XXIV. Not Yours

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tekan 🌟 di pojok kiri dulu, ya 💜
Happy reading...

👑👑👑

Caramel menarik napas dalam saat awan bergeser membiarkan sinar rembulan memantul di atas bangir Zico, membuat atensinya terpusat di sana. Ia mengagumi sekaligus dibuat heran pada salah satu ciptaan Tuhan yang dianugerahi wajah demikian tampan. Seolah tidak ada debu yang mampu bertahan lama di wajah mirip porselen itu.

Dalam posisi saat ini, di mana keduanya bersandar pada pagar pembatas, dua pasang iris berbeda warna saling menatap refleksi satu sama lain di pintu geser Zico.

“Apa yang ingin kau tanyakan?” tanya Zico setelah sekian lama kesunyian menghias malam.

“Aku baru membaca buku itu. Apa benar bahwa aku reinkarnasi Putri Luven Ceradizc?” Caramel menoleh dengan jantung berdebar.

Kepala bersurai sekelam malam itu ikut menoleh. Sedikit menunduk, jarak antara bangirnya dan si petit hanya terpaut beberapa senti. “Hn.”

Bibir bawah Caramel digigit kecil oleh sang empunya. “Apa karena itu kalian memperlakukanku seperti barang? Kalian saling berebut hanya karena buku itu?”

Ada keputusasaan yang ikut mengalir dalam kalimat Caramel dan Zico menyadari itu sepenuhnya. Pria itu juga tidak ingin terlibat dengan manusia, akan lebih mudah baginya jika gadis itu juga vampir.

“Zico?”

“Hm?”

“Aku benar, kan?”

Zico mengangguk dalam diam dan seulas senyum pahit segera saja mengukir paras Caramel. “Aku mengerti. Baiklah, kurasa sudah cukup. Apa ada lagi yang kau ingin aku lakukan selain menjauhi pria lain selain putra Alxavander?”

“Tidak ada. Aku akan masuk,” pamit Zico. Pria itu segera memasuki kamarnya, meninggalkan Caramel yang masih bersandar pada dinding pembatas dengan pikiran berkecamuk.


●○●


Sepasang sandal tidur kelinci berjalan menapaki lantai menuju hamparan bunga yang tumbuh terawat. Lampu taman menyala terang memberikan kesan hangat di malam yang dingin. Tak lama, sensasi pendaratan benda kecil di puncak kepala membuat Caramel menoleh kebingungan. Kedua tumitnya berputar dan seseorang dengan hoodie hitam berdiri tak jauh dari tempatnya.

“Kenapa kau belum tidur?” tanyanya pria itu masih dalam posisi yang sama, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana.

Caramel tersenyum samar sebelum memutuskan duduk di kursi taman. “Belum mengantuk. Apa kau senang kemari, Thunder?”

Thunder menarik kedua sudut birainya tinggi dan mengisi tempat kosong di sisi kiri. “Udara malam tidak baik untuk manusia. Sayangnya, taman ini memang membuat candu.”

Dengusan kecil terdengar dari sisi kanan Thunder, membuatnya menoleh dengan sebelah alis terangkat. “Kenapa tertawa?”

“Tidak, kau terdengar puitis sekali. Apa jangan-jangan semua vampir begitu?” canda Caramel menggoda Thunder dengan menaik-turunkan alis.

Telapak tangan vampir itu bergerak mengacak surai cokelat yang tergerai. “Itu masih belum puitis. Mau dengar yang lebih puitis?” tawarnya yang segera diangguki Caramel.

“Taman ini membuat candu, semakin candu saat ada kau, Cara.”

“Berhenti menggodaku, Thunder!”

Tawa si bungsu pecah menghancurkan keheningan malam, sedang tangannya menarik-narik kedua sisi pipi Caramel. Ia senang mendapati wajah memerah yang sering ia lihat setiap Zico berada di dekat gadis itu. Ia senang saat Caramel merona karena perbuatannya.

Thunder melayangkan gelitikan di bagian pinggang Caramel hingga rambut terurainya berantakan. Namun, ia tidak berhenti di sana karena rungunya mengalami kecanduan mendengar tawa Caramel.

“Cara, apa yang kau pikirkan tentang Zico?”

“Hah? Apa?” tawa Caramel belum juga reda dan memancing pergerakan Thunder untuk merapikan anak rambutnya yang menutupi wajah.

“Apa kau mencintainya?” tanya Thunder seraya memaku tatap.

“Kau bicara apa? Aku, kan, soulmate Zico. Entah sampai kapan aku akan terus di sampingnya.” Jawaban Caramel membuat Thunder berpikir lebih keras.

“Apa … jika kau diberi pilihan, kau akan tetap bersama Hyung?”

Tawa Caramel telah hilang sepenuhnya, tergantikan lensanya yang menyorot kebingungan. Pasalnya, mereka tidak membahas Zico sejak tadi, lalu kenapa membicarakan Zico sekarang?

“Aku minta maaf jika perkataan ini menyakitimu,”

Thunder mengepalkan tangan di atas pahanya tanpa sadar. Tatapan Caramel dan pikirannya entah kenapa tidak bisa ia baca.

“Zico, dia adalah orang pertama … yang ingin kujauhi.”

Tatapan Caramel menanar dan dengan segera gadis itu menunduk. Ia tidak yakin jika jawaban ini akan membuahkan hasil yang baik. Memorinya masih bersih saat Thunder menyiksa di penjara bawah tanah demi Zico. Dari sikapnya saja, Caramel tahu bahwa Thunder begitu menyayangi sang kakak.

“Pasti karena kau sudah menyukai orang lain, kan?” tebak si bungsu.

“Dulu, sekarang tidak.”

Binar mata rusa Thunder pun terbit. “Kalau begitu, mau mencoba jadi kekasihku?”


●○●


Setelah mendengar kabar bahwa Zico dan Caramel memilih kembali ke mansion, keenam putra Alxavander melakukan hal yang sama. Axel baru saja tiba dan sedang menyusuri lorong mansion, tetapi mendadak ia menghentikan langkah merasakan denyutan nyeri yang mendadak menyerang di bagian kiri. Kepalanya menoleh cepat pada sumber suara.

Di sana, Thunder tampak kegemasan sendiri melihat wajah malu-malu Caramel. Entah apa yang adiknya lakukan hingga wajah manusia itu memerah. Sepertinya ia kehilangan fokus sampai tidak dapat mencuri dengar pembicaraan mereka. Tidak ingin berlama-lama, Axel kembali meneruskan langkah hingga seseorang di ujung lorong menghentikannya.

“Ada apa, Hyung?”

Robert menggerakkan dagu ke arah taman sebelum menggeleng pelan dengan raut tak terbaca. “Kau dengar itu, Axel? Adik kita menyatakan perasaan.”

Axel terdiam dan tenggelam dalam perhatian berbeda, nalarnya menyimpulkan bahwa rasa sakit di dadanya disebabkan oleh hal itu.

“Aku tidak mengerti kenapa Thunder melakukannya. Kurasa, dia perlu sedikit dinasihati,” gumam Robert sebelum menghilang dengan teleportasi.

Axel mengusap wajah gusar, ia tidak ingin menambah masalah dengan membiarkan perasaan itu tumbuh. Dirinya memang belum yakin sepenuh hati jika rasa tidak enak didapatkan karena perkataan si bungsu. Namun, feeling-nya mengatakan sebaliknya. Meyakinkan ia bahwa itulah penyebab denyut tak terkontrol pada dadanya.

Saat Axel kembali melangkah, ia pun dikejutkan dengan keberadaan Zico yang berjalan sendirian di koridor.

Hello, Brother!” sapa Axel seraya merangkul bahunya.

“Wah, sejak kapan kau kembali?” Zico menyambut sapaan sang kakak dengan senyum kotak.

“Kau tidak merasakan kehadiranku?” tanya Axel dengan kening berkerut. Ada apa dengan mereka berdua? pikirnya.

Zico mengusap tengkuk kikuk. Ia juga tidak mengerti kenapa kehadiran sang kakak tidak terdeteksi indera vampir yang begitu sensitif. “Mungkin aku lelah, Brother.”

Axel mengangguk dua kali. Dalam benak, ia juga berpikir, mungkin lelah yang menyebabkan kemampuan pendengarannya menurun dan menyakiti dadanya. “Baiklah, kau butuh istirahat. Aku ke kamar dulu.”

Zico mengangguk dan membiarkan kakaknya menghilang dalam sekali kejapan mata. Langkahnya terus memangkas jarak menuju kamar. Ia memasuki kamar mandi dan membasuh wajah di wastafel.

Terakhir kali ia meminum darah adalah malam saat ia menawarkan racun Zero di tubuh Caramel. Rasa kering mulai melanda kerongkongan saat ia memainkan jemari di sisi leher bagian depan. Tanpa menunggu lama, Zico berlari dan melompat melalui jendela kamar yang terletak setinggi lantai tiga pada apartemen.

Pria jangkung berlari cepat, sedang tangannya menyeruak ranting-ranting yang melintang menutup jalan. Zico terus berlari, kegelapan pekat di dalam hutan tidak menyulitkan penglihatan. Tidak ada jeda barang sedetik sampai ia mendapati seekor rusa sedang terlelap di depan semak.

Seringaian seketika menghiasi wajah tampan Zico. Ia mendadak tidak sabar untuk menuntaskan dahaga yang semakin menggila saat netranya menemukan mangsa. Tubuhnya menerjang si rusa malang, menyarangkan tangan kanan dengan kuku yang runcing nan panjang.

Zico menenggelamkan jari tengah dan telunjuk untuk memutus arteri di leher binatang malam yang tak sempat melarikan diri. Dalam sekejap, darah memancar deras hingga menutupi sebagian besar wajah tampan dominan. Zico, yang kehabisan stok sabar, akhirnya memuaskan dahaga dan mengisap darah rusa langsung dari leher.

Begitu di rasa cukup, ia kembali meletakkan tubung kering binatang bertanduk itu di tempat semula. Setelah acara makan malamnya usai, ia bertolak kembali ke mansion dan sebuah pekikan feminin membuat menginterupsi langkah Zico hingga tersendat. Gadis yang ia pikir telah meringkuk di balik selimut tebal kini berlari mendekat. Wajahnya pucat seketika dan ia berhenti beberapa langkah darinya.

“Kau dari mana? Kau baik-baik saja?” tanya Caramel khawatir. Si petit tampak ingin melangkah, tetapi ia berakhir dengan menutup hidung saat aroma anyir mengganggu.

“Itu bukan darahnya, Cara. Dia baru berburu.” Thunder berjalan mengikuti Caramel dan berhenti tepat di sampingnya.

Entah kenapa, sesuatu yang janggal mengusik perasaan Zico. Jika mereka di sini hanya berdua, apakah ada sesuatu yang baru ia lewatkan? Ia ingat, saat di rumah, Caramel dan Thunder tidak sedekat ini karena kejadian di ruang bawah tanah mansion. Namun, apa yang ia lihat saat ini sungguh aneh.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Zico. Raut panik di paras feminin membuat ia semakin aneh merangkai hipotesis.

“Aku baru saja-”

“Aku kira itu darahmu. Syukurlah kalau bukan. Aku pamit ke kamarku dulu,” ujar Caramel sebelum pergi dengan tergesa.

Senyuman Thunder pun luntur. “Dasar, aku baru saja ingin bicara, tapi malah ia potong.”

Gumaman sang adik semakin membuat Zico menerka. “Memangnya apa yang ingin kau katakan, Thunder?” tanyanya dengan mata menyipit tajam.

Senyuman polos itu hadir kembali. “Tidak ada, hehe. Lupakan saja.”

Lalu, dalam hitungan detik Thunder menghilang dari pandangan Zico. Manik obsidian pria itu melirik tajam pungung mungil yang baru saja menapaki koridor setelah melewati beberapa anak tangga.

“Hah.”

Aku harap kau menepati janjimu, Nona Shin. Aku tidak ingin menyakiti saudaraku sendiri, tetapi aku tidak akan bisa melepaskanmu.


~To Be Continued~
👑👑👑

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro