08. Guruku Manis Berkali-kali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekolah kami kedatangan guru magang baru. Namanya pak Nico, beliau ngajar Olah Raga. Orangnya, wuih, jangan di tanya lagi. Manisnya bukan maeeennnn...

Posturnya tinggi, badannya bagus, senyumnya menawan, ia ramah, pokoknya, ia manis sekali.

Idih, enggak deh, manisnya tuh enggak cuma sekali, tapi ... berkali-kali!

Tentu saja kedatangannya ke sekolah kami menjadi magnet tersendiri hingga membuat para cewek klepek-klepek. Mereka berlomba-lomba mencari perhatian darinya. Mulai dari ngasih hadiah, pura-pura sakit ketika jam olahraga, bahkan dandan habis-habisan.

Alhasil, jam olah raga yang tadinya penuh keringat dan bau apek, sekarang menjadi haruuum bak taman bunga.

Sekolah kami sekarang dipenuhi cewek-cewek senewen yang mencoba mencari perhatian darinya.

Dan hal yang membuatku ikut senewen adalah : ternyata temen-temenku juga sama senewennya dengan mereka!

Olla, Fifi, Sonya dan Jihan lagi sarap! Mereka berlomba-lomba menarik perhatian guru yang kiyut itu.

Nah, ini nih yang bikin aku stres guling-guling! Mereka tuh mencoba menarik perhatiannya pak Nico bukan buat mereka, tapi buat aku! Nah, kurang kerjaan banget 'kan? Apa hubungannya coba?

"Diantara kita berlima, kamu tuh yang masih jomblo. Nah, ini adalah kesempatan yang bagus buat kamu untuk dapat cowok berkualitas. Dan kita akan berjuang mati-matian agar kamu bisa deket sama pak Nico. Percaya deh, Ki, kita akan melakukan hal yang terbaik buat kamu,"

Dan kayak biasanya, Sonya menjadi sok berkuasa dan sok membantu ketika menjelaskan alasannya mendekati pak Nico. Aku mencibir.

"Kalian 'kan yang mendekati pak Nico? Ya udah, kalo dapet, pak Nico buat kalian aja," aku beranjak cuek. Keempat sobatku segera ngacir mengikuti langkahku memasuki gerbang sekolah.

"Ini demi kepentinganmu, Ki," ucap fifi. Aku mencelos.

"Kepentingan apaan? Soal cowok, aku nggak perlu diatur-atur. Toh, aku hepi aja kok biarpun aku jomblo," aku membela diri.

"Tapi ki..," Aku menghentikan langkahku dengan tiba-tiba hingga membuat mereka menubrukku. Aku berbalik dan menatap sahabat-sahabatku dengan kesal. Dan dengan putus asa, aku berkata "Whatever!" ucapku.

***

Keesokan harinya...

Aku mendelik. Astaga, gimana ceritanya nih sepeda motor kesayanganku bisa babak belur kayak gini? Bannya kempes, stang-nya bengkok, beberapa kabel putus dan terurai, spionnya nggak ada satu, lampu bagian depan juga amblas. Ampun deh, ini namanya sabotase!

"Astaga, sepeda motormu kenapa, Ki?"

Aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Jreeng! Pak Nico!?

"Bapak ... kenapa masih di sini?" tanyaku, bloon.

"Oh, setiap sabtu aku emang ada di sekolah sampek jam 5 sore. Aku dapat tugas baru untuk membimbing ekstra musik. Kelasku baru aja selesai 5 menit yang lalu. Jadi, gimana ceritanya sepeda motormu bisa kayak gini?" Pandangan pak Nico kembali beralih ke sepeda motor malangku.

Aku kembali mematung. Tuh 'kan ada yang nggak beres! Sepeda motorku tiba-tiba aja rusak 'nggak wajar' di saat aku dan pak Nico punya jadwal yang sama, pulang sore. Skenario klise. Temen-temenku pasti sengaja merusak motorku agar pak Nico memperhatikanku dan menolongku, lalu mengantarkanku pulang. Begitu 'kan biasanya yang ada si sinetron?

Aku menggigit bibirku dengan kesal. Dan bisa dipastikan siapa dalang di balik perbuatan ini.

Oh, astaga...

"Sepeda motormu rusak nggak wajar, Ki. Pasti ada yang berusaha mencelakaimu. Sebaiknya, laporkan aja kejadian ini ke pihak sekolah," pak Nico kembali berucap sambil sesekali mengecek beberapa bagian motorku. Aku manggut-manggut.

"Iya, pak. Besok biar saya lapor ke sekolah. Sementara, motor ini biar di sini aja. Permisi pak," aku bangkit dan segera beranjak tanpa mempedulikan lagi sepeda motorku. Persetan deh, yang penting aku harus segera kabur dari sini! Aku nggak boleh kejebak dengan ide konyol rekan-rekanku.

"Tunggu!" tanpa di duga pak Nico menyamai langkahku hingga langkahkupun terhenti.

"Aku tahu rumah kamu jauh. Biar kuantarkan pulang aja ya. Sepeda motormu biar diurusi sama pak satpam. Sebentar, aku akan memberitahu masalah ini padanya," pak Nico ngacir begitu aja. Aku melongo. Hah!?

Okeeei, hari ini aku terjebak dalam skenario konyol rekan-rekanku. Motorku rusak, dan pak Nico mengantarkanku pulang. Sialan!

***

"Buat apa kalian pake cara-cara kampungan kayak gitu? Bikin motor rusak, halah, gak keren banget deh," aku berteriak-teriak dengan kesal di depan sahabat-sahabatku.

"Gak keren, tapi berhasil 'kan? Buktinya, pak Nico nganterin kamu pulang 'kan?" Sonya menjawab. Aku melotot.

"Tapi nggak gitu juga kaleee....! Sepeda motorku gimanaaa?? Itu sepeda motor matic kesayanganku, aku minta dibeliin sama papa aja sambil nangis-nangis. Aku bahkan rela jungkir balik demi bisa lulus ujian untuk dapat SIM C. Besok aku ke sekolah naik apa dong?" Aku berteriak.

"Tenang. Udah dibeliin Fifi sepeda motor matic baru, sama persis kayak punyamu yang lama," ucap Jihan, santai.

Aku melongo.

Ini yang sableng siapa sih??

"Tetap aja aku nggak suka cara kayak gini," ucapku kemudian.

"Percaya deh, Ki. Ini demi kamu kok. Pak Nico itu merupakan kandidat paling cocok buat kamu,"

"Cocok apaan? Aku toh nggak suka sama dia," jawabku.

"Oke, serahin aja ke kita. Kita akan berusaha membuat kalian dekat, dan dengan begitu, lama-lama kamu pasti juga akan suka sama pak Nico,"

Aku mendesah dengan putus asa.

Temen-temenku yang sok tahu dan keras kepala, andaikan aku punya cara untuk menghentikannya?

***

Keesokan paginya, sebuah kebetulan yang benar-benar kebetulan! Aku memasuki gerbang sekolah di saat yang hampir bersamaan dengan pak Nico. Well, ini jelas tidak direncanakan!

"Selamat pagi, Ki," beliau menyapa duluan. Aku tersenyum, kikuk.

"Pagi, pak," jawabku.

"Oh iya, soal perusakan sepeda motormu, aku sudah melaporkannya ke pihak sekolah. Dan mereka pasti menyelidiki siapa pelakunya. Jangan khawatir, semuanya pasti baik-baik aja," ucapnya lagi.

Aku kembali tersenyum. Ha, buat apa diselidiki? Aku toh sudah tahu siapa pelakunya. But, jika perbuatan mereka ketahuan pun, Fifi pasti punya cara untuk mengelak. Biasa, anak orang kaya, apa sih yang gak bisa?

"Oh iya, makasih ya atas kuenya kemarin," kalimat pak Nico kemudian sempat membuatku blank. Langkahku terhenti. Pak Nico juga berhenti. Kue?

"Kue?" Aku seperti mengulang kata itu seraya menatap ke arah guruku yang manis berkali-kali itu. Pak Nico kembali mengangguk. Wajahnya terlihat tulus hingga aku gak tega untuk menghancurkannya. Aku nyengir, bingung.

"Kuenya enak sekali. Harusnya kamu nggak perlu repot-repot ngasih sesuatu padaku sebagai ucapan terima kasih karena kemarin. Tapi, makasih ya. Dan, bilang makasih pada temen-temenmu yang udah jauh-jauh nganterin kue itu ke tempat kost-ku," ucapnya lagi. Aku mendelik. Temen-temenku? Nah, itu dia!

"Temen-temenku datang ke tempat kost bapak untuk ngasihkan kue sebagai ucapan terima kasih karena kemarin bapak nganterin saya pulang 'kan? Begitu 'kan?" Aku mencoba memastikan bak orang yang kena amnesia. Pak Nico menatapku heran.

"Emangnya gak gitu?" Ia bertanya dengan ragu. Aku tertawa kaku.

"Hehe, iya, tentu aja begitu. Kue itu emang hadiah kecil buat bapak sebagai ungkapan terima kasih karena bapak udah mau nganterin saya pulang," jawabku. "Bentar ya pak, saya harus pergi duluan. Dan, sekali lagi, makasih karena kemarin udah di anterin pulang," aku ngacir.

Tadinya aku emang berangkat lebih pagi karena niat banget mau ngerjain tugas di kelas yang kemarin belum sempat ku selesaikan. Tapi,hal itu urung aku lakukan. Aku berbalik, dan kembali menuju pintu gerbang sekolah. Aku berdiri di sana dengan muka kesal.

Ku tunggu kalian di sini, guys! Teriakku dalam hati.

Dan benarlah, 5 menit sebelum bel masuk berdentang, ke empat sobatku itu muncul dari ujung jalan, bersamaan. Dengan tangan terlipat di dada, aku menunggu mereka mendekatiku.

"Morniing, Ki," Olla menyapa kayak biasanya. Aku tak menjawab sapaannya. Ku tatap mereka dengan kesal.

"Ngapain kalian ngasih kue ke pak Nico atas namaku?" Aku langsung maen semprot. Tapi mereka cuma cengar-cengir kayak biasanya.

"Demi keberhasilanmu, percayalah pada kami, oke?" Jihan angkat suara. Mereka berlalu. Dan untuk pertama kalinya, kali ini mereka mengacuhkanku. Aku mengekor di belakang mereka dengan mengomel. Dan mereka tetap saja mengacuhkanku.

Kampret!

***

Demi menghilangkan stress karena ulah sahabat-sahabatku, sore itu aku sengaja hang out sendirian ke sebuah mall. Cuci mata sambil belanja barang-barang sepele seperti tusuk gigi, tusuk sate,tusuk konde (Hah??), pembersih telinga, tisu, pokoknya hal-hal sepele-lah. Ketika asyik melihat-lihat di sebuah stand aksesoris, seseorang menepuk pundakku dengan lembut. aku menoleh dan, oh-mai-gatt! Pak Nico! Lagi!?

Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Jangan-jangan ini kerjaan Fifi dan yang lainnya lagi nih?

"Lagi jalan-jalan sendiri, Ki?" Beliau menyapa. Aku mengangguk.

"Iya, pak," jawabku.

"Mau belanja apa?" Beliau kembali bertanya.

"Eh, Mm, cuma liat-liat aja kok pak. Belum memutuskan mau beli apa," jawabku lagi. Pak Nico tersenyum dan mengangguk-angguk.

"Kalo bapak sendiri, mau beli apa?" Aku balik bertanya.

"Aku? Oh, enggak, aku nggak pengen beli apa-apa. Aku cuma ngenterin, tuh," pak Nico menunjuk ke arah arena permainan. Jari telunjuknya menunjuk ke arah seorang perempuan muda seumuran dengan beliau yang tengah bermain-main dengan riang dengan seorang anak balita berusia sekitar satu tahun.

"Dia istri dan anakku," ia menjawab lagi.

Duarrr! Aku tersentak.

"Anak dan istri?! Bapak sudah menikah?" aku bertanya dengan spontan. Pak Nico tersenyum dan mengangguk.

"Kamu pasti kaget, wajar kok. Kebanyakan yang baru tau emang kaget karena aku 'kan masih terlalu muda untuk menikah. Tapi, ya begitulah kenyataannya. Aku menikah dengannya ketika kami sama-sama kuliah semester satu. Emang sih kami masih muda. Tapi, daripada pacaran gak jelas dan banyak dosa, kami sama-sama memutuskan untuk menikah saja," pak Nico tersenyum bangga ketika menceritakan itu.

"Bapak merahasiakan pernikahan bapak?"

"Enggak tuh. Menikah 'kan baik, kenapa harus di rahasiakan? Nggak ada orang yang nanya sih aku udah menikah atau belum, makanya nggak ada yang tau,"

"Kalo anak-anak yang lain tau, gimana pak?"

"Ya nggak apa-apa," jawab pak Nico lagi, enteng. Aku melongo.

Astaga, jadi guruku yang manis berkali-kali ini, yang di kejar-kejar sama temen-temenku sampek jungkir balik, ternyata sudah menikah dan punya anak?!

Ah, tiba-tiba ... tuing! Aku merasakan ada pelangi di atas kepalaku. Cerah, dan bahagia.

Bahagia? Ya! Pak Nico menikah atau belum, bukan masalahku. Toh aku juga nggak tertarik dengannya. Masalahnya, sekarang aku punya alasan yang tepat untuk melabrak sahabat-sahabatku!

Mereka selalu bilang bahwa pak Nico adalah cowok sempurna, cowok-paling-BERKUALITAS yang cocok buatku, kenyataannya, nol besaaarrr! Mereka bahkan nggak tahu kalo pak Nico sudah menikah.

"Permisi pak, saya harus segera pergi. Sudah ditunggu sama temen-temen di bawah, nggak apa-apa 'kan kalo saya pergi duluan," aku mohon diri. Pak Nico tersenyum dan mengangguk. Tanpa menunggu komando, aku segera ngacir. Dalam perjalanan ke base camp, aku tak berhenti tersenyum bahagia.

Sonya, Jihan, Fifi dan Olla, TAMAT RIWAYAT KALIAN..!!!! HUA-HA-HA-HA-HAAA ...

***

19/12/2013

8.19

WIWIN W

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro