7. CTRL + I

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jenna sengaja membiarkan pintu kamarnya terbuka karena Bunda akan datang ke kamarnya. Wanita itu sedang merias wajahnya. Ia mengenakan baju putih model sabrina yang dipadu dengan jeans biru muda. Jenna juga sudah menyiapkan wedges putih untuk membalut kakinya. Rambut panjangnya diikat tinggi dan poninya dibiarkan jatuh menutupi dahi.

"Siang, Sayang." Bunda masuk ke kamar diikuti oleh Ayah yang kelihatan lebih antusias dari Bunda.

"Siang, Bun." Jenna mengenakan lipstik sebagai sentuhan akhir dari kegiatan mekapnya.

"Anak Ayah cantik banget, sih." Ayah merangkul Bunda. 

Jenna bisa melihat pantulan adegan itu dari kaca besar yang ada di depannya. "Iya, dong. Anak Ayah sama Bunda." 

Jenna mengenakan wedges tali yang ada di bawah meja. Kemudian ia mengambil tas kecil yang sudah ia siapakan. Wanita berambut terikat itu bangkit dan tersenyum lebar. Kini persiapannya sudah selesai. "Gimana penampilan aku?" 

Ayah mengacungkan jempol dan Bunda tersenyum puas. Jenna terdiam sejenak. Sejak kejadian tiga bulan lalu, mungkin ini adalah senyuman bahagia pertama yang ia lihat dari Ayah dan Bunda.

"Jenna. Jangan ngelamun." Bunda menyentuh lengan anak tunggalnya dengan lembut.

Mata besar Jenna mengerjap. Kemudian ia memeluk Ayah dan Bunda bersamaan.

"Kamu kenapa, Jenna? Tumben." Ayah bertanya setelah Jenna melepaskan pelukannya.

"Nggak apa-apa. Pengen peluk aja." Jenna cengar-cengir.

Ayah melihat jam tangan yang ada di tangan kirinya. "Ini masih jam 11, lho. Kan janjiannya jam 1 siang. Kamu mau ketemu Gia dulu?"

"Enggak, kok. Aku mau ngafe cantik dulu. Udah lama banget kayaknya, aku nggak nongkrong sendirian."

Ayah dan Bunda saling pandang.

Menyadari kekhawatiran orang tuanya, Jenna segera melontarkan alasan lain. "Aku nggak mau terlambat."

Mata cerah Ayah berubah menjadi sendu. Bunda langsung menggenggam tangan Jenna. "Kamu bisa pergi sekarang. Jangan lupa senyum. Anak Bunda selalu cantik kalau senyum."

"Ayah sama Bunda nggak usah khawatir. Aku baik-baik aja." Jenna berbicara dengan cepat. Dalam hati, bahkan ia tidak mempercayai kata-katanya.

Jenna berangkat setelah cipika-cipiki dengan Ayah dan Bunda.

Jenna tiba di kafe setengah jam kemudian. Ia memeriksa alamat yang dikirimkan oleh Ayah dan turun dari mobil setelah memastikan kalau alamat itu benar. Ia melangkah dengan percaya diri, tetapi ternyata kafe itu lebih luas dari yang Jenna bayangkan. Wanita berambut terikat itu tidak bisa menemukan mejanya.

Akhirnya, Jenna bertanya pada pelayan di sana. "Permisi, meja nomor C27 di mana, ya?"

Pelayan yang mengenakan seragam hitam itu langsung menunjukkan arah pada Jenna.

"Terima kasih." Jenna segera berjalan ke arah yang ditunjuk oleh pelayan tadi.

Jenna sempat terkagum karena luasnya kafe ini, tetapi ia jadi sedikit panik ketika melihat lebih dalam. Ternyata ada area terbuka di tengah kafe. Ia melangkah ragu. Ada kolam ikan dan pohon berukuran besar di sana. Jenna suka area terbuka, tetapi ia tidak suka kalau harus berada sendirian di sana. Ia memang berencana nongkrong sendirian sebelum kencan buta, tetapi bukan yang benar-benar sendirian.

Nomor meja berawalan huruf C sudah mulai terlihat. Sepertinya, kode C digunakan untuk meja yang berada di area terbuka. Tiba-tiba, perhatian Jenna teralih pada seorang pria berpakaian kelewat santai untuk nongkrong di kafe. Pria itu mengenakan celana training, kaus tanpa lengan, ditambah kacamata hitam. Anehnya lagi, pria itu menatap langit sambil tersenyum. 

Tadinya Jenna mau putar baik, tetapi ia melihat kalau mejanya berada di samping pria aneh itu. Jenna menghela napas, lalu berjalan pelan. Ia berusaha tidak berurusan dengan pria aneh itu. Namun, usahanya gagal total. 

"Oy." Pria aneh itu kini melihat Jenna.

Jenna terus berjalan. Ia pura-pura tidak mendengar sekalian.

"Jenna." 

Pria itu menyebut nama Jenna dengan ragu. Mau tidak mau, Jenna berhenti. Ia berbalik hanya untuk mendapati pria berkacamata hitam itu tengah menyeringai padanya.

"Jennaya Aurora." Pria itu bangkit berdiri dan mendekati Jenna.

Kini Jenna bergidik ngeri. 

Pria itu melepaskan kacamatanya dan cengar-cengir. "Lama nggak ketemu."

Bukannya menyambut dengan senyuman ramah, Jenna malah menggenggam tasnya dengan erat, lalu memukul pria itu dengan sekuat tenaga.

"Bukan begitu caranya menyambut teman lama." Pria itu melebarkan tangannya, bersiap untuk memeluk. 

"Jangan sentuh gue!" Jenna berteriak panik. "Gila, lo kemana aja, Yujin?" 

"Jadi, lo beneran nggak mau peluk gue?" Yujin masih tidak mau menyerah.

"Idih, amit-amit." Jenna sampai harus mengepalkan tangannya karena geli mendengar kata-kata Yujin.

"Dulu, lo pasrah aja gue peluk." Yujin masih cengar-cengir.

Jenna melotot. Ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. "Lo bisa nggak, nggak bikin gue emosi?"

"Oke, kalau lo nggak mau dipeluk." Yujin mengulurkan tangannya.

Jenna mengulurkan tangannya ragu. Sebelum tangan mereka bersentuhan, Yujin langsung menarik tangannya dan mengusap rambutnya ke belakang. 

"Yujin!" Jenna berseru heboh.

"Yes, Beb." Yujin kembali ke tempat duduknya dengan santai. "Lo sendiri aja?"

Jenna mengepalkan tangannya ke udara. "Beb. Beb. Gue bukan Bebeb lo!"

Yujin tertawa. Jenna terperangah sejenak. Ternyata tawa Yujin masih sama seperti sepuluh tahun lalu. 

"Ups, lupa. Lo udah tunangan, ya? Jangan lupa undang gue nanti pas pernikahan. Gue mau lihat cowok yang mau sama lo." Yujin tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. Namun, ia langsung berdehem ketika melihat perubahan ekspresi Jenna. Mata wanita itu jadi sendu. 

Sadar kalau Yujin kelihatan salah tingkah, Jenna langsung duduk di depannya. "Pertunangan gue dibatalin. Mending kita ngomongin yang lain."

Yujin jadi merasa bersalah. Ia merasa bodoh karena menanyakan hal yang tidak seharusnya ditanyakan. "Gue denger lo jadi team research produk baru buat perusahaan besar. Gimana kerjaan lo?"

Jenna menopang dagu. "Sebanyak apa lo tahu tentang kehidupan gue sekarang?" 

"Gue denger dari Joel. Sorry, aja, nih. Gue nggak pernah kepo sama hidup lo. Joel aja yang doyan cerita."

Jenna mengubah posisinya menjadi bersandar. "Bentar, maksud lo Joel temen SMA kita itu?"

"Iya, siapa lagi?" Yujin memanggil pelayan dan mempersilakan Jenna memesan. "Gue yang traktir."

"Ice Americano, satu." Jenna memesan, lalu melanjutkan kalimatnya. "Gue nggak pernah ketemu dia. Kok, dia bisa tahu kabar gue."

"Ya, mana gue tahu. Lo tanya dia, sana!"

"Selama ini, lo ke mana? Udah hampir sepuluh tahun kita nggak ketemu."

Yujin menyibak rambutnya dan menghela napas. "Gue pindah ke Jepang. Biasa, ikut Bokap."

"Oh, Papi lo pindah tugas?"

Yujin tadinya mau mengoreksi kalau Bokap yang dimaksud adalah Papa, tetapi apa gunanya menjelaskan semua pada Jenna? Akhirnya, Yujin mengangguk.

"Jadi lo kuliah di Jepang? Gue pengen banget kuliah di sana, tapi Ayah nggak kasih izin."

Yujin jadi tertarik. "Sayang banget. Mau gue ceritain kehidupan gue di Jepang?" 

"Boleh, banget." Jenna antusias.

Yujin bercerita tentang satu semesternya di SMA dan tujuh tahun di Universitas. Tak lupa ia membanggakan kalau ia sudah menyelesaikan program magister, bukan menjadi mahasiswa nyaris abadi karena tujuh tahun di kampus. 

Belum juga cerita Yujin selesai, satu pesan masuk ke ponsel Jenna. Begitu melihat pesan itu, Jenna langsung meletakkan ponselnya dengan layar menghadap ke bawah.

Aloha!
Maaf kemarin nggak bisa update karena suatu hal. Akhirnya, Jenna sama Yujin ketemu juga.

Terima kasih buat yang sudah mau baca dan kasih vote.

Jenna

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro