunda segera meluruskan pikiran Jenna. 

Ayah menjentikkan jari. "Istilahnya, kencan buta. Jadi, kalian kenalan aja. Kalau nggak cocok, ya bisa berteman. Ayah beneran nggak maksa, ini kalau kamu mau." 

Jenna menatap mata Ayah dan Bunda yang penuh harap. Ia tahu, Ayah dan Bunda pasti sudah mempertimbangkan hal ini sejak lama. Akhirnya, Jenna mengangguk dan tersenyum lebar.

Bunda mengeratkan genggamannya. "Kamu yakin, Sayang? Kalau kamu belum siap, nggak apa-apa." 

"Aku yakin, Bunda. Kayaknya aku memang butuh teman baru. Gia lagi sibuk-sibuknya, 'kan?"

Ayah dan Bunda bertukar tatap. Mereka mengembuskan napas lega dan tersenyum lebih lebar dari biasanya. 

"Nanti Ayah kirimin alamatnya." Ayah memeluk Jenna singkat. 

"Aku nggak perlu pakai dresscode?"

Bunda langsung menyahut. "Pakai baju putih aja, anak Bunda selalu cantik pakai baju putih." 

Ayah langsung menyadari perubahan ekspresi Jenna. Ayah memberikan kode pada Bunda kalau sejak hari itu, Jenna tidak lagi mengenakan baju berwarna putih. 

Bunda menangkap kode dengan cepat. "Pakai baju warna apa aja. Anak Bunda selalu cantik, kok."

"Nggak apa-apa, Bun. Besok aku pakai baju putih." Jenna memaksakan senyumnya. Ia merasa mungkin ini sudah saatnya ia mulai memakai baju putih lagi. 

Ponsel Jenna berbunyi. Wanita itu langsung berajak dan meraih ponselnya.

"Siapa?" Ayah bertanya penasaran.

"Gia."

"Oh, Gia. Ya, sudah, kami keluar aja. Ayo, Yah." Bunda menarik Ayah yang kelihatannya penasaran dengan pembicaraan yang akan dibahas oleh Jenna dan Gia.

Setelah orang tuanya keluar, Jenna baru mengangkat teleponnya. 

"Gila, gue sebel banget. Jenna, gue harus gimana?" 

Suara Gia yang melingking membuat Jenna menjauhkan ponselnya dari telinga. "Lo, kenapa?"

"Lo inget fotografer gue? Tiba-tiba dia mau berhenti kerja sama. Padahal gue udah cocok banget sama dia."

"Sebentar, fotografer yang lo maksud ini Joel?" Jenna menyeringai ketika menyebutkan nama Joel.

"Iya. Dia fotografer utama gue. Gue harus gimana?" Gia berseru heboh.

"Ya, bujuk, dong. Pakai kemampuan lobi lo." Jenna tidak bisa menahan tawanya.

"Lo kira nggak gue bujuk? Katanya dia udah nggak mau lagi."  Gia jadi emosi.

"Makanya jangan dibecandain terus. Ngambek, 'kan? Lo emang nggak sadar atau cuma pura-pura bego?" 

"Apa?" 

"Dari cerita lo aja, gue tahu kalau Joel naksir lo." Jenna masih tersenyum. 

"Hah! Masa? Nggak mungkin, dia udah kayak adek gue sendiri. Gue cuma nanya gimana caranya pertahanin dia, bukannya mau dengerin imajinasi aneh lo."

"Cara pertahaninnya, ya, lo pacaran sana sama dia." Jenna tertawa setelahnya.

"Gila, ya, lo. Gue udah punya pacar kali."

"Jadian lo sama Brian?" Jenna menyebutkan nama yang sering dibicarakan oleh Gia akhir-akhir ini. 

Gia tertawa. "Itu lo tahu." 

Jenna menghela napas. "Yaudah, lepas aja Joel. Solusinya cuma satu. Cari fotografer baru."

"Lo nggak menyelesaikan masalah gue, tahu nggak?" 

"Tahu." Jenna tertawa. "Oh, iya. Besok gue mau ada kencan buta."

"Kencan buta? Lo dijodohin?" Gia kembali berseru heboh. Kadang Jenna heran, sahabatnya ini bisa jadi wanita misterius dan heboh sekaligus.

"Enggak. Cuma kenalan aja." Jenna mengembuskan napas kasar.

"Kenapa? Lo mau gue gantiin?" 

Jenna kembali tersenyum. "Enggak. Nanti malah jadi masalah. Lo urusin Joel aja dulu. Besok gue cerita lagi."

"Oke, gue tunggu cerita lo." 

Setelah layar ponselnya mati, Jenna masih tersenyum. Namun, ia juga merasa tidak bersemangat untuk pertemuan besok. Jenna membaringkan  tubuhnya dan berusaha tertidur dengan perasaan yang campur aduk.

***

Yujin menatap Joel yang kini tengah menenggak minuman beralkohol. Laki-laki bermata sipit itu memicingkan mata ketika Joel kembali menuangkan minumannya.

"Lo beneran mau mabuk?" Yujin bertanya sambil mengamati tingkah sahabatnya. 

Kini mereka ada di dalam kamar hotel yang sengaja disewa oleh Joel. Kedua sahabat itu memiliki kebiasaan menyewa kamar hotel untuk bergalau ditemani alkohol karena Joel pernah membuat keributan ketika mabuk. Yujin segera datang setelah menerima panggilan sahabatnya yang kedengaran galau berat. Mereka sempat makan malam bersama sebelum memulai ritual galaunya.

"Gia kenapa lagi?" Yujin sudah bisa menebak penyebab galau Joel. Selama ini, Joel tidak pernah galau kalau bukan karena Gia. 

"Enggak, Gia nggak salah." Joel meneguk minumannya. "Gue resign."

"Lo 'kan memang fotografer lepas. Apanya yang resign? Kalo gue, baru istilahnya resign." Yujin memutar bola matanya malas.

Joel mengangkat jari telunjuknya ke udara. "Gue udah mutusin buat nggak berurusan lagi sama Gia."

Yujin menggeleng. "Ini keseribu kalinya lo bilang hal yang sama."

"Gimana hidup gue tanpa Gia, Jin? Lo adiknya, lo nggak bisa bantu gue?" Joel mendekat dengan tatapan memelas.

"Gue cuma bisa bantu denger curhat lo."

Joel menyandarkan tubuhnya ke tembok. "Lo tahu, ini pacar Gia ke-27 yang gue tahu. Bahkan gue hapal nama mereka semua. Kenapa Gia jahat banget sama gue?" 

Jika sudah begini, Yujin berani menjamin kalau Joel akan mabuk sampai pingsan. Selama di Jepang, Yujin tetap menjadi tempat Joel berkeluh kesah. Laki-laki jangkung itu akan melakukan telepon hingga pingsan. 

"Lanjutin galau lo. Untung besok Minggu. Kalau ini hari kerja, gue pasti udah tinggalin lo di sini." Yujin berbicara dengan Joel yang sudah hampir kehilangan kesadaran. 


Aloha!
Terima kasih sudah baca. Kalau berkenan, vote yaa.

Joel galau

Kenalin, Caca.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro