04. Leo

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Shit! Aku kembali mengumpat. Astaga, jadi inikah hasilnya? Dibela-belain ikut mendaki anak-anak pecinta alam, dan ini hasil yang aku dapatkan?

I lost! Aku tersesat!

Ya ampun, ini toh bukan pertama kalinya aku ikut acara kayak gini. Tapi, kenapa aku bisa ceroboh. Kenapa aku bisa terpisah dari rekan-rekanku yang lain dan sekarang, di sinilah aku! Sendirian, di tengah-tengah hutan belantara. Hape-ku mati, aku buta arah dan aku nggak tahu sama sekali wilayah ini!

"Hoei! Ada yang bisa denger aku nggak?!" aku berteriak, untuk yang ke sekian kalinya.

"Tolong! Aku tersesat!" aku kembali berteriak. Tak ada jawaban. Hanya suaraku yang bergema. Aku kembali menarik nafas panjang.

"Oke, oke, anggap aja aku lagi ngomong sama angin ... ah!" kalimatku berganti jeritan ketika tiba-tiba kakiku terpeleset dan aku terguling ke bawah lereng.

Bug, tubuhku menghantam salah satu pohon. Aku segera meringis kesakitan.

Aku menggerak-gerakkan tangan dan kakiku. Untung nggak ada yang patah. Hfftt...

Aku mendongak. Matahari mulai terbenam. Hari akan segera gelap. Aku duduk terdiam, mencoba berdamai dengan situasi. Oke, aku terima kalo aku tersesat. Tapi aku nggak akan mati di sini 'kan?

Aku meraih tasku. Persediaan air minum dan bahan makananku terbatas, jadi aku harus berhemat. Perlahan aku bangkit, dan aku mulai-mulai mencari-cari ranting kering untuk kujadikan perapian. Well, aku memang harus menginap di sini malam ini.

***

Aku mengerjapkan mataku ketika kurasakan cahaya matahari mulai menimpa wajahku. Kulirik sekelilingku, keadaan masih sama seperti kemarin. Berarti aman.

Aku bangkit. Kuraih botol minumku dan minum sedikit air dari sana. Aku juga melahap sepotong roti sisa semalam. Lumayan untuk sarapan.

Aku baru saja mengunyah potongan terakhir dari rotiku ketika tiba-tiba aku mendengar suara berisik dari semak-semak yang berada di belakangku. Segera aku bangkit dan memasang kuda-kuda kalau saja itu adalah hewan buas. Beberapa detik aku menunggu, suara gemerisik itu tak berhenti. Tapi tak ada sosok apapun yang keluar dari semak-semak itu, maksudku, belum.

"Siapa di situ? Manusia? Hewan? Atau hantu?" aku berteriak.

"Manusia atau hantu, keluarlah! Tampakkan wujudmu, aku nggak takut!" teriakku lagi. Tetap tak ada penampakan. Aku mundur beberapa langkah ketika gemerisik itu semakin menjadi-jadi. Aku menyiapkan kedua tinjuku. Aku pernah ikut kelas karate, jadi jika ada hewan buas menyerang, aku pasti bisa mengatasinya.

Dan kegelisahanku berganti takjub ketika beberapa saat kemudian, sesosok cowok jangkung muncul. Kami berpandangan, tanpa berkata-kata.

Seraut wajah yang tampan. Kulitnya agak kecoklatan karena sinar matahari, tapi, mata di bawah alis tebal itu begitu bening dan teduh. Astaga, dia tampan luar biasa.

"Siapa kamu?" aku bertanya, tetap dengan sikap waspada.

"Dan kamu sendiri, siapa?" ia balik bertanya. Dia punya timbre suara yang seksi.

"Aku yang nanya duluan, kamu siapa?" aku kembali bertanya.

"Aku juga berhak nanya, kamu siapa?" ia kembali balik bertanya.

"Kamu manusia apa hantu?"

"Dan kamu sendiri, manusia apa hantu?"

"Ya ampun, kenapa kamu selalu ngembaliin pertanyaanku?"

"Dan kenapa kamu selalu banyak nanya?" ia terlihat kesal. Aku mendesah. Sikapku berubah nyantai sekarang. Masa bodoh dia siapa, yang jelas aku lega bisa ketemu manusia.

"Aku tersesat," ucapku kemudian.

"Sama. aku juga tersesat," ia menjawab.

"Ah, syukurlah," gumamku.

Cowok itu menatapku heran.

"Aku tersesat dan kamu bersyukur?" ia terdengar kesal.

"Bukan gitu, maksudku, aku lega karena setidaknya aku nggak sendirian," jawabku. Aku terduduk lemas. Dan tanpa kusangka, cowok itu berjalan menghampiriku lalu duduk di sampingku.

"Ya, aku juga lega karena ternyata aku juga nggak sendirian," ia menjawab seraya tersenyum. Aku terkesiap. Astaga, dia ganteng banget!

"Aku Leo," ia mengulurkan tangan.

"Kiki," jawabku seraya menyambut uluran tanganya. Tangannya dingin dan penuh keringat. Ia tampak sama kelelahannya denganku.

"Sejak kapan tersesat?"

"Kemarin," jawabku.

"Sama," ucap cowok bernama Leo itu.

Dan begitulah akhirnya. Aku tersesat, berdua, bersama cowok keren yang kutemui di hutan, Leo.

Melegakan karena ternyata kami seumuran dan duduk di tingkat kelas yang sama. Ia juga kelas XI. Dan surprise ketika aku juga tahu bahwa dia berasal dari es-em-a yang hanya berjarak 15 km dari sekolahku.

Dan nggak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab satu sama lain. Bukan karena kami senasib, tapi kami juga banyak kecocokan. Nggak tahu kenapa, pokoknya kami serasa nyambung aja.

Kami bahu membahu untuk mencoba mencari jalan keluar dari tempat ini. Kami berbagi air minum dan juga makanan. Ia bahkan membantu mengobati luka gores di kaki dan juga tanganku. Kotak P3K-nya bahkan lebih lengkap dari yang aku bawa.

"Persediaan makananku menipis," ucapku.

"Sama, aku juga," ia menjawab. Langkahnya terhenti, dan aku mengikutinya. Ia menatap ke arahku.

"Kita harus hemat energi aja. Kita akan simpan tenaga kita untuk cari sesuatu yang bisa dimakan. Keluar dari sini memang penting. Tapi yang paling penting adalah kita harus hidup, nggak peduli sampai kapan kita akan di sini. Oke?"

Aku mengangguk.

Hari mulai gelap. Dan kami memutuskan untuk bermalam di tempat tersebut.

Aku memeluk kedua lututku dan memilih duduk sedekat mungkin dengan perapian. Entahlah, tapi udara malam ini kayaknya lebih dingin daripada semalam.

"Kamu nggak apa-apa 'kan, Ki?" Leo bertanya dengan nada cemas. Dan aku sempat ge-er. Aku belum pernah sedekat ini dengan cowok manapun dan belum pernah juga ada cowok yang bertanya dengan penuh kekhawatiran seperti itu. Ah, aku tersanjung.

"Kayaknya malam ini lebih dingin dari semalam ya? Aku kedinginan," jawabku jujur. Dan aku memang merasakan tubuhku menggigil. Leo bangkit, melepas jaketnya lalu melingkarkannya di tubuhku. Aku mengernyit.

"Apa-apaan sih?" tanyaku. Aku menatap baju yang sedang di pake Leo. Sebuah sweater tipis.

"Nggak ah, aku 'kan udah pake jaket. Kamu lebih butuh jaket ini, bajumu tipis," aku melepaskan jaketnya lalu menyodorkannya ke arahnya.

"Kamu kedinginan, Ki," Leo kembali melingkarkan jaket itu menutupi tubuhku.

"Tapi kamu juga akan kedinginan,"

"Helloo, aku ini cowok, Ki. Aku nggak selemah itu. Aku bisa bertahan di dalam cuaca seperti ini dengan baju seperti ini,"

"Tapi, tetap aja kamu ...."

"Kiki?"

"Enggak, pake aja jaketmu. Aku nggak mau kamu sakit," aku kembali menyerahkan jaket tersebut.

"Kamu keras kepala ya?"

"Dan kamu juga," jawabku. Leo terdiam sesaat.

"Oke, gini aja," ia beranjak, duduk tepat di sampingku, menempel padaku lalu merentangkan jaket itu hingga menutupi sisi bahu kami.

"Ini lebih adil 'kan?" ucapnya seraya tersenyum tulus. Aku merasakan dadaku berdegup kencang. Apakah pipiku bersemu merah sekarang?

"Oke deh, cukup adil," jawabku kemudian. Dan jadilah kami duduk berdua, berdekatan, berselimut jaket yang sama. Dan aku tak menolaknya. Dan aku bahkan tak menolak ketika aku merasakan Leo merentangkan tangannya lalu memeluk diriku hingga aku tertidur dalam dekapannya.

***

Leo berdiri di pinggir tebing. Tatapannya menerawang jauh ke seberang sana.

"Gimana?" tanyaku. Leo menoleh ke arahku.

"Aku melihat asap di seberang sana. Berdo'a aja itu adalah sebuah desa. Masalahnya adalah, untuk nyampek sana, kita harus mengitari 2 bukit lagi. Dan kayaknya nggak akan cukup kita lakuin dalam waktu sehari," jawab Leo. Aku manggut-manggut.

"Nggak apa-apa. Kita coba aja," aku meyakinkannya. Ia beranjak mendekatiku.

"Yakin kamu masih kuat?" ia bertanya lagi, dengan nada cemas lagi. Ah, semakin ia mencemaskanku, aku semakin suka.

"Yup, yuk," aku meraih tasku lalu berjalan mendahuluinya. Tapi, lagi-lagi aku kurang hati-hati. Kakiku terpeleset dan aku nyaris terjun ke jurang jika saja Leo tak segera menangkap lengan tanganku.

"Kamu nggak apa-apa 'kan?" ia bertanya dengan ketakutan. Aku menelan ludah. Sama takutnya. Perlahan aku mengangguk.

"It's oke, it's oke, kamu aman sekarang," kalimat Leo terdengar menenangkan ketika melihat ketakutan dalam wajahku. Ia mengangkat tubuhku lalu mengajakku ke tempat yang lebih datar, di bawah pohon.

"Kita istirahat dulu di sini," ucapnya.

"Gimana? Ada yang luka? Yang mana yang sakit?" ia nyerocos. Aku menunjuk ke arah lutut dan tulang keringku yang mengeluarkan darah. Sepertinya tergores bebatuan tebing.

"Ya Tuhan," Leo menggumam lirih. Dengan sigap ia memeriksa lukaku dan segera mengolesinya dengan obat merah.

"Mana lagi yang luka?"

Aku menggeleng.

"Udah, itu aja," jawabku kemudian. Aku menatap Leo dengan takjub. Cowok itu merawat lukaku dengan sempurna.

"Minumlah," ia menyodorkan botol air minumnya. Aku menggeleng.

"Nggak usah, aku nggak terlalu haus. Lagipula, kita harus hemat 'kan? Persediaan air minum kita terbatas,"

"Ki, plis. Aku nggak mau kamu pingsan. Ntar aku akan coba nyari mata air di sekitar sini,"

Leo gigih memaksaku untuk minum air tersebut, dan akhirnya aku nyerah. Sebenarnya nggak tega minum sendirian, apalagi air kami tinggal ini. Tapi, aku bener-bener lemes. Dan aku nggak mau pingsan di sini. Jika aku tak sadarkan diri, Leo akan semakin susah mengurusi aku.

"Kita istirahat di sini aja, oke," ia menyarankan.

Aku mengangguk.

"Aku akan mencoba berkeliling. Siapa tahu ada mata air di sini. Kamu nggak apa-apa 'kan kalo ku tinggal di sini?"

Aku mengangguk tanda setuju. Dan, akhirnya Leo meninggalkanku. Sesaat setelah ia pergi, aku merasakn tubuhku ambruk. Kakiku yang terluka terasa berdenyut-denyut sakit. Dan kepalaku juga. Mataku terasa berat terbuka hingga perlahan-lahan mataku terpejam dengan sendirinya tanpa mampu ku tahan.

Aku mengantuk, ah, entahlah. Aku merasakan tubuhku melayang-layang. Ada semacam perasaan naik turun kayak naik rollercoaster. Di saat yang lain, tubuhku seraya mati rasa. Tangan dan kakiku terasa kebas. Apakah aku pingsan?

Samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku lalu kurasakan sebuah sentuhan lembut di kening dan juga pipiku.

"Ki, bangunlah. Buka matamu, please,"

Ajaib, setelah panggilan yang berulang-ulang, mataku terbuka dengan perlahan. Tampak Leo berlutut di sampingku, tatapan matanya cemas dan putus asa.

"Kamu nggak apa-apa 'kan? Kamu tak sadarkan diri ketika aku kembali,"

Oh, aku benar-benar pingsan. Lidahku ingin mengatakan sesutu, tapi nggak bisa. Susah banget membuka mulut.

"Aku dapat air. Ada mata air tak jauh dari sini. Dan aku juga membawa beberapa buah-buahan liar yang layak di konsumsi. Lumayan, kita nggak akan kelaparan," Leo menarik punggungku, ia menyandarkan kepalaku di pundaknya. Segera menyodorkan botol yang berisi air penuh ke depan mulutku.

"Minumlah," ia memerintahkan. Aku membuka mulut dengan susah payah, tapi akhirnya bisa meminum air tersebut. Lega sekali rasanya. Tenagaku seakan sedikit kembali. Aku memijit pelipisku dengan ringan.

"Thanks, tapi aku udah bisa duduk sendiri," aku menarik diri perlahan dari dekapan Leo, lalu duduk sendiri. Leo menyodorkan buah-buahan ke arahku dan aku melahapnya kayak orang kelaparan. Beracun ato enggak, aku nggak peduli. Bodo amat! Kayaknya lebih baek mati keracunan daripada mati kelaparan.

"Lebih baek?"

Aku mengangguk.

"Bentar lagi gelap. Kita bermalam di sini aja,"

Aku kembali mengangguk.

"Say something, please," ucapan Leo seakan penuh permohonan. Aku mengernyitkan dahiku. Bingung.

"Aku lega kalo dah dengar suaramu. Setidaknya, dengan mendengarmu berbicara, aku yakin kamu baik-baik aja," lanjutnya. Aku menelan sisa buah-buahan dalam mulutku.

"Aku ... baik," jawabku kemudian, lirih. Senyum segera merekah di bibir Leo. Ia manggut-manggut.

"Aku akan menyiapkan perapian," ucapnya seraya beranjak.

Dan ketika malam mulai merangkak, aku merasakan keadaanku jauh lebih baik. Aku minum air yang cukup, dan buah-buahan yang gak beracun itupun cukup memberikanku energi. Hanya, kakiku yang masih terluka-lah yang masih berdenyut-denyut sakit.

"Kita nggak akan mati di sini 'kan?" aku membuka suara setelah sekian lama kami asyik dengan pikiran kami masing-masing, duduk diam di dekat perapian. Leo menoleh. Ia duduk tepat di sampingku, seperti kemarin malam.

"Kenapa kamu nanya kayak gitu?"

Aku mengangkat bahu.

"Entahlah, aku hanya takut kalo kita nggak akan ditemukan dan ... kita mati kelaparan di sini," ucapku.

Leo menatapku lembut.

"Kamu akan selamat. Percayalah, kamu akan sampai di rumah dengan selamat," ucapnya yakin.

"Tim SAR pasti akan menemukan kita. Mereka hanya masih butuh waktu. Dan percayalah, kita nggak akan mati kelaparan. Aku nggak akan membiarkanmu mati kelaparan. Percayalah padaku, oke,"

Aku terkesima. Sumpah, kalimatnya bener-bener membuat jantungku berdebar, jungkir balik nggak karuan.

"Apa kita akan tetep jadi temen kalo kita sudah keluar dari sini?" Aku kembali bertanya dan Leo kembali membalasnya dengan senyuman. Perlahan cowok cakep itu mengangguk.

***

Matahari terasa tepat di atas kepalaku. Panasnya bukan maen. Kulitku terasa terbakar. Aku berjalan terseok-seok di belakang Leo. Ia juga ngalamin hal yang sama.

"Masih jauhkah?" tanyaku. Nafasku sudah kembang kempis kayak balon yang siap meletus.

"Yup, kita lewati bukit ini dan kita kan nyampek di desa itu, semoga," ucapan Leo terdengar nggak yakin. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku sudah nggak mampu ngomong. Lututku lemas dan aku ambruk. Leo segera berbalik dan berlari ke arahku.

"Ki? Kiki?" ia menepuk-nepuk pipiku. Mataku setengah terpejam.

"Aku nggak kuat," jawabku, lirih.

"Ayolah, Ki. Kamu harus kuat. Tinggal dikit lagi," Leo kembali menepuk-nepuk pipiku hingga membuat mataku sedikit terjaga oleh sentuhannya.

"Kamu, lanjutkanlah perjalananmu. Pergilah ke desa itu dan carilah bantuan. Aku akan nungguin kamu di sini," ucapku lagi.

"Aku nggak akan ninggalin kamu. Kita akan nyampek ke desa itu bareng-bareng. Dan kita akan ditemukan bareng-bareng,"

"Tapi aku udah nggak kuat," ucapku lagi.

"Duduklah dulu," ia memerintahkan seraya membantuku duduk. Cowok itu melepaskan tas ranselnya lalu ganti meletakannya di depan tubuhnya, melingkari dada dan perutnya. Kemudian ia berlutut membelakangiku.

"Naiklah, aku akan menggendongmu," ucapnya.

"Oh, enggak. Ini akan semakin menyusahkanmu," ucapku lagi. Aku belum sempat melanjutkan kalimatku ketika ia menarik kedua lengan tanganku, menjulurkannya melewati kedua bahunya lalu mulai menggendongku di punggungnya. Aku bisa merasakan bahwa ia bersusah payah untuk berdiri kemudian melangkahkan kakinya. Ia melangkah dengan hati-hati melewati terjalnya lereng dan ... ia juga menggendongku dengan penuh hati-hati.

Aku terdiam, tenagaku bahkan sudah habis hanya untuk mengatakan sesuatu. Aku menyandarkan kepalaku dipunggung Leo, dan setelah itu, aku tak sadarkan diri.

***

Aku sudah berada di rumah sakit ketika membuka mata. Terbaring lemah di ruang rawat inap, di kelilingi temen-temenku dan juga keluargaku. Kakiku terasa sakit. Kepalaku berdenyut-denyut. Tapi aku udah bisa sadar sepenuhnya. Kedua mata papa dan mamaku tampak sembab. Mereka baru saja nangis. Ke empat sobatku juga gitu. Kedua mat Fifi dan Sonya tampak merah. Sementara Olla dan Jihan masih sesenggukan.

"Aku baik-baik aja 'kan?" aku seakan bertanya pada diriku sendiri.

Mereka mengangguk hampir bersamaan. Mama duduk di sampingku dan menyentuh tanganku dengan lembut.

"Syukurlah kamu nggak apa-apa, sayang. Kami bener-bener khawatir sama kamu. Tim SAR udah berjuang dengan maksimal untuk menemukanmu. Dan mama bener-bener bersyukur kamu selamat dan baik-baik aja," Mama kembali sesenggukan. Papa segera meraih bahunya dan memeluknya lembut.

"Dimana Leo?" tanyaku kemudian.

Mereka berpandangan silih berganti.

"Dia baik-baik aja 'kan?" aku kembali bertanya dengan cemas. Pasti ada yang nggak beres!

"Leo?" Fifi menggumam.

"Leo siapa?" Sonya bertanya duluan.

"Leo? Cowok yang juga tersesat sama aku. Kami berjuang bareng untuk bisa keluar dari hutan tersebut,"

Dan mereka kembali berpandangan. Ampuh deh, aku jadi cemas sekarang. Perlahan aku bangkit untuk duduk, mama membantuku dan meletakkan bantal di belakang punggungku hingga aku bisa bersandar.

"Aku tersesat bersama seorang cowok bernama Leo. Dia yang membantuku keluar dari tempat tersebut. Dia menggendongku, dia merawat lukaku, dan dia ..." kalimatku terhenti.

"Dia nggak apa-apa 'kan?" aku kembali bertanya dengan hati-hati.

Dan mereka kembali berpandangan.

"Mereka menemukanmu sendirian, Ki. Nggak ada seorangpun yang bersamamu ketika tim SAR melihatmu tergeletak di lereng bukit,"

Aku mengernyit.

"Lantas, kemana dia? Aku bersamanya. Dia bahkan menggendongku. Apa dia jatuh ke jurang?"

Mereka menggeleng.

"Nggak ada, Ki. Nggak ada siapapun di sana. Tim SAR sudah menyisir tempat tersebut dan ... kamu sendirian," Fifi kembali menjelaskan.

Aku menelan ludah.

"Sebentar, akan kupertegas ini, girls. Aku tersesat selama hampir 4 hari di hutan, dan aku ketemu seorang cowok yang juga tersesat di sana bernama Leo. Bagaimana mungkin mereka bilang aku sendirian?Atau mungkin ... dia bener-bener jatuh ke jurang?" Aku mulai kesal sekaligus khawatir.

"Oke, dengerin baik-baik ya Ki. Kami tahu kamu masih syok setelah apa yang terjadi sama kamu. Tapi, kami akan ngejelasin ini biar kamu nggak tambah bingung. Sekali lagi, mereka nemuin kamu sendirian. Nggak ada siapapun di sana, tidak juga dengan sosok cowok yang kamu bilang tadi. Tapi tak jauh dari tempatmu tergeletak tak sadarkan diri, mereka nemuin sesosok kerangka manusia yang diperkirakan telah meninggal sekitar 5 tahun yang lalu. Pihak berwajib udah nyelidiki ini. Dan mereka juga udah mengidentifikasi kerangka tersebut. Mereka bilang itu adalah kerangka pendaki yang hilang selama 5 tahun yang lalu. Mereka sudah memastikan bahwa itu adalah kerangka cowok berumur sekitar 17 tahun bernama Leonard Aditya. Pihak keluarga juga sudah ikut memastika hal itu. Mereka bahkan sudah mengambil jenasah yang tinggal belulang tersebut. Dan, mereka akan memakamkannya denga layak besok pagi," Sonya menjelaskan panjang lebar.

Aku mematung.

Pendaki yang telah hilang 5 tahun yang lalu? Tinggal tulang belulang? Leo? Leonard Aditya?

"Kamu pengen ketemu dengan papanya?"

Aku mendongak, menatap ke arah mamaku dengan tak percaya.

"Papanya ... siapa?" tanpa sadar aku menggumam.

"Papanya Leonard. Yang kerangkanya baru ditemukan bebarengan dengan ditemukannya dirimu," jawab mama lagi. Aku mengangguk mantap. Dan tak lama kemudian, seorang lelaki berumur sekitar 55 tahun masuk ke kamarku.

Aku membelalak. Astaga, aku seperti melihat Leo dalam versi yang lebih tua. Wajahnya sama persis. Alisnya yang tebal, tatapan matanya yang lembut, hidungnya yang mancung, tulang pipinya, bibirnya ketika tersenyum. Ya Tuhan, itu dia!

"Kami akan nunggu di luar, Ki. Bicaralah dengan tenang dengan bapak ini," Jihan memohon diri di ikuti ketiga sobatku yang lain, juga papa dan mamaku.

"Selamat siang, nak kiki," lelaki itu menyapa duluan dengan ramah. Ia tersenyum. Aku juga tersenyum, kaku.

Dan lelaki itu mulai memperkenalkan diri. Tujuan ia ke sini menemuiku adalah untuk berterima kasih padaku karena berkat dirikulah (menurut versi dia) jenasah putranya yang telah meninggal bertahun-tahun yang lalu dapat ditemukan.

Leonard Aditya, kelas 2 SMA, berumur sekitar 17 tahun, itu putranya. 5 tahun yang lalu, ia mengikuti acara mendaki dengan rekan-rekan pecinta alamnya. Tapi setelah itu, ia hilang. Kemungkinan yang terjadi adalah, ia tersesat, dan akhirnya ditemukan meninggal dengan menyisakan tulang belulangnya saja.

"Leo meninggal pada saat seusiamu nak Kiki. Andaikan saja dia hidup, mungkin saja ia sudah sarjana. Ah, dia benar-benar anak yang baik," lelaki itu mendesah.

"Tapi om sudah ikhlas. Segala sesuatu sudah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Dan om beserta seluruh keluarga besar kami sudah menerimanya dengan lapang dada. Dan, dengan mewakili mereka semua, om akan tetap mengucapkan terima kasih pada nak Kiki karena berkat nak Kiki-lah jenasahnya bisa ditemukan sehingga bisa dikuburkan secara layak. Pastinya sekarang, Leo sudah lebih tenang di alam sana,"

Aku menelan ludah mendengar penuturan lelaki itu.

"Bapak masih foto Leo, jika masih, bisakah saya melhatnya sebentar,"

"Oh ada, om punya fotonya yang selalu om bawa di dompet," lelaki itu mengambil secarik foto usang dari dompetnya lalu menyodorkannya ke arahku. Aku menerimanya dengan tangan gemetar. Aku memberanikan diri melihat foto tersebut, dan tubuhku serasa kaku.

Itu memang dia. Gambar di foto itu sama persis dengan Leo yang bersamaku di dalam hutan tersebut.

Ya Tuhan, apa itu bener? Aku telah menghabiskan waktuku berhari-hari di hutan bersama ... hantu?

Seketika aku merasakan dadaku berdegub kencang. Udara di dalam ruangan terasa begitu tak biasa. Berdesir aneh hingga merasuk ke dalam pori-pori tubuhku. Tapi, anehnya aku tak merasa takut sama sekali.

"Maaf Om, bisakah om membiarkanku sendirian dulu. Aku ingin ... menanangkan diri. Dan foto ini, bisakah saya memintanya?"

Dan papa Leo tak keberatan sama sekali. Lelaki tua itu tersenyum, mengangguk, lalu memohon diri dengan sopan. Selepas ia pergi, aku duduk mematung seraya mematung potret Leo di tanganku. Dan aku benar-benar merasakannya. Aura aneh di dalam kamarku.

Aku mendongak dan menatap sekelilingku.

"Aku tahu kamu di sini. Bisakah kamu temui aku ... Leo," ucapku.

Dan .... beberapa saat kemudian, sesosok tubuh perlahan mulai terlihat berdiri di hadapanku, di depan ranjangku tepatnya. Sosok itu seakan bermula dari asap hingga membentuk sosok manusia utuh.

Dan aku kembali terperanjat.

Itu Leo. Tetap dengan celana jeans, kaos oblong putih di padu dengan kemeja warna senada yang terlihat begitu bersih dan bersinar. Ketika tersesat bersamanya aku sempat menanyakan padanya kenapa dia memakai baju putih ketika mendaki, dan dia bilang, itu karena ia memang suka warna putih..

Entah kenapa, tapi aku nggak takut sama sekali.

Ia terlihat tampan, lebih tampan dari terakhir kali aku melihatnya.

"Aku nggak takut sama kamu. Bisakah kamu mendekat," aku meminta lembut.

sosok itu tersenyum seraya melangkah mendekatiku. Ia berdiri di samping tempat tidurku.

"Jadi ... inikah kamu yang sebenarnya?" tanyaku.

Dia tersenyum dan mengangguk.

"Kenapa kamu nggak takut padaku?" ia membuka suara, suara yang masih sama.

Aku menggeleng.

"Entahlah, tapi aku nggak punya alasan untuk takut padamu," jawabku.

Kami berpandangan, lama.

"Apa kamu punya kekuatan supernatural hingga kamu bisa melihatku?"

Aku tak segera menjawab.

Perlahan aku menggeleng.

Leo manggut-manggut.

"Oke, aku anggap itu sebuah anugerah hingga kita bisa bertemu. Dan ... aku ingin ngucapin makasih sama kamu sebelum aku pergi,"

Aku menatapnya dengan dalam.

"Kamu ... akan pergi?"

"Ya, mereka akan menguburkanku dengan layak dan aku akan tenang. Jadi, waktunya untuk pergi 'kan?" jawabnya.

"Sekali lagi, makasih ya Ki. Berkat dirimu, mereka menemukanmu. Dan ....,"

"Kamu bilang kita tetap akan jadi teman 'kan?" potongku.

Leo tersenyum kecut.

"Maafkan aku. Itu bohong," jawabnya.

"Jadi ..."

"Aku akan pergi. Itulah yang seharusnya. Pokoknya, makasih banget ya. Aku bener-bener seneng kenal sama kamu. Ah, andaikan aja aku kenal kamu lebih awal, aku pasti ...." kalimat Leo terhenti, tatapan matanya tulus ke arahku. Begitu dalam seolah-olah tak ingin berpisah denganku. Aku menelan ludah. Dadaku sesak.

"Apa kita akan ketemu lagi?"

Leo menggeleng.

"Tidak," suaranya parau.

"Aku harus pergi, makasih ya," ia melanjutkan.

"Tapi ...,"

"Selamat tinggal, jangan sampai tersesat lagi ya. Jaga dirimu baik-baik, oke,"

"Leo .."

"Bye,"

Dan dia menghilang. Begitu saja.

Aku mematung. Entah kenapa, aku merasakan air mataku menitik. Terasa sakit di sini, di dada ini. Dan aku menyadari, aku telah patah hati, untuk yang pertama kali ..

***

3 Desember 2001

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro