XII. Sunrise

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekan 🌟 di pojok kiri dulu, ya 💜
Happy reading...

👑👑👑

Semilir angin ketika jarum jam berputar menuju angka tiga terasa melukai persendian. Bebatuan yang melapisi dinding menara milik mansion Alxavander mungkin sedang membeku. Namun, hal itu tak menyurutkan langkah lunglai gadis bergaun tidur satin putih. Tangannya mengeratkan kardigan hitam perlahan sebelum melanjutkan kegiatan memangkas anak tangga. Saat tubuhnya mulai limbung, ia akan berhenti sejenak untuk memasok oksigen sebanyak mungkin, lalu kembali melanjutkan tapak.

Entah sudah berapa banyak anak tangga yang ia pangkas, tetapi lantai utama masih saja belum terlihat. Setelah terbangun tadi, sepasang samudera itu terpesona pada ujung menara yang memiliki jam besar. Mengikuti rasa kagum yang bercokol di balik netra, Caramel memutuskan berjalan pelan setelah meneguk segelas air di atas nakas. Namun, mungkin ia akan menyesal kali ini saat tubuhnya tidak mampu diajak berjuang sedikit lagi.

Hela napas lelah terdengar bergema mengiringi merosotnya tubuh lemah itu di atas salah satu anak tangga. Surai cokelatnya bersandar pada dinginnya dinding. Caramel nyaris kembali terlelap sebelum mendengar gesekan alas kaki meniti naik.

“Kau belum boleh meninggalkan kamar, Shin.”

Suara berat mengalun menghantarkan aura intimidasi. Sementara sosok yang diajak bernegosiasi enggan membuka mata. Caramel tahu siapa pemilik suara dingin itu, belum lagi nama pangggilannya yang unik.

“Ingin kupaksa turun?” tanya suara itu lagi. Melihat pengabaian yang nyata di depan tulang hidung tingginya, ia tak memiliki pilihan selain menyimpan kedua lengannya di bawah punggung dan lipatan kaki tubuh feminin itu.

Sontak netra Caramel terbuka lebar. Melahirkan penyesalan lain ketika wajah rupawan Zico menyapa dengan tarikan senyum tipis. “Jangan mencoba mengaturku, Alxa. Turunkan aku sekarang!”


“Aku hanya ingin membantumu agar cepat sampai.”

“Aku tidak butuh bantuanmu, maaf. Sekarang turunkan aku,” tukas Caramel kekeuh. Terdengar embusan pasrah yang berat, lalu kaki telanjangnya kembali menyentuh lantai.

“Aku akan mengizinkanmu naik tanpa melapor pada Arthfael asal kau tidak berjalan kaki. Kau sudah mencapai tiga perempat menara dalam satu jam lebih lima belas menit. Kalau begitu aku pergi.”

Kesialan apa lagi ini, gerutu Caramel dalam hati. Sedikit tidak menyangka jika sejak tadi dirinya tidak sendirian menapaki remang menuju menara. Baiklah, mungkin kali ini ia akan mati di sini dan Zico menjadi orang pertama yang menemukan tubuh kakunya. Sejujurnya ia juga lelah, kakinya mulai mati rasa seperti frostbite. Namun, tidak mungkin juga Caramel turun setelah perjalanan menuju menara tersisa seperempat lagi.

Ingin sekali mengumpati punggung tegap Zico yang telah menghilang. Apa daya, tubuhnya terasa lemas dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain mengistirahatkan diri sebelum kembali ke kamar.

“Kau benar mau bunuh diri?” Netra samudera yang baru saja menutup kembali terbuka. Sang empunya berang setengah mati menatap siluet Zico berkacak pinggang. “Tidak ingin membalas dendam padaku? Aku pikir kau perempuan kuat. Ternyata sama saja.”

Benak Caramel heran, sungguh. “Kau tidak sepenting itu untuk mendapat perhatianku, Alxa. Bahkan, untuk sekadar balas dendam.”

Tubuh jangkung ikut meluruhkan diri menghadap pribadi mungil yang kian pasi. “Aku tidak perlu berusaha agar kau anggap penting karena sejak awal aku telah mendapatkan perhatianmu. Bukankah itu alasanmu berakhir di sini?”


Benar. Kelu sekali terasa di birai. Perhatian Caramel memang telah menjadi milik Zico sejak awal. Namun, egonya tidak ingin dikalahkan jiwa dominan lelaki itu, terutama setelah perlakuan tanpa moral yang dia lakukan hingga ia tersiksa seluruh raganya.

“Sudah, jangan bicara lagi. Sebentar lagi ada sunrise,” ujar Zico seraya merengkuh gadis itu dengan posisi seperti sebelumnya.

Pemilik obsidian setajam elang itu mengerti bahwa Caramel sedang berjuang mengumpulkan tenaga yang tersisa. Suara sengalnya bahkan terdengar sampai ke lantai atas. Zico melirik helaian cokelat yang bersandar di dadanya. Padahal, tadi teguh sekali pendirian gadis itu.

●○●

“Bangunlah. Sunrise-nya akan muncul lima menit lagi.”

Suara bisikan menarik kedua kelopak Caramel yang terasa berat. Mereka kini berlabuh di atas sofa panjang yang terbuat dari beludru merah. Merasakan suatu kejanggalan, sontak Caramel menegakkan tubuh. Bibirnya meringis menahan ngilu. Lalu, tanpa izin, Zico kembali menarik bahu sempit itu untuk kembali bersandar padanya. Tidak ada protes karena Caramel merasa tubuhnya semakin lemas.

Samar-samar, berkas cahaya mulai meyinari ufuk timur. Melukis langit kelam dengan sapuan tinta keunguan yang memudar berkala menjadi merah muda. Ini adalah sunrise terbaik yang pernah Caramel lihat. Ditemani aroma maskulin yang menguar dari tubuh Zico, menambah kesyahduan yang membuatnya nyaman. Gadis itu tersenyum tipis.


Begitu langit telah membentang seperti kanvas biru, tubuh Caramel kembali berada dalam gendongan rengkuhan bridal. Zico menggunakan kekuatan teleportasi untuk membawa tubuh itu kembali ke ruangan. Namun, teleportasinya berakhir di depan pintu toska Caramel.

“Mereka niat sekali menghukumku,” gerutu Zico sebelum kembali melakukan teleportasi ke dalam kamarnya sendiri.

Zico membaringkan Caramel di atas ranjang ukuran king size miliknya. Wajah pulas itu tampak janggal. Lengan kekar Zico mengulurkan tangan menyentuh kening Caramel.

Secara cergas, Zico mengambil peralatan medis yang ia simpan di almari besar sepanjang lima meter. Lelaki itu tergopoh memasangkan termometer raksa di antara lipatan bahu Caramel. Lantas, ia mengeluarkan stetoskop dan menyentuhkan permukaan lingkaran itu ke arah jantung Caramel. Detakannya melemah.

Tanpa menunggu lebih lama, Zico mengeluarkan sebuah spuit dan mengusapkan alcohol swab sebelum menusukkan jarum menembus vena di telapak tangan kiri. Ia menarik pelan hingga cairan berwarna hati mengisi tabung sampai penuh. Lalu, setelah mengganti jarum dengan yang baru, ia melakukan hal yang sama sebelum menginjeksikan darahnya ke tubuh Caramel.

Zico kembali merapikan peralatan medisnya. Sedikit keterlambatan akan menempatkan gadis itu ke dalam bahaya. Mungkin dia akan mengalami tidur sementara atau yang biasa disebut koma di dunia manusia. Obsidiannya memindai lekat paras mungil Caramel.

Bocah Nakal, apa yang kau lakukan pada Caramel di menara pagi-pagi buta? Itu mindlink Jason. Zico terkecoh. Mana mungkin Caramel dibiarkan istirahat tanpa pengawasan dari keempat saudaranya yang melamar posisi sebagai bodyguard pribadi gadis mungil ini.

Zico mendengkus kesal. Sedikit cemburu karena Caramel berhasil menarik perhatian kakaknya yang terkenal sulit didekati selain keluarga. Aku hanya membantunya melihat sunrise, Hyung.

Zico, datanglah ke halaman belakang. Kami ingin membicarakan sesuatu. Kini suara berat nan berkharisma Robert yang mengirim mindlink.

Baiklah. Kalau begitu aku ke sana sekarang, balas Zico.

Setelah memastikan selimut tebal menyelimuti tubuh Caramel dengan benar, sang pemilik kamar bernuansa dark menggunakan teleportasi untuk menyingkat waktu.

Di halaman belakang mansion Alxavander, sebuah gazebo berdiri kokoh di atas jembatan yang menengahi kolam ikan. Zico berjalan tergesa menghampiri keempat saudaranya.

Hyung, ada apa?”

“Zico, ada apa? Kenapa kau panik?” Arthfael mengangkat sebelah alis melihat sorot ketegangan sang adik.

“Manusia itu drop setelah kalian biarkan menaiki tangga menuju menara sendirian.” Ucapan Zico memancing senyum misterius Robert.

“Dia punya nama, Zico,” tegur Jason dengan kerutan di kening, menandakan keseriusan akan ketidaksukaannya terhadap tingkah sang adik.

“Kau sepertinya mulai khawatir pada Caramel.” Robert mengelus dagu dengan ibu jari dan telunjuk.

“Entahlah.” Zico memilih bersandar pada salah satu pion gazebo. Obsidiannya lurus membidik jendela kamarnya di lantai dua. “Maaf, aku memasukkan darahku ke dalam tubuh manusia itu tanpa meminta izin.”

Ethan tersenyum samar. Akhirnya Zico sedikit mengalami perubahan. “Dengan cara?” tanyanya dengan netra berbinar.

“Injeksi, Hyung. Aku belum siap memberitahukan manusia itu bahwa dia telah terikat denganku. Kesalahanku malam itu saja sudah membuatnya seperti macan tutul.”

Tawa Arthfael melebur, beradu dengan ketiga adiknya. Di satu sisi, mereka kagum dengan kedewasaan sang adik, tetapi di lain sisi mereka terhibur dengan sifat kekanakannya yang kembali muncul. Lihatlah, bahkan paras rupawan yang biasanya tegang, kini sepolos kertas. Arthfael memukul paha keras-keras, sementara Ethan sampai menyembunyikan wajah di balik bahu Jason yang berguncang.

“Baiklah. Laporan diterima. Sekarang kembalilah ke kamarmu dan rawat pasien pertamamu dengan baik.” Bukan hal yang mudah sekali pun bagi Robert, melupakan wajah Zico yang layu bak bayi singa yang memakai bandana teratai karena tenggelam mengejar kupu-kupu.

Setelah melakukan teleportasi, Zico mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Ia pikir pertemuan beberapa detik yang lalu menyangkut hal penting, ternyata tidak sepenting menatap wajah Caramel. Tubuhnya bertumpu di lantai berlapis permadani berukir emas, lantas memposisikan telapak mungil Caramel di atas tangan kirinya yang terbuka. Lanjut, Zico menelungkupkan tangan yang satu di atas punggung tangan gadis itu.

“Semoga suhu rendahku bisa meredakan demammu, Shin.”

~To Be Continued~
👑👑👑

No Comment dah sama Zico, titik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro