05. Sonya Jatuh Cinta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sonya diskor dari sekolah selama seminggu karena terlibat perkelahian dengan Nita, anak XI-2.

Dan kami sama sekali nggak tahu tentang kejadian perkelahian itu. Kami juga nggak tahu ada apa sebenarnya antara Sonya dan Nita. Setahu kami, mereka berdua sama-sama aktif di klub basket dan kayaknya mereka baik-baik aja tuh selama ini.

Lah, sekarang kenapa jadi jambak-jambakan kayak gini??

Aku yakin bahwa Nita telah melakukan sesuatu padanya hingga Sonya harus melawannya dengan tenaga fisik. Karena sepanjang yang aku tahu, Sonya takkan memukul orang secara sembarangan jika kesabarannya bisa ditahan.

"Ada apa sih Son?" tanyaku ketika kami bersiap-siap pulang, bel sudah berbunyi sekitar 5 menit yang lalu.

Tak seperti biasa dimana Sonya akan segera menjitak kepalaku jika aku memanggilnya 'Son', kali ini ia hanya terdiam seraya merapikan alat-alat tulisnya, tanpa melihat ke arahku, maupun ke arah Jihan, Fifi dan Olla.

"Son, plis? Cerita dong ke kami," pintaku lagi.

"Oke, kau mau cerita pada kami? Atau kami terpaksa menemui Nita dan meminta ia bicara yang sebenarnya?" Aku setengah mengancam. "Kau tahu 'kan? Bukan kau saja yang suka membuat keributan." Tatapanku tegas. Nyaris kehabisan kesabaran.

Dan itu benar.

Di antara kami berlima, aku dan Sonya-lah yang paling impulsif. Kami berdua yang paling sering terlibat keributan dengan orang lain, tentunya dengan alasan yang tepat. Bedanya, Sonya bertubuh atletis, sementara aku lebih mungil. Tapi jika masalah nyali, kami imbang.

Sonya menarik nafas lalu mendongak ke arah kami.

"Nita menuduhku merebut pacarnya, dan kami berkelahi," jawabnya kemudian, lirih.

Aku melongo, ketiga sahabatku yang lain juga.

"Merebut pacarnya? Siapa? Kau tak benar-benar merebut pacar orang lain 'kan?!" teriakku.

"Demi Tuhan, enggak." Sonya cepat-cepat meralat dan menjawab tegas. "Aku enggak akan melakukannya. Sungguh," ucapnya cemas.

Aku mengangguk-angguk.

Kami memang punya kesepakatan untuk tidak merebut pacar orang lain. Jika toh kami mencintai orang yang sama, maka kami akan bersaing secara sehat.

Bagi kami, menikung teman sendiri adalah kejahatan level 2.

Sementara kejahatan yang level 1 : membiarkan teman celaka..

"Lalu, bagaimana cerita yang sesungguhnya?" tanyaku lagi. Sonya kembali mendesah.

"Sori, untuk kali ini, aku belum siap cerita. Kapan-kapan aja ya kalo aku udah tenang. Oke? Aku ingin cepat-cepat sampek rumah 'en tidur. Ya?" Ia menjawab dengan nada putus asa.

Kami hanya bisa mengiyakan dengan berat hati. Hingga beberapa hari ke depan, kami tetap gagal mendapat info lebih lanjut darinya.

"Jadi gimana? Nggak ada gosip apa-apa soal Sonya maupun Nita?" Jihan bertanya ke arahku. Aku terdiam sesaat seraya memainkan penaku, coret-coret tak menentu di atas bukuku. Olla dan Fifi duduk tepat di bangku di depanku. Tatapannya lurus ke arahku, seolah-olah menunggu kalimat dariku.

"Ya itulah, yang kami dengar Sonya dan Nita berantem gara-gara cowok. Nggak mungkin banget 'kan? Sonya pasti punya alasan," jawabku kemudian. Aku dapat info ini dari beberapa anak yang suka menggosip di kantin. Ketiga sahabatku manggut-manggut.

"Sonya nggak mungkin berantem cuma gara-gara cowok apalagi merebut pacar orang," Jihan menimpali. Aku mengangguk sambil memanyunkan bibirku.

Kami tahu Sonya tomboi, tapi berantem cuma gara-gara cowok nggak ada dalam kamusnya! Dia lebih memilih jomblo selamanya daripada harus adu otot gara-gara rebutan makhluk Adam yang buat dia - nggak penting sama sekali!

"Kita cari aja Nita, mungkin dia mau jelasin ini ke kita," ucap Jihan.

"Dia 'kan juga di skors. Mau tanya gimana?" ucapku.

"Enggak tuuuuuhhh..... Dia nggak di zkors kooooookkk," jawab Olla polos.

Aku, Jihan dan Fifi melotot ke arahnya.

"Kalo Sonya di skors kenapa Nita enggak? Kan mereka sama-sama berantem 'en adu jotos?" Kami bertanya hampir bersamaan.

"Kata anak-anak, Zonya yang mukul en jambak duluan. Jadi, kezalahan ada pada Zonya. Makanya zi Nita nggak di zkorz karena dia dianggap sebagai korban," jawab Olla.

"Jadi kamu tahu soal ini?" Aku nyaris berteriak.

Olla mengangguk. Aku melotot.

"Busyet,kenapa kamu nggak ngomong dari tadi?" bentakku. Olla nyengir.

"Zorrriii, Kiki. Akyu lupppaaa," jawabnya.

"Ya udah, kita cari aja Nita. Hanya dia yang bisa ngejelasin semuanya. Yuk,"

tanpa menunggu jawaban dari temen-temenku, aku segera beranjak, menuju kelasnya Nita.

Sesampainya di sana, kami melihat ia tengah bersenda gurau dengan rekan-rekannya di depan kelas. Aku sewot. Kurang ajar banget sih nih anak. Sonya di skors, eh, dia malah tralala trilili di sini!

"Bisa bicara sebentar?" Aku langsung menyapanya dengan pertanyaan. Tawa Nita segera berhenti dan segera berganti dengan tatapan kesal ke arahku.

"Oh, ini nih geng-nya. Mau apa? Mau balas dendam karena rekan kalian yang rese itu di skors? Syukurin," ia menjawab, lantang, di dampingi ketiga sobatnya yang mirip bodyguard di sisi kanan dan kirinya. Amit-amit....

"Siapa yang rese? Sonya maksudmu?" aku balas menatapnya, berjengit.

"Siapa lagi? Si rese yang hobinya ngerebut pacar orang," Nita kembali ngoceh.

Nah loh, belum juga di tanya, eh, udah nyerocos duluan. Suatu kebetulan banget 'kan?

"Bicara deh yang jelas, jangan muter-muter kayak bajaj," aku menatapnya gemes.

"Kamu leader-nya? Kalian se-geng kan?" Nita kembali bertanya syirik.

Aku tergelak.

"Leader apaan? Girlband kaleeee," balasku.

Nita melotot, diikuti temen-temennya.

"Whoaa, sabar dooong buk. Nggak usah melotot bareng-bareng kayak gitu. Satu-satu aja kenapahh?" balasku. Nita mendengus.

"Oke deh, kalo Sonya terlalu malu untuk cerita, biar aku yang cerita. Sonya udah ngerebut Dimas, pacarku. Kami belum putus tapi mereka udah bermesraan. Aku juga baru tahu kalo selama ini mereka selingkuh. Aku memergoki mereka lagi jalan berduaan di Mall. Mesra banget, kalo bukan selingkuh lantas apaan? Dasar Sonya-nya aja yang kegatelan, sukanya sama pacar temen. Nggak level banget! Dikasih tau baek-baek, eh, malah ngajakin berantem. Diskors baru tau rasa," jelas gadis tersebut.

Aku melotot.

"Sonya bukan cewek macem gitu!" Terdengar Jihan berteriak dari belakangku.

"Tanya aja sama dia kalo nggak percaya," balas Nita.

Aku manggut-manggut.

"Oke, aku pasti akan nanya ke dia. Tapi sebelum semuanya jelas, jaga mulutmu ya. Jangan ngomong sembarangan. Ntar aja kalo udah ketahuan mana yang bener dan mana yang salah, baru kita buat perhitungan. Oke," aku mengibaskan rambutku dan beranjak, diikuti Jihan, Fifi dan Olla. Aku sempat mendengar Nita mengomel nggak karuan. Ah, bodo amat.

"Jadi, kita kemana Ki? Ke rumah Sonya?"

Aku terkekeh.

"Sonya? Kita sujud-sujud di depannya pun dia nggak bakalan mau cerita masalahnya. Kalian tahu sendiri 'kan Sonya itu kayak apa? So, nyariin dia bakalan percuma," jawabku.

"Lantas?"

"Nyariin Dimas. Langsung nanya ke sumber masalah. Kalo dia nolak cerita, akan kubuat dia mau cerita, meski harus nonjok mukanya sampek babak belur," jawabku tanpa menghentikan langkahku.

"Dia kelas XI-7 'kan?" Aku memastikan yang selanjutnya disahut oleh rekan-rekanku dengan jawaban 'ya'.

Oke, langsung ke sumber masalah!

Dimas, kami nggak terlalu kenal dengan anak itu. Yang kami tahu, dia juga aktif di klub basket, sama seperti Sonya dan Nita. Jujur aku nggak tahu kalo ternyata Dimas pacar Nita.

***

Kami bertemu Dimas di lapangan basket, setelah kami tak dapat menemukan cowok itu di kelasnya. Dia tampak keheranan ketika kami berbondong-bondong mencarinya.

"Bisa ngomong bentar?" Kami langsung menodonganya dengan ajakan. Ia menatap kami sekilas secara bergantian, kemudian mengangguk pelan.

"Ada masalah, girls? Kalian kelihatan kayak ... mau ngeroyok orang?" Ia bertanya dengan ragu sambil menatap kami satu persatu.

Kami bergerak menjauhi lapangan basket. Dimas mengekor.

"Kayaknya aku ngerti apa yang akan kalian omongkan ke aku," tanpa diduga, Dimas berkata seperti itu. Aku tersenyum.

Good job, hari ini aku nggak perlu susah-susah untuk ngeluarin banyak energi buat nanya-nanya ke banyak orang perkara ini.

"Bagus dong. Jadi, gimana nih ceritanya si Nita dan Sonya sampek berantem gara-gara ... kamu? Yaah, itu sih info awal yang baru aku dapat," aku menjawab.

"Aku bener-bener minta maaf atas apa yang terjadi sama Sonya. Tapi, semua itu karena kesalah pahaman. Aku yang salah,"

"Kezalah pahaman apa? Ziapa yang zalah paham? Ziapa yang zalah?" Olla bertanya dengan tak sabar.

Dimas duduk di salah satu bangku panjang yang berada di pinggir lapangan basket.

"Aku dan Nita emang pernah pacaran hampir satu tahun. Tapi kami putus sekitar beberapa bulan yang lalu. Yang jelas, kami nggak cocok lagi. Nita menolak putus, tapi aku tetep pingin putus. Lalu ... aku mulai deket sama Sonya. Nita kira, aku mutusin dia karena Sonya. Padahal enggak. Aku deket sama Sonya setelah resmi putus sama Nita,"

"Lah, kenapa Nita bilang kalo kalian belum resmi putus?"

Dimas mengangkat bahu.

"Sumpah, aku nggak tahu. Yang jelas, aku udah putus. Kalo dia mikir kami belum resmi putus, ya, itu pendapat dia aja," ucapan Dimas terdengar putus asa.

Kami terdiam dan saling pandang.

"Oke deh, untuk sementara ini, itu dulu aja yang kami pengen tahu. Sisanya, biar kami konfirm sendiri, yuk," kami beranjak.

"Aku bener-bener suka sama Sonya, Ki," ucapan Dimas membuat langkah kami terhenti. Bebarengan kami menoleh ke arah cowok jangkung nan tampan itu.

"Aku bener-bener ... cinta sama dia," ucapnya lagi.

Aku, Jihan, Olla dan Fifi nyaris berteriak.

Dimas, kau gentle.

Kami merestuimu dengan Sonya.

***

Siang itu juga kami mendatangi rumah Sonya. Seperti yang kami duga, sobat kami yang tomboy itu hanya menghabiskan waktunya di kamar. Awalnya dia tetep menolak cerita tentang detail perkelahian itu. Tapi begitu kami mengungkapkan semua yang sudah kami tahu baik dari Nita maupun dari Dimas, ia akhirnya membuka suara.

"Iya, aku emang deket sama Dimas. Sumpah, aku bener-bener nggak tahu kalo dia dan Nita belum resmi putus. Oke, aku tahu kalo mereka emang pacaran. Tapi waktu itu, Dimas bilang kalo dia udah putus. Eh, nggak tahunya aku dilabrak Nita. Dia nuduh aku ngerebut pacarnya. Dia bilang mereka belum putus. Ah, aku nggak tahu mana yang harus kupercaya, " ia mengeluh.

"Kenapa kamu nggak cerita kalo kamu deket sama Dimas?" Fifi bertanya dengan bijak.

Sonya tak segera menjawab.

"Aku pikir nggak ada yang perlu diceritain karena aku sendiri belum yakin,"

"Belum yakin soal apa?" tanya Jihan.

"Soal perasaanku pada Dimas,"

"Maksudnya?" kami bertanya hampir bersamaan.

"Aku ... belum yakin tentang perasaanku padanya. Maksudku, oke, aku seneng deket sama Dimas. Aku nyaman bersamanya dan dia cowok yang baek. Hanya saja aku nggak tahu itu cinta atau bukan,"

Kami terdiam. Sesaat.

"Dan sekarang, apa kamu sudah yakin dengan perasaanmu padanya?" aku bertanya dengan hati-hati. Sonya menatap kami secara bergantian, dan tiba-tiba tangisnya meledak.

"Aku rindu sama dia. Huaaaa....!" teriaknya.

Aku, Jihan dan Olla berpandangan. Ah, ya! Sekarang kami tahu bahwa sobat kami yang cuek dan tomboy ini sedang .... jatuh cinta!

Hadeh ...

"Apanya sih yang disuka dari Dimas? Ganteng enggak, populer juga enggak. Dia tuh ....,"

"Jeeeiiiiiii!" Aku, Fifi dan Olla berteriak hampir bersamaan. Dan sebelum Jihan kembali nyerocos nggak karuan, aku beranjak lalu membekap mulutnya dengan tanganku.

***

Hari itu Sonya sudah diperbolehkan masuk. Dia terlihat biasa, tapi aku tahu dia agak nervous.

"Are you okay?" aku melingkarkan lenganku ke bahunya. Dia terkekeh, angkuh, kayak biasanya juga.

"Aku selalu baik-baik aja. Nggak peduli aku harus ketemu Nita ataupun Dimas duluan, aku pasti akan baik-baik aja," jawabnya. Kami berlima menyusuri trotoar dengan riang. Ketika kami sampai di depan pintu gerbang sekolah, kami menyaksikan Nita dan Dimas ribut-ribut di ujung jalan.

"Bakal perang dunia lagi nih," desisku.

"Bel masuk masih sepuluh menit lagi 'kan, girls?" Sonya bertanya.

Kami mengangguk.

"Oke, biar aku bantu nyelesaiin ini. Siapa yang ikut?" Ia beranjak, mendekati Dimas dan Nita. Aku melotot, ketiga rekanku juga. Tapi kami sepakat mengekor di belakang Sonya.

Melihat kedatangan kami, perdebatan di antara Nita dan Dimas terhenti. Nita menatap ke arah Sonya dengan tatapan sengit.

"Semua ini gara-gara kamu!" ia berteriak.

Sonya tertawa.

"Plis deh, siapa gara-gara siapa? Apapun yang terjadi di antara kalian, aku nggak ikut campur. Mau pacaran ya pacaran aja. Putus ya putus aja. Jangan salahin siapa-siapa dong. Aku akan ngejelasin ini berkali-kali, mumpung kita semua di sini. Aku nggak pernah ngerebut Dimas darimu, Nita. Bahkan jika aku harus di skors lagi, aku tetap akan nonjok hidungmu kalo kamu berani nuduh aku lagi. Dan aku juga nggak keberatan untuk menjambak rambutmu lagi jika kamu berani menuduhku mencuri pacar orang," kalimat Sonya terdengar serius.

"Kami emang deket, tapi setelah kalian putus. Setidaknya itu yang di ucapin sama Dimas,"

"Kami emang udah putus," Dimas yang menjawab. Nita melotot.

"Tapi aku belum bersedia putus, Dimas," ia menyangkal, manja. Amit-amit deh...

"Ya itu terserah kamu. Yang penting aku mau putus, titik,"

Dimas dan Nita kembali bersitegang. Kami serasa nonton sinetron live di sini, di pinggir jalan.

"Hellooo, terserah deh kalian mau berantem di sini sampek sore apa sampai besok, suka-suka kalian. Tapi satu hal yang pasti, aku nggak ngerebut Dimas dari kamu," Sonya menatap ke arah Nita.

"Dan kamu, Dim," ia ganti melihat ke arah Dimas.

"Aku cinta sama kamu. Jika kamu sudah resmi putus dengan Nita dan urusan kalian sudah selesai, kayaknya kita bisa mulai dekat lagi. Telpon aku jika kamu sudah siap, oke," Sonya berbalik, meninggalkan kedua orang tersebut dengan angkuh. Aku, Olla, Jihan dan Fifi hanya melongo.

Nah, ini dia! Sonya yang cuek dan pemberani!

"Kalian mau disini disitu terus nonton mereka berantem, apa ikut masuk ke kelas?" Sonya berteriak dari samping gerbang sekolah. Aku, Jihan, Fifi dan Olla terhenyak dari kebengongan kami.

"Masuk kelas dong," kami menjawab seraya berlari-lari menghampiri Sonya. Dan kami seneng karena Sonya ceria lagi...

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro