Bagian 2

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saddam baru saja selesai mandi. Cowok itu tengah mengeringkan rambutnya mengenakan handuk kecil.

Ia duduk di sofa. Kemudian, suara telepon berbunyi begitu nyaringnya membuat Saddam mau tak mau beranjak kembali untuk mengambil ponselnya di atas meja.

Alisnya berkerut kala menemukan nama Selly di sana.

Saddam diam beberapa saat. Sampai akhirnya, ia memilih mengangkatnya. "Hallo?"

"Aa', darah tinggi Ibu kumat. Aa' bisa ke Bandung sekarang?"

Saddam sontak beranjak, cowok itu berlari ke dalam kamar dan mengambil baju secara asal-asalan. "Kenapa bisa kumat, Sel? Makan jengkol? Makan peyeum, atau apa?"

"Teh Bella hamil, A."

Pergerakan Saddam langsung berhenti. Dunianya seakan berhenti berputar saat itu juga. Cowok itu langsung mematikan sambungannya dan duduk di tepi kasur.

Ia terkekeh miris. Tangannya terkepal, handphone yang ia pegang, langsung ia lemparkan pada tembok sampai benda itu hancur.

"Goblok! Goblok!" Saddam memukul kepalanya sendiri. Cowok itu lantas menjambak rambutnya sendiri.

Saddam akhirnya memilih meraih jaket, kemudian ia mengambil kunci mobil dan memilih berlari meninggalkan apartemen dan membawa mobilnya.

Ia akan ke Bandung sekarang!

Di lain tempat, Dara tengah sibuk menghadap ke arah laptop untuk membuat design baru untuk toko kaos sablonnya.

Dia tidak sendiri, di sampingnya ada Pandu yang tengah sibuk melayani pelanggan yang membeli baju.

"Dar, kemarin ada gue dapet DM di Instagram, ada yang pesen baju, katanya buat baju kelas gitu. Dia minta designya yang modelan kayak gini, nih." Pandu menyodorkan ponselnnya pada Dara.

"Persis baget kayak gitu?"

"Ya enggak. Yang modelan kayak gini, tapi jadi lebih keren gitu. Biasalah, anak ABG maunya yang kekinian gitu, Dar."

Dara mengangguk. "Oke, udah kasih DP? Gue gak mau ah kalau nanti malah kena tipu kayak waktu itu."

Iya, Dara dan Pandu pernah kena tipu oleh konsumen. Mereka memesan banyak kaos, eh, saat barang akan dikirim, mereka malah membatalkan dengan alasan tidak jelas.

Pandu marah, tapi, Emak bilang, namanya juga usaha. Yang kayak gini mah hal biasa. Mungkin kitanya yang kurang ngasih ke orang.

"Belum sih. Tapi gue udah bilang minimal harus ada seperempatnya. Dia bilang, dia mau tagih uang dulu ke temen-temennya. Bikin design nya aja dulu, jadi begitu dia udah bayar, kita tinggal kasih contohnya. Beres."

Dara mengangguk. "Oke."

"Eh, si Yayang lo tumben gak ke sini?" Tanya Pandu seraya melirik ke arah layar laptop yang sudah menunjukan design buatan Dara.

Dara melirik ke arah Pandu. "Gak tau. Tadi sih ngomongnya, ada acara festival gitu. Kayaknya udah berangkat, deh."

"Lo gak nemenin gitu?"

"Gue kan ada kerjaan. Lagian nanti siang gue ngampus."

Pandu mengangukan kepalanya.

"Si Tora jadi Dateng? Kapan?" tanya Dara dengan mata yang masih fokus pada layar.

Pandu menggelengkan kepalanya. "Gak tau. Lo kayak gak tau si Tora aja, ngomongnya sore, datengnya siang. Ngomongnya siang, datengnya malem. Gak bisa diprediksi lah. Ditungguin juga malah jadi harapan doang."

Dara tertawa. Ia mengangguk-anggukan kepalanya.

Tak lama, ponsel Dara berdering menunjukan kontak Nando–Manager Saddam.

Alis Dara berkerut. Gadis itu sontak saja menghentikan pekerjaannya dan beralih meraih ponsel di samping laptopnya.

"Hallo? Kenapa, Bang?"

"Dar, Saddam sama lo? Gila kali ya itu orang. Bentar lagi acaranya mau di mulai, ditelepon gak aktif, gue cari ke apartementnya juga gak ada."

Dara mengerutkan alisnya heran. "Loh? Gue gak sama Saddam. Dia juga bilangnya sih mau berangkat ke acara Festival gitu tadi pagi. Hp nya juga masih bisa di hubungi kok tadi."

"Ah! Yaudah, gue cari lagi deh. Makasih ya, sorry ganggu."

"Iya gak papa."

Kemudian, sambungan terputus. Dara mencoba menghubungi nomor Saddam. Dan ternyata benar, nomornya tidak aktif.

Dara menghela napasnya pelan.

"Kenapa, Dar?"

"Saddam ngilang."

•••

Di dalam rumah bernuansa tempo dulu, Saddam menatap ke arah Bella yang saat ini tengah menundukkan kepalanya seraya duduk di atas kursi. Tangannya memegang testpack dengan air mata yang berderai.

Saddam menatap datar ke arah gadis berumur 18 tahun itu. Kemudian, matanya beralih ke arah gadis yang saat ini tengah mengenakan baju SMP.   "Kamu masuk kamar."

Selly–gadis itu menganggukkan kepalanya dan memilih masuk ke dalam kamar mengikuti instruksi Aa-nya.

Tatapan Saddam kembali ke arah gadis itu. "Kamu gak ngehargain Aa ya, Bel? Keringet yang Aa usahain buat kamu, kamu anggap apa? Sampah?"

"Enggak gitu, A." Bella menangis dan mengeratkan pegangannya pada rok SMAnya.

"Enggak gitu terus gimana?"

"Bella minta maaf–"

"Buat apa? Punya salah kamu sama Aa?" Tanya Saddam.

Bella semakin menundukkan kepalanya. Saddam mendengkus kesal. "Kamu bentar lagi ujian. Sekarang udah kayak gini gimana? Asal kamu tau, Bel. Aa udah kumpulin uang buat biaya kuliah kamu. Kamu kan yang minta sama Aa buat kuliah di Jogja?"

"Kamu itu contoh buat Selly. Aa kasih semuanya sama kamu karena apa? Karena Aa gak mau kamu hidup kekurangan kayak Aa waktu kecil dulu. Aa juga mau lihat Adik Aa sukses, Aa gak minta apa-apa, Bel. Aa gak minta kamu harus bayar semuanya ke Aa, enggak."

"Aa cuman mau kamu jadi anak yang bener. Punya pendidikan. Enggak kayak Aa yang sekolah cuman tamatan SMA. Iya, Aa mampu kok biayain kuliah Aa sama kamu, Sama sekolah Selly. Tapi Aa enggak mau, Aa mikirin kamu, mikirin Selly, mikirin Ibu. Kamu malah kayak gini. Makannya Aa tanya, salah Aa apa, Bel?"

"Aa bebasin kamu, karena Aa percaya kalau kamu sayang Ibu, sayang sama Aa juga. bukan berarti kamu bisa macem-macem sampai kayak gini. Aa salah ya udah bebasin kamu? Aa bego banget ya gak bisa kontrol pergaulan adik Aa sendiri?"

Bella tak berani menjawab. Ia semakin mengepalkan tangannya untuk mengurangi rasa takut.

"Aa pengen kamu ngerasain gimana senengnya kasih sesuatu buat Ibu. Aa pengen kamu jadi orang sukses."

Saddam menghela napasnya. Rasanya, apa yang ia katakan sia-sia. Cowok itu akhirnya memilih duduk di samping Adiknya itu. "Siapa Ayahnya?"

"D-Dika, A. Temen satu tongkrongan Bella," jawabnya seraya terisak.

"Kenapa bisa?"

"Bella juga salah, A."

Saddam memejamkan matanya kuat. cowok itu lantas beranjak kemudian berjalan ke arah kamar Bella.

Kemudian, ia kembali dengan jaket milik gadis itu. "Pake. Kita temuin dia."

"Aa–"

"Kamu mau ngelawan Aa?"

Bella akhirnya pasrah. Gadis itu memilih mengikuti langkah Saddam untuk masuk ke dalam mobil.

Di perjalanan, Saddam tidak berbicara apa-apa. Matanya menatap lurus ke arah jalanan. Sedangkan telinganya sesekali mendengar arahan Bella.

Mereka sampai. Saddam langsung turun, cowok itu berjalan ke arah pintu yang tertutup kemudian mengetuknya.

Tak lama, seorang anak seusia Bella muncul. Saddam menatap datar ke arahnya. "Lo Dika?"

"Iya, A. Ada apa ya?"

"Aya Adi urang rek menta pertanggung jawaban ka maneh!" Saddam menatap tenang ke arah cowok itu.

(Ada adik gue yang mau minta pertanggungjawaban sama lo)

Namun, bukannya sama tenang dengan Saddam, cowok itu menatap kaget sekaligus takut ke arah Saddam dan juga Bella secara bergantian.

"Bel—"

"Maneh teu percaya ka urang?!" Saddam menatap cowok itu dengan tatapan marah.

(Lo gak percaya sama gue?)

"Aa udah." Bella menahan lengan Saddam.

Saddam menghela napasnya. "Mana orang tua kamu? Bilang, saya mau bicara."

•••

Setelah menemui orang tua Dika, Saddam memilih kembali ke rumah dan masih enggan berbicara dengan Bella.

Cowok itu saat ini duduk di kamar lamanya dengan pikiran yang benar-benar kacau.

Pintu terbuka menampakkan Selly yang masuk dengan segelas teh yang ia bawa. "Ibu gimana?" Tanya Saddam saat Selly ikut duduk di sampingnya.

"Udah mendingan. Sekarang lagi tidur. Nih, Selly bikin teh buat Aa."

"Bella bakal nikah Minggu depan. Aa yang jadi wali. Sebenernya Aa gak rela lepas Adik Aa buat nikah sama Bajingan kayak gitu. Tapi keadaan yang maksa, Sel." Saddam menghela napasnya.

Selly tersenyum kecut. Selama ini, kehidupannya, Bella, dan juga Ibunya, Saddam yang membiayai.

Selly juga sebenarnya takut berbicara perihal kehamilan Tetehnya pada Saddam. Tapi, mau bagaimana lagi? Saddam yang akan jadi wali nikah, rasanya tidak tahu terima kasih sekali jika Selly menyembunyikan ini dari Saddam, disaat semua kebutuhannya terpenuhi oleh Aa-nya.

"Kamu punya nomor Teh Dara?" Tanya Saddam.

Selly mengangguk. "Ada. Emang Aa gak punya? Bukannya pacaran?"

"Hp Aa terbang terus nambrakin diri ke tembok. Mana hp kamu, Aa pinjem."

Selly menyerahkan ponselnya. Kemudian, Saddam memilih menghubungi Dara.

Tak lama, panggilan terhubung. "Hallo, Dar."

"Saddam? Kirain ke mana, ditelepon gak bisa-bisa. Dicari ke apartement juga gak ada. Lo di mana? Kok pake nomor Selly? Lagi Di Bandung?"

"Iya, ada masalah. Nanti malem, gue ke rumah, ya? Kalau gue lama, tidur aja. Nanti gue bangunin. Gue mau cerita."

"Gue tunggu. Hati-hati di jalannya. Kalau sekiranya belum tenang, mendingan jangan pulang dulu, nanti kenapa-kenapa di jalan loh."

Saddam mengatakan dirinya baik-baik saja. Setelahnya, sambungan terputus. Saddam menghela napas dan memilih menyerahkan ponselnya pada Selly.

"Aa sayang banget ya sama Teh Dara? Kenapa gak nikah aja? Kan udah sama-sama dewasa."

"Teh Dara masih kuliah. Aa juga masih punya tanggung jawab buat kamu sama Bella, Sel. Makannya, kamu sekolah yang bener. Harus jadi orang sukses, bikin Ibu bangga."

Selly tersenyum dan mengangguk. Ia tahu Aanya itu tengah kecewa sekarang. Selly juga tahu kalau sebenarnya, Saddam sudah ingin menikah dengan kekasihya.

Namun, sebagai anak sulung yang kini menjadi punggung keluarga, ia masih memiliki banyak pertimbangan untuk itu.

Selly juga kecewa pada Bella. Seharusnya, dia tidak begini. Di saat Aanya mati-matian menahan segala sesuatu yang dia inginkan demi Bella dan Selly, dia malah begini akibat salah pergaulan.

"A, Selly kan bentar lagi lulus SMP. Gimana kalau Selly langsung kerja aja? Gak usah diterusin. Selly gak papa, Aa nikah aja sama Teh Dara, biar Aa ada yang ngurus di Jakarta."

Saddam terpaku. Cowok itu sontak saja menggeleng tak setuju. "Tugas kamu itu sekolah. Urusan nikah itu, urusan Aa. Jangan ngomong yang enggak mungkin Aa izinin. Aa gak suka."

•••

Malam harinya, mobil Saddam terparkir tepat di depan rumah Dara. Ia sengaja langsung pulang, karena, ia masih kecewa pada Bella. Ia butuh menenangkan dirinya untuk itu.

Namun, Saddam pasti akan kembali ke Bandung Minggu depan. Ia akan pulang untuk menikahkan Adiknya dengan orang yang katanya teman satu tongkrongan adiknya.

Bohong jika saat di rumah Dika Saddam baik-baik saja. Saddam di maki-maki dan Bella dituduh ingin harta Dika saja. Saddam tentunya marah, dia langsung melempar kunci mobil dan dompet yang berisi banyak kartu dan berkata. "Saya masih mampu buat kasih apapun yang Adik saya mau. Anak anda melakukan kesalahan, dan anda masih mau menuduh Adik saya? Saya dan Adik saya gak butuh harta Anda karena saya masih mampu buat jalan dan usaha buat keluarga saya sendiri."

Dika menenangkan orang tuanya, dan dia langsung menyetujui ucapan Saddam untuk menikah dengan Bella karena dia memang salah. Walaupun hal itu atas dasar mau sama mau.

Orang tua Dika menentang. Bahkan, Ayahnya Dika hampir melayangkan pukulan pada Saddam karena dia tak terima. Dan lagi, Dika menahannya dan mengatakan dia yang salah, dia juga yang harus bertanggung jawab.

Akhirnya, keputusan mereka akan menikah Minggu depan.

"Saddam? Kenapa gak masuk?"

"Dar." Saddam langsung memeluk Dara dan menangis. Dia tidak tahu harus mengadu pada siapa.

Karena selama ini, hanya Dara yang tidak pernah keberatan mendengarkan segala keluh kesah Saddam.

"Heh, kenapa?" Dara mencoba melepas pelukan Saddam dan beralih menangkup pipi cowok itu.

"Gue ada ingusnya gak?" tanya Saddam saat kedua tangan Dara sudah berada di pipinya.

Dara menghela napasnya. "Lo kenapa sih? Dateng-dateng nangis. Ditanya, malah nanyain ingus."

"Gue jelek gak, Dar?"

"Jelek."

"Jahat banget." Saddam mencebikkan bibirnya sebal.

Dara menarik Saddam untuk duduk di kursi teras. Keduanya duduk berdampingan dengan Dara yang menatap ke arah cowok itu. "Kenapa sih?"

"Gak tau. Pengen peluk lo aja, capek." Saddam langsung memeluk Dara dari samping dan menyembunyikan wajahnya pada bahu kecil gadis itu.

Dara paham, jika Saddam sudah begini, berarti dia ada masalah. Biasanya sih, masalah kerjaan. Tapi ... Kali ini Dara tidak tahu, karena Saddam bilang dia ada masalah di Bandung saat di telepon tadi.

Apa masalah keluarga?

"Bella hamil."

Dara membelakkan matanya. Gadis itu sontak mendorong Saddam agar dia tidak memeluknya. "Hamil?" Tanya Dara.

"Salah gue yang terlalu sibuk di sini. Pergaulan dia enggak terpantau, gue terlalu percaya sama dia, gue terlalu bebasin dia. Gue gagal, Dar."

Dara menggeleng. Gadis itu mengusap bahu Saddam pelan. Kemudian, ia menarik cowok itu agar memeluknya kembali. Saddam sontak saja melingkarkan tangannya pada pinggang Dara. "Dam, lo udah lakuin yang terbaik buat Bella. Jangan ngomong kayak gitu."

"Gue malu sama Ibu, Dar."

Dara mengusap kepala belakang Saddam dengan lembut. Pipi Dara, ia tempelkan pada bahu Saddam. "Ibu pasti paham sama keadaan lo, Dam. Lagian, siapa sih yang mau Adiknya kena masalah kayak gini? Enggak ada kan? Lo udah lakuin apa yang lo bisa, jangan anggap diri lo gak berguna atas apa yang udah lo usahakan, Dam."

"I love you, Dar. Makasih, makasih, Dara." Saddam semakin mengeratkan pelukannya.

"Tadi gue bikin rendang, lo udah makan? Makan, yuk. Gue sengaja loh gak makan sama Papa biar makan sama lo. Terus, Zara juga masih bangun, tuh. Dia pasti kangen sama Abangnya."

Saddam menjauhkan tubuhnya tanpa melepas lingkaran tangannya pada pinggang Dara. "Gue belum makan dari siang. Gue makannya banyak gak papa?" Tanya Saddam.

"Bayar ya?"

"Ish, itungan." Saddam mencebikkan bibirnya sebal.

Dara tertawa. Tangannya terulur mengusap lembut pipi Saddam hingga cowok itu memejamkan matanya merasa nyaman.

"Yuk." Dara beranjak dan meraih tangan Saddam.

Keduanya saling menggenggam dan memilih masuk ke dalam rumah.

Saddam beruntung memiliki Dara. Keluarga gadis itu juga baik karena mau menerima kekurangan Saddam, Daranya juga pengertian.

Biarpun orang-orang bilang Dara tidak secantik mantannya, tapi jujur, Dara adalah gadis terlama yang menjalin hubungan dengannya.

Dara tidak banyak mau. Dia juga tahu caranya menghargai. Ketika Saddam membeli sesuatu untuk Dara, suka atau tidak suka, dia pasti akan menerimanya.

Dan Saddam berharap, hubungannya dengan Dara tidak hanya sampai status pacaran. Ia ingin ke jenjang yang lebih serius nantinya.

TBC

Hallo! Gimana kesan setelah baca part ini?

Masih tim Langit

Atau

Tim Saddam

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Saddam

Bella (Adiknya Saddam)

Selly (Adiknya Saddam)

Spam next di sini yuk!

Follow Instagram Octaviany_Indah, yuk!

Satu tuju, beda jalar... Nanti sore ya!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro