Bagian 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hallo semuanya! Apa kabar?

Dapet cerita ini dari mana?

Udah siap ikutin kisah Saddam dan Dara?

Happy reading!

•••

Saddam Alfarizi, seorang penyanyi cilik yang dulunya ikut ajang pencari bakat.

Kini, usianya sudah menginjak 23 tahun.

Pemilik rambut gondrong bagian atas, namun tipis di bagian sisi dan belakang. Bulu mata lentik, alis tebal, dan selalu memakai anting berwarna hitam.

Di lengannya terdapat tato bertuliskan namanya dan juga love yourself. Katanya, apapun yang terjadi, Saddam Alfarizi harus tetap mencintai dirinya sendiri.

Dia juga pernah bermain film beberapa kali. Masih terhitung jari, karena katanya, dia lebih suka menjadi penyanyi daripada menjadi seorang aktor.

Dia memiliki kekasih. Dara Rizkiqa Rahayu namanya. Hubungan mereka sudah terjalin selama 2 tahun.

Kata Saddam, Dara adalah gadis galak. Salah ngomong sedikit, pasti kena gampar. Namun, biarpun begitu, Dara tidak pernah keberatan menghadapi sifat manjanya.

Dara tipe orang yang suka mengomel ketika Saddam sakit. Katanya, penyakit Saddam itu dicari sendiri. Saat Dara mengomel, Saddam akan merengek meminta Dara berhenti untuk menceramahinya.

Di depannya sekarang, gadis yang sangat ia cintai setelah Ibu dan Adik-adiknya itu tengah sibuk mengantri di kasir mini market.

Saddam tersenyum ke arah penjaga kasir yang sedari tadi menatapnya. "Mba, saya ganteng, ya?"

Dara menoleh, ia menyikut perut Saddam hingga cowok itu mengaduh. "Sakit, yang."

Si kasir yang tadi digoda oleh Saddam hanya tersenyum. Kemudian, dia memberitahu total belanjaan Dara.

Setelah Dara membayar, gadis itu langsung melongos pergi meninggalkan Saddam yang menganga di tempatnya. "Dara, ini gue ketinggalan!"

Saddam terkekeh pelan. Cowok itu langsung berlari kecil mengejar Dara yang ternyata sudah masuk ke dalam mobilnya.

Saddam masuk dan duduk di kursi kemudi. Ia menatap ke arah Dara yang sudah sibuk memakan ciki yang tadi ia beli.

"Makan pedes terus," sindir Saddam.

"Apa? Mau?" Tanya Dara seraya menyodorkan satu keripik yang berada di tangannya.

Saddam mencengkal tangan Dara dan memakan keripik itu. "Udah lama gak makan mie pedes, yang. Lo beli gak?" Tanya Saddam.

"Beli. Gue juga beli sama kerupuknya, nih. Terus tadi lihat bakso sama sosis, yaudah sekalian beli." Dara memperlihatkan makanan yang ia beli.

Saddam mengangguk. "Yaudah, besok kita duet sakit perut, ya?"

"Siaaaaap!" Dara menempelkan jempolnya pada kening Saddam.

Saddam meraih tangan Dara. Kemudian, jempolnya ia gigit.

Dara sontak menarik tangannya dan memukul lengan Saddam. "Ih!"

Saddam tertawa pelan. Cowok itu memilih melajukan mobilnya menuju jalan Raya dan pulang ke apartemennya.

Di perjalanan, Dara sibuk dengan makanannya. Sedangkan Saddam sibuk bernyanyi untuk menghilangkan rasa bosan.

"Yang, besok gue mau main bola sama anak-anak," ujar Saddam.

Dara menatap ke arah cowok itu. Kemudian, dia mengangguk. "Kalau cuacanya memungkinkan ya berangkat aja. Kalau hujan mendingan gak usah berangkat."

"Ih, enak aja."

"Yaudah terserah."

Terserah versi Dara ya benar-benar terserah. Bukan terserah gara-gara ngambek omongannya enggak didengar.

Saddam meraih tangan Dara. Kemudian, ia simpan di pangkuannya dan ia usap-usap dengan lembut. "Si gemes," ucap Saddam seraya meremas tangan Dara saking gregetnya.

Cowok itu langsung mengarahkan tangan Dara pada mulutnya. Kemudian, tanpa perasaan, ia mengigit punggung tangan gadis itu.

Dara mencubit paha Saddam. "Sakit, Saddam!"

"Gue kira lo mati rasa."

"Sini lo gue gigit!" Dara mendengkus kesal seraya mengelap punggung tangannya pada celana.

Saddam mendekatkan wajahnya pada wajah Dara. "Nih gigit."

"Lagi nyetir anjir!" Dara menoyor pipi Saddam.

Saddam tertawa pelan. Ia memilih kembali fokus pada perjalanan. "Emang kalau lagi gak nyetir mau?"

"Mau apa? Gak jelas lo."

"Gigit, kan?" Saddam melirik ke arah Dara sekilas.

Dara mendengkus kesal. Ini mereka lagi ngomongin apa, sih? Dara kesal sendiri.

Saddam tertawa. "Gigit bibir kan?" Saddam menaik turunkan alisnya.

Dara menjewer telinga cowok itu dengan kesal. Saddam meringis, "Bercanda, Dar. Bercanda!" pekik Saddam.

Dara menarik tangannya. Gadis itu menatap tajam ke arah Saddam. "Bercanda lo itu beneran!"

"Ya kan sambil menyelam minum air. Kalau lonya mau mah, rezeki namanya. Sakit tau, yang, jahat banget sih pake jewer-jewer segala." Saddam mencebikkan bibirnya sebal seraya mengusap telinganya yang terasa begitu panas."

Tangan Dara terangkat mengusap telinga Saddam. "Lo sih, ngomongnya gak pernah disaring."

"Iya, iya. Enggak lagi, deh. Gak lagi." Saddam menggerutu kesal.

••••

Saddam mengusap lembut bibir milik Dara yang sudah memerah. Cowok itu terkekeh pelan melihat Dara yang terlihat sibuk menuangkan air ke dalam gelas.

"Mienya udah pedes, malah lo kasih cabe kering. Merah kan bibir lo." Saddam meraih tissue untuk mengelap tangannya yang terkena minyak pedas di bibir Dara tadi.

Saddam kembali memakan mienya. Matanya masih sibuk memperhatikan Dara yang terus menerus meminum air.

"Kapok gak, yang?" Tanya Saddam.

Dara menggeleng, "Enggak. Enak banget."

Saddam menahan tangan Dara yang akan kembali melanjutkan makanya. Cowok itu memilih menukar mie milik Dara dengan kerupuk. "Udah!"

"Dam, ih! Masih banyak!" Dara hendak merebut piringnya kembali. Namun, Saddam beranjak dan menahan kening Dara dengan tangannya.

"Dam!"

"Nurut, gak?! Gue nikahin, nih!" Saddam melotot ke arah Dara.

Dara mencebikkan bibirnya kesal. Gadis itu akhirnya memilih duduk di kursinya lagi dan memilih memakan kerupuk.

"Tahu gitu buat apa gue beli mie kalau gak boleh dimakan." Dara menggerutu kesal.

Saddam yang melihat kekasihnya merajuk, langsung menyimpan mie nya di atas meja. Ia duduk di samping Dara dan mencium pipi gadis itu. Tangannya merangkul bahu Dara dan mengusap lembut puncak kepala gadis itu. "Dara mau apa? Adam beliin," ucap Saddam.

"Kan niat ke sini mau makan mie. Kenapa malah nawarin makanan yang lain?"

"Mie yang lo bikin, pedesnya gak ngotak. Besok lo sakit perut seharian, gue yang dituduh kasih racun ke lo sama si Reza."

Reza adalah Abangnya Dara. Usianya 21 tahun, dua tahun lebih muda dari Saddam.

Bukan Abang kandung, melainkan Abang tiri. Namun, kasih sayang Reza pada Dara tidak bisa diragukan.

"Yaudah-yaudah, tuh makan yang gue aja." Saddam mengambil piring miliknya dan memberikannya pada Dara.

Dara tercengir lebar. "Nah gitu dong, ngalah."

Saat awal-awal hubungan dulu, Dara bukanlah tipe orang yang suka merajuk jika dilarang ini itu. Kalau dia mau ya dia makan, kalau enggak ya enggak akan dia makan.

Saddam juga dulu tak pernah melarang Dara memakan apa saja. Tapi karena terlalu sering melihat Dara sakit perut esok harinya, Saddam jadi sering melarang Dara.

Semenjak saat itu juga, Saddam jadi menemukan sifat Dara yang lain. Merajuk jika dilarang. Lebih tepatnya, Dara memang ngeyel.

"Lo gak mau?" Tanya Dara seraya mengangkat piringnya.

"Enggak, males. Makan aja sana sampai sakit perut, gue mau ke kamar." Saddam beranjak, cowok itu memilih masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Dara di meja makan.

Dara mengedikan bahunya tak acuh. Gadis itu memilih melanjutkan makannya sampai habis.

Setelah habis, gadis itu meraih tasnya dan berjalan ke arah kamar Saddam yang pintunya sudah tertutup rapat.

"Dam."

"Gue lagi ngambek! Sana lo! Heran, susah banget dikasih tau!" jawab Saddam di dalam sana.

Dara menganggukkan kepalanya. "Yaudah, ngambeknya terusin aja. Gue mau pulang ya!" Saat Dara akan melangkah pergi, pintu terbuka.

Gadis itu langsung berbalik dan menaikkan sebelah alisnya menatap Saddam yang menatap ke arah Dara kesal. "Ngeselin banget sih."

Saddam langsung berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Dara yang melihat itu tertawa pelan. Dia memilih ikut duduk di samping Saddam. "Dam," panggil Dara.

Bukannya menjawab, Saddam malah merebahkan tubuhnya, dengan paha Dara yang ia jadikan bantalan.

Cowok itu menatap ke arah Dara dan memainkan rambut panjang gadis itu.          "Emang paling bisa lo bikin gue gak jadi ngambek," ujar Saddam.

Dara mengusap lembut rambut tebal cowok itu. Kemudian, ia beralih mengusap alis dan juga kumis tipis milik Saddam.

"Gue gemesin ya banyak bulu-bulu," ucap Saddam kala tangan Dara sibuk mengusap kumis tipisnya.

"Biasa aja."

"Rugi banget ya bilang iya sayang, gemesin banget. Cepet-cepet halalain aku dong bwang."

Dara tertawa mendengar ucapan Saddam. Tangan Saddam menarik-narik rambut Dara dengan pelan. "Rambutnya kuat ya, Mbak. Bisa dijadiin tali tambang buat lomba anak-anak, nih."

"Rambut lo nih yang kuat." Dara menjambak rambut Saddam hingga cowok itu langsung beranjak dan mengusap kepalanya yang terasa perih.

"Gue pelan-pelan loh, Yang. Tega banget, ini kalau gue jadi botak, fans gue pasti pada kecewa, nanti gue gak laku, gak dapet duit, terus gak jadi nikahin lo. Emang mau?"

"Idih, lebay banget."

Saddam langsung memeluk Dara dengan gemas. Satu kaki Saddam ia simpan di paha Dara. Kemudian, ia mencium pipi dan kening gadis itu dengan gemas. "Lo tau gak? Greget banget gue sama lo."

•••

Dara dan Saddam masuk ke dalam toko yang begitu ramai pengunjung. Ada yang membeli kaos, ada juga yang datang untuk sekedar foto-foto di tembok yang dua tahun lalu dilukis oleh Dara dan teman-temanya.

"Aaa! Kak Saddam!" ujar salah satu di antara mereka.

Kemudian, satu persatu di antaranya meminta foto bersama dengan Saddam dan juga Dara.

Sedangkan di meja kasir, Pandu–sahabat Dara sekaligus partner Dara di toko ini, tengah melayani pembeli dengan ramahnya.

"Kak Saddam, Kak Anara mana?"

Saddam langsung menatap ke arah Dara yang juga menatapnya. Saddam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya ... Enggak tau, gak ngasuh soalnya."

"Kok bisa sih Kak, selera Kakak turun?"

Saddam memicingkan matanya tak suka. Saat ia akan membalas, Dara menahan tangan Saddam dan melarang cowok itu melakukan hal gegabah lewat tatap matanya.

"Dar, masa selera gue dibilang turun."

"Udah."

"Lo sih, asal omong aja." Salah satu di antara mereka menuding temannya yang tadi bertanya pada Saddam.

"Gue kan cuman nanya. Emang sih Kak Dara sekarang cantik, banget malahan. Tapi kan, Kak Saddam lebih cocok sama Anara dia udah cantik dari dulu."

"Udah deh, gak enak sama Kak Dara. Apaan sih lo?"

Dara menghela napasnya pelan. Gadis itu memilih melangkahkan kakinya ke arah kasir untuk menemui Pandu.

Sedangkan Saddam, matanya menatap tajam ke arah mereka. "Gue sama Anara gak cocok. Makannya putus. Kalau cocok, sampai sekarang gue sama dia pasti masih pacaran. Gue gak masalah kalau kalian shippers gue sama Anara. Tapi kalian juga harus tahu batasan. Paham ya?"

"Selera gue gak turun. Dari segi fisik, mungkin Dara emang kalah dari Anara. Tapi dia punya daya tarik dia sendiri makannya gue nyaman sama Dara. Gak semua harus dipandang dari segi fisik. Cantik juga kalau guenya gak nyaman, buat apa, kan?" Sambung Saddam.

"Maafin temen aku, ya, Kak." Salah satu teman si pembicara tadi menunduk meminta maaf pada Saddam.

Saddam tersenyum dan mengangguk. "Gak papa. Lain kali jangan asal bicara, ya."

"Silahkan berbelanja lagi. Maaf kalau kehadiran gue malah bikin kalian gak nyaman."

Saddam akhirnya memilih menghampiri Dara yang sudah duduk di samping Pandu.

Gadis itu menatap ke arah Saddam yang berdiri di samping meja. "Maaf, ya."

"Gak papa kali. Kayak baru sekali aja. Udah sering gue mah, Dam."

Saddam tersenyum dan mengacak puncak kepala Dara.

Pandu yang melihat itu, langsung mencibir pelan. "Sana kek! Pacaran kok di depan gue. Mau gue kepret pake duit?!" Pandu yang tengah menghitung uang, langsung mengangkatnya bersiap menampar mereka menggunakan uang.

"Duit gue lebih banyak, Du."

"Gue gak nanya, Dam. Makasih."

Dara tertawa melihat wajah kesal Saddam. Cowok itu memilih menarik kursi dan duduk di samping Dara.

"Kalau mau kopi, ke belakang aja. Tadi pagi Emak gue anterin ke sini. Air panasnya juga ada. Kalau mau makan, beli sendiri aja, duit lo kan banyak," ujar Pandu pada Saddam.

Saddam terkekeh pelan. "Iri ya duit gue banyak?"

"Dih, banyak doang gak pernah sedekah buat apa?"

"Emang sedekah harus bilang-bilang ya?" balas Saddam.

Pandu dan Saddam langsung tertawa bersamaan. Selama dua tahun ini juga, Saddam dan Pandu menjadi teman akrab.

Kadang ngopi bareng, nongkrong bareng, ngobrol asik sendiri sampai lupa sama orang-orang sekitar.

Sama-sama receh, satu frekuensi lah mereka.

"Eh, Dar, si Tora besok mau ke sini."

"Harta, Tahta, Tora jadi orang Sunda."

Tora juga adalah salah satu sahabat Dara semasa sekolah. Biasanya, Tora dan Pandu kerap kali ribut jika bertemu. Namun, tak dapat dipungkiri, mereka adalah sahabat sejati sampai saat ini.

Tora juga penggemar masakan Emaknya Pandu. Dulu, apapun keadaannya, orang pertama yang akan dia datangi Emaknya Pandu.

"Si Tora Dateng ke sini kayaknya sundanya makin lengket deh. Bulan kemarin aja udah susah banget kayaknya ngomong bahasa Indonesia, belibet banget," kata Pandu seraya tertawa.

"Iya atuh da gimana aku teh susah ngomongna. Da kebiasaan ngomong pake basa Sunda. Terus teh aing teh kemarin teh cerita sama si Emak, eh kena gampar gara-gara bahasanya campur-campur." Pandu menirukan logat yang Tora gunakan saat ia datang ke mari saat itu.

Saddam dan Dara tertawa. Tora biasanya datang tanpa perkiraan. Cowok itu bisa datang kapan saja karena jarak Bandung dan Jakarta tidak terlalu jauh.

"Kapan ya kita bisa kumpul lagi, Dar?" Tanya Pandu seraya tersenyum kecut meihat ke arah dinding hasil coretan teman-temannya.

TBC.

Gimana part pertamanya?

Suka gak? Semoga suka ya!

Ada yang ingin disampakan untuk Saddam

Dara

Pandu

Kesan setelah baca part ini?

Spam komen di sini yukk👉

See you🥰


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro