07. Goodbye, My First Love.

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku menatap sebuah mobil mewah yang terparkir di halaman rumahku. Emang sih hampir setiap hari papa selalu menerima tamu. Entah rekan bisnisnya ataupun teman-temannya semasa kuliah, tapi percayalah, aku hafal mobil mereka. Dan mobil yang sekarang berada di halaman rumahku ini adalah yang pertama kalinya ke sini. Nomor plat mobilnya pun dari luar kota.

Aku beralih ke arah ruang tamu - yang ramai terdengar oleh orang yang bercengkerama - secara bergantian. Tapi akhirnya, aku hanya mengangkat bahu cuek seraya melangkahkan kakiku memasuki rumah melewati pintu samping, hal yang selalu kulakukan jika ada tamu. Ah, pasti urusan orang tua. Ucapku dalam hati.

Aku baru saja menginjakkan kakiku di anak tangga yang menuju ke lantai dua ketika mama menghadang langkahku.

"Coba tebak siapa yang datang ke sini," ucapnya. Aku tertawa.

"Mama gimana sih? Aku baru aja pulang udah di ajak maen tebak-tebakkan. Ogah ah. Paling temennya papa 'kan?"

Mama mengangguk.

"Bener, emang temennya papamu. Tapi kamu juga kenal kok. Dan kamu akan seneng dengan kejutannya,"

Aku mengernyitkan dahiku.

"Siapa Ma?"

"Kemarilah, dan temuilah sendiri," Mama menggandeng tanganku dan mengajakku ke ruang tamu.

Ketika sampai di sana, aku di buat terkejut oleh dua orang tamu tersebut.

"Om Heri? Tante Wita?" aku nyaris berteriak.

Tante Wita tertawa riang, begitu pula om Heri.

"Halo, Ki, apa kabar? Idih, sudah besar ya?"

Aku menghambur ke arah mereka lalu memeluk mereka dengan erat secara bergantian.

Mama bener, aku bener-bener terkejut dengan kedatangan mereka.

Aku mengenal Om Heri dan tante Wita sejak kecil. Dulu mereka adalah tetangga kami. Rumah mereka bahkan persis berada di sebelah kami. Tapi, sejak beberapa tahun yang lalu, ketika kami masuk di kelas 1 es-em-pe, mereka pindah. Om Heri mendapatkan tawaran pekerjaan di Singapura, sehingga mereka sekeluarga pindah ke sana. Waktu itu aku sangat sedih karena jujur saja, hubungan keluarga kami sangat dekat. Aku sering maen ke rumah mereka karena mereka sangat baik dan sudah menganggapku sebagai anak. Dan begitu pula sebaliknya, dia juga sering maen ke sini karena papa dan mamaku juga sudah menganggapnya sebagai anak.

Oh, tunggu! Dia?

Jika om Heri dan tante Wita di sini, maka anak tunggalnya? Si hidung mancung dan mata teduh itu ... kemana?

Aku menatap sekelilingku, mencoba mencari sosoknya.

"Nyariin Rangga ya?" Om Heri seakan memahami perasaanku. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Dia nggak ikut ya om?"

"Ikut kok," Mamaku yang menjawab. Ia tertawa lirih.

"Dia udah nggak betah nungguin kamu. Jadi, bersiaplah. Kayaknya sekarang ia udah mengobrak-abrik isi kamarmu," ia melanjutkan. Aku melotot.

Dia di kamarku!?

"Oh tidakkk!" Aku segera beranjak, berlari dengan kecepatan luar biasa menaiki anak tangga menuju kamarku. Dan, dia udah ada di sana. Persis seperti dugaanku. Ia membuka isi lemari bajuku, mengacak-acak koleksi novelku, bahkan menyentuh semua perlengkapan make-up ku. (Cuma ada bedak sama lipgloss doang kok karena aku tuh nggak hobi dandan. hehe)

"Rangga?" Aku memanggil duluan. Rangga berbalik dan menatap ke arahku. Sesaat tatapan kami beradu dan aku merasakan tubuhku meleleh.

Astaga, aku bener-bener nggak percaya ini! Well, aku tahu Rangga tuh cakep sejak kecil. Tapi sekarang? Gilaaa! Dia luar biasa tampan!

Tubuhnya makin jangkung, kulitnya bersih, rambutnya hitam mengkilap, hidungnya mancung, dan mata itu ... Mata teduh yang membuatku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya. Bening, menawan.

A-ha, barusan aku menyebut kata 'jatuh cinta'? Yup, jika ada yang mau tahu, Rangga adalah cinta pertamaku. Aku nggak ingat detailnya. Tapi, dialah cowok pertama yang membuat jantungku berdebar sejak kelas 4 SD! Sayangnya, dia nggak pernah tahu itu karena aku emang nggak pernah ngasih tahu dia.

"Kikiiii???!!! Seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi," Rangga berteriak dan segera menghambur ke arahku, memelukku erat hingga membuatku klepek-klepek!

"Aku nggak bisa nafas, oei," aku berteriak.

"Aku kangen banget sama kamu," ucapnya.

"Aku enggak," jawabku asal. Rangga menarik dirinya lalu menatapku kesal dan ... takk! Ia menyentil keningku dengan jari tengahnya. Aku mengaduh kesakitan lalu mengusap-usap keningku yang terasa panas.

"Sakit tau," gerutuku.

"Dasar pembohong. Aku tahu kamu juga kangen sama aku, nggak usah pura-pura deh," ucapnya. Aku menatapnya, lalu tertawa.

"Iya, aku juga kangen kok," jawabku lagi. Dan kami kembali berpelukan.

"Apa kamu berhenti tumbuh?" Ia bertanya dengan nada menghina ketika menyadari bahwa tinggi badanku mungkin hanya sebatas dadanya. Segera aku mendorong tubuhnya dan tinjuku bersarang di perutnya. Aku nggak pendek-pendek amat kok. Tapi, 158 memang akan kelihatan pendek jika di sandingkan dengan dirinya yang menjulang.

"Aku pernah ikut karate, jika cuma menghajarmu dengan satu gerakan, aku pasti mampu melakukannya. Jadi, hati-hati kalo ngomong ya?" aku melotot. Rangga meringis.

"Oke, oke, tapi aku juga pernah ikut karate, jadi kayaknya kita harus duel," jawabnya enteng.

Kayak biasanya, kami bersitegang sesaat. Dan begitulah kami. Selalu ada pertengkaran kecil yang mewarnai persahabatan kami. Dan buat kami, itu asyik-asyik aja.

Rangga beranjak dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidurku. Ia kembali menatap ke arahku, lekat.

"Kamu makin ... manis ya?" ucapnya, sambil menawan tawa.

"Hitam maksudmu?" Aku memastikan dengan kesal seraya melemparnya dengan bantal. Dia ngakak.

"Aku aktif di klub pecinta alam. Aku sering mendaki dan beginilah akhirnya," entah kenapa, aku berusaha menjelaskan hal kecil itu, padanya.

"Woah, pecinta alam, seru dong," jawabnya.

Aku manggut-manggut seraya duduk di sampingnya.

Kami kembali mengobrol dengan asyik, persis kayak teman lama yang udah lama nggak ketemu untuk berbagi cerita.

"By the way, kepulanganmu ke sini untuk liburan ato pulang kesini selamanya?"

"Liburan," jawab Rangga.

"Tapi kayaknya, semester depan aku akan balik ke Indonesia selamanya. Papa mengajukan diri untuk di tempatkan di kantor yang berada di Jakarta dan di terima. Jadiiiii, bersiap-siaplah ketemu diriku lagi karena aku sedang mengincar es-em-a yang sama dengamu,"

Aku melongo, Rangga menyeringai hingga gigi putihnya yang berbaris rapi kelihatan.

"Ini nggak mungkin," desisku.

"Mungkin, banget," jawabnya, tetap dengan senyum nakalnya.

"Dasar kurang kerjaan," keluhku.

"Udah punya pacar?"

"Udah, banyak," jawabku asal. Rangga ngakak.

"Kamu pikir aku percaya. Taruhan deh, kamu pasti masih belum laku sampek detik ini,"

Segera bantal melayang ke kepala Rangga.

"Dan kamu? Udah punya pacar?" tanyaku.

Rangga terkekeh.

"Udah, banyak," jawabnya percaya diri. Aku menggigit bibir kesal. Ya iyalah, cowok cakep macam dia nggak akan mungkin jomblo? Pasti seabrek cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia.

"Terserah deh. Mau punya pacar seabrek, mau enggak, nggak ada urusannya sama aku," jawabku kemudian.

Rangga manggut-manggut.

"Oh iya, berapa hari di sini?"

"Besok dah balik,"

"Cepet banget?"

Rangga mengangguk.

"Ki, jalan-jalan yuk," ucapnya.

"Kapan?"

"Sekarang,"

"Sekarang? Ogah ah. Aku 'kan baru aja pulang sekolah. Capek. Besok aja ya,"

"Tapi besok aku dah balik,"

"Tapi.."

"Plis, aku pengen bernostalgia ke tempat-tempat yang dulu sering kita kunjungi waktu masih kecil. Oke,"

"Rangga,"

"Yuk,"

Aku belum sempat protes ketika Rangga sudah menarik lengan tanganku.

"Paling enggak, biarin aku ganti baju dulu," teriakku.

"Oke, oke," jawabnya, tanpa beranjak.

Aku melotot ke arahnya.

"What?" Ia balas menatapku, heran.

Aku mendesis.

"Aku mau ganti baju, keluar dong dari kamarku," perintahku.

Rangga tertawa.

"Dulu 'kan kamus sering ganti baju di depanku, Ki,"

"Iya, itu 'kan dulu. Waktu kita masih SD. Sekarang 'kan beda," aku membentak.

Rangga manggut –manggut seraya beranjak, tetap dengan gelak tawanya yang khas.

Dan akhirnya, aku menuruti keinginannya untuk jalan-jalan. Ke tempat-tempat yang dulu sering kami kunjungi ketika kami masih kecil. Sungai kecil dibelakang Sekolah Dasar kami, taman bermain di dekat Sekolah TK, bahkan warung bakso di sebelah alu-alun kota pun tak luput dari kunjungan kami. Aku juga membawa Rangga menemui temen-temenku di base camp kami. Dan aku juga memperkenalkannya pada Fifi, Jihan, Sonya dan Olla.

Temanku, teman dia juga 'kan?

***

Keesokan paginya, aku dibuat terkejut ketika melihat Rangga telah berada di dalam kamarku pada pukul 6 pagi.

"Bangun pemalas!" Ia memencet hidungku dengan gemas sambil sesekali menarik-narik lengan tanganku.

"Apaan sih?" Teriakku kesal, tetap dengan mata setengah tertutup.

"Bangun dulu dong, penting nih!" ia menarik tubuhku melalui kedua lengan tanganku hingga mau tak mau akupun membuka mata dan duduk menghadapnya.

"Apa sih, Ga?" Tanyaku sambil mengucek-ucek mataku.

Rangga tersenyum.

"Bisa kasih tahu ke aku nomor teleponnya Fifi," ucapnya.

"Fifi?" Aku mengulangi menyebut nama itu seraya menatap ke arah Rangga dengan lebih serius.

Rangga mengangguk dengan yakin.

"Kayaknya aku jatuh cinta padanya, Ki," jawabnya.

"Hah?" Aku membelalak.

"Sejak kau kenalkan dia kemarin, aku selalu kepikiran sama dia. Dan aku juga merasakan dadaku berdebar ketika pertama kali melihatnya. Sumpah, dia bener-bener cewek yang manis, Ki. Dan aku ingin mengenalnya lebih jauh,"

Aku melotot. Ini sebuah kejutan yang tak terduga di pagi buta.

"Tolong ya, beri aku nomor hape-nya, please?" Wajah Rangga terlihat makin tampan ketika merajuk. Aku hanya mengangguk-angguk tanpa sadar sambil meraih ponselku. Dan aku memberikan dia nomor hape-nya Fifi. Dan bersamaan dengan itu, aku merasakan ada sesuatu yang menghilang dari dalam hatiku.

Entah, apa itu?

***

Sore itu kami kembali ngumpul-ngumpul di rumah Jihan. Nggak ada kerjaan. Jadi kami memutuskan untuk duduk-duduk santai sambil nonton tv, dan kadang – kadang maen ular tangga buat seru-seruan aja. Sebuah aktifitas yang sering kami lakukan untuk ngisi waktu luang. Sampai akhirnya aku menyadari bahwa Fifi tengah asyik sendiri dengan phnselnya. Beberapa kali ia tersenyum sendiri ketika membaca sebuah pesan singkat.

"Kenapa zih Fi? Zenyum-zenyum kayak orang zenewen aja?" Olla nyeletuk. Oh, ternyata nggak cuman aku aja yang menyadari hal itu.

Fifi tersenyum. Ia menatap ke arahku tetap dengan senyum manisnya. Aku menelan ludah. Dadaku berdebar. Oh tidak, apa aku akan mendengar kabar yang nggak nyenengin lagi?

"Dari Rangga," ucapnya.

Nah loh, aku seraya mendengar pecahan kaya di dalam dadaku.

"Oh ya?" Jihan, Sonya, dan Olla bertanya hampir bersamaan. Mereka beringsut mendekat ke arah Fifi dengan penuh antusias.

"Rangga kemarin itu ya? Temennya Kiki? Yang cakep itu?" tanya Olla lagi seraya melirik ke arahku. Aku tersenyum blo'on. Fifi mengangguk dengan mata berbinar-binar.

Dan temen-temenku yang laen segera bersorak.

"Jadi selama ini hubungan kalian terus nyambung?"

"Iya, dia rajin sms dan nanya kabarku. Dan, dia cowok yang baik. Dan dia juga sudah nembaku aku,"
Jreeeng, apa lagi itu??

"Terus?"

"Aku bilang iya aja. Karena aku tahu dia cowok yang baik. Jarak buat kami nggak masalah. Selama kami berkomunikasi dengan baik, kami pasti baik-baik aja. Ya 'kan Ki?"

Aku setengah gelagapan mendengar namaku disebut. Tapi aku segera bersikap biasa kayak semula.

"Bener, dia cowok yang baik. Aku mengenalnya sejak kecil. Dan aku yakin banget kalo kalian akan jadi pasangan yang cocok," jawabku.

Kami kembali bersorak.

"Wah, akhirnya Fifi dapat cowok lagi. Gimana dengan kamu Ki?" tanya Sonya. Aku mendelik. Nih anak nggak bosen-bosen ya ngajakin perang?

"Kalo nggak ada yang mau sama kamu, pacaran aja sama hantu. Yang ketemu kamu waktu kamu tersesat di hutan itu tuh... siapa namanya ... Leo," ucapnya lagi.

Bantal sofa yang ada di depanku segera melayang ke kepalanya.

Dan kamipun tertawa lagi.

Beberapa saat kemudian aku memohon diri pada mereka untuk pulang dengan alasan nganterin mama ke apotik. Padahal enggak, yang sebenarnya adalah, aku butuh udara segar.

Aku butuh menyendiri beberapa saat setelah apa yang terjadi. Aku hanya nggak menyangka kalo semua akan berlangsung secepat ini. Setelah sekian tahun lamanya, aku kembali dipertemukan dengan cinta pertamaku, dan hanya dalam hitungan jam aku harus tahu kalo cinta pertamaku itu ternyata naksir dengan temen baikku, bahkan memacarinya.

Menyakitkan. Tapi, ya sudahlah. Inilah hidup...

***

10-07-2013

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro