Bagian 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dara tersenyum tipis melihat Saddam yang sudah tertidur di samping Zara—Adik Dara. Cowok itu terlihat kecapekan, akhirnya, Dara memilih menutup pintu kamar Zara dan berjalan ke arah ruang tengah.

Papanya, Mamanya, dan juga Abangnya tengah duduk menonton televisi. Jika sudah ada Saddam, mereka tidak akan ada kesempatan untuk bermain dengan Zara, karena Saddam pasti akan mengambil alih semuanya.

Dari mulai main, makan, bahkan sampai tidur. Saddam memang sesayang itu pada Adiknya Dara. Mungkin, karena dirinya mempunyai 2 Adik perempuan.

"Saddam mana, Ra?" tanya Ayu—Mamanya.

Dara duduk di samping Ayu. "Tidur, Ma. Kayak gak tau Saddam aja. Kalau udah nemenin Zara tidur, ya dia pasti ikut-ikutan tidur."

"Gak biasanya muka Saddam agak murung, Ra. Lagi ada masalah ya? Masalah kerjaan?"

"Iya, Ma. Lagi ada masalah," jawab Dara.

Ayu paham, sepertinya Dara tidak mau memberitahu masalah apa yang menimpa Saddam. Wanita itu akhirnya mengangguk paham, biarkan itu menjadi urusan anaknya saja.

"Pa, Saddam gak papa kan nginep di sini? Tidur di kamar Zara kok. Dara gak tega banguninnya, dia pasti kecapekan banget," ucap Dara seraya menatap ke arah Ragil.

Ragil mengangguk. "Asal jangan diem-diem masuk kamar kamu Aja, Dar."

"Ya enggaklah. Dara pukul kalau dia berani macem-macem."

Ragil mengacak rambut Dara. Papanya itu langsung merangkul Dara dan mengusap puncak kepalanya. "Gimana usaha Sablon kamu? Lancar?"

"Lancar dong. Kan berkat doa Mama sama Papa juga." Dara tercengir lebar seraya menyandarkan kepalanya pada bahu Papanya seperti anak kecil.

Ragil melirik ke arah Reza yang terlihat anteng menonton televisi. "Kamu kapan nih mau kenalin pacar kamu, Za?"

"Belum minat punya pacar, Pa."

Dara menatap ke arah Reza. Ia paham, Reza pasti masih teringat pada Rena—kekasihnya saat masa SMA dulu.

Rena telah mengembuskan napas terakhirnya satu tahun yang lalu. Dia pergi, karena kecelakaan beruntun saat dia akan mudik hari raya kala itu. Hanya Mama Tirinya yang selamat kala itu.

Reza tentunya terpukul atas kepergian Rena. Sampai sekarang, Dara tak pernah mendengar Reza dekat dengan gadis manapun.

"Za," panggil Ayu.

"Reza ngantuk. Reza ke kamar ya. Dah!" Reza beranjak kemudian memilih melangkah menaiki anak tangga dan masuk ke dalam kamarnya.

Dara yang melihat itu, langsung beranjak dan memilih mengikuti Reza.

Sampai akhirnya, ia sampai di depan pintu kamar Abangnya itu. Tangannya terulur mengetuk pintu. "Za," panggil Dara.

"Masuk aja gak dikunci."

Dara membukanya, ia melihat Reza yang tengah duduk di meja belajar seraya menatap ke arah foto Reza dan juga Kekasihnya.

Gadis itu berjalan ke arah Reza. Kemudian, ia mengusap punggung Abangnya. "Kalau belum bisa lupa, jangan dipaksain. Kalau belum mau cari pengganti, jangan dipikirin. Lo lebih tahu diri lo harus kayak gimana, Za."

"Rena lagi apa ya, Dar?" Reza mengusap foto itu dengan jari telunjuknya. Matanya menatap lurus ke sana.

"Harusnya waktu itu gue ikut. Padahal Rena udah ngajak gue buat kenalan sama keluarganya di sana."

Reza menghela napasnya. Cowok itu memilih menyelipkan foto itu pada bukunya dan ia tutup kembali. "Lo tahu, Dar? Rena itu nyebelin. Banyak omong, cerewet, gak bisa diem, digalakin malah makin mepet. Lucu."

"Tapi, dia itu gak pernah bener-bener bahagia sama kehidupannya. Dia punya Ibu tiri, Ibunya baik waktu di depan Papanya aja. Gue sering lihat tangan dia melepuh, mungkin karena disiram atau kesiram air panas. Gue gak tau, Rena gak pernah cerita. Tapi yang jelas, gue pernah lihat dia di dorong sampai jatuh ke aspal waktu gue mau jemput dia. Akhirnya di situ dia nangis ke gue, dia cerita semuanya sama gue."

"Rena bilang, dia bahagia deket sama gue. Walaupun gue galak katanya." Reza terkekeh pelan.

"Gue sayang banget sama Rena, Dar."

Dara menatap Reza yang enggan menatap ke arah Dara ketika bercerita. Dara yakin, Reza tengah menahan air matanya agar tidak keluar di depan Dara. "Lo kangen sama Rena?"

"Banget."

"Mau gue anter ke makam Rena?"

"Gue gak yakin kalau gue gak cengeng kalau udah sampe sana." Reza terkekeh pelan.

"Kalau mau, ngomong aja. Nanti gue anter." Dara menepuk pundak Reza beberapa kali.

Setelahnya, ia memilih keluar untuk memberi ruang pada Reza. Setelah pintu tertutup, Reza menundukkan kepalanya sampai tertempel pada meja dan menangis di sana.

•••

Dara duduk di atas kasurnya. Gadis itu mengerutkan alisnya kala mendapati pesan dari Selly—Adiknya Saddam yang katanya ingin berbicara dengan Dara.

Akhirnya, Dara memilih menelepon gadis itu. Tak lama, panggilannya diangkat.

"Hallo? Kenapa, Sel?"

"Gak papa. Selly kangen aja sama Teh Dara, Selly gak ganggu kan, Teh?" tanya Selly di seberang sana.

Dara terkekeh pelan. "Ya enggak dong, Sel. Teteh juga belum tidur kok. Kamu sendiri kenapa belum tidur? Besok bukannya sekolah?"

"Besok Selly Tryout, Teh. Selly bingung mau cerita ke siapa. Selly belum bayar uang ujian. Tadinya Selly mau bilang ke Aa, tapi tadi siang waktu lihat Aa marah sama Teh Bella ... Selly jadi gak enak, Teh."

Dibanding Bella, Dara memang lebih dekat dengan Selly. Gadis itu sering kali menceritakan masalahnya pada Dara. Biasanya sekedar minta solusinya, memberitahu dirinya akan lomba dan meminta doa, atau sebagainya.

Dara juga pernah bilang pada Selly, jika butuh apa-apa, dia bisa bercerita pada Dara. Jika Dara bisa bantu, dia pasti akan membantunya.

Karena, Dara tahu bagaimana rasanya ketika membutuhkan sesuatu, tapi tidak ada satu orangpun yang mau menolong. Dara tidak mau orang lain merasakan hal itu.

Apalagi Selly, dia sudah Dara anggap sebagai adiknya sendiri.

"Emang uang ujian kamu berapa, Sel?"

"Sembilan ratus ribu, Teh. Tapi Selly ada tabungan kok 400 ribu, kurangnya ya ... 500 ribu, Teh. Kalau Teteh ada, Selly mau pinjem dulu. Bulan depan Selly ganti, deh. Soalnya, Selly baru dapet uang hasil nulis ya bulan depan."

Dara juga tahu Selly tipe gadis yang mandiri. Dari kelas 2 SMP, dia sudah mulai menulis di platform berbayar. Baru satu tahunan, tapi katanya, hasilnya lumayan untuk jajan sehari-hari.

Dia juga sudah bisa membelikan Ibunya baju dan barang-barang lain dari hasilnya.

"Nanti Teteh kirim, ya? Gak usah diganti, kamu pake pinjem-pinjem segala. Kayak ke siapa aja."

Terdengar helaan napas di seberang sana. "Sebenernya, uang segitu Selly ada, Teh. Tapi dipinjam sama temen, belum dibalikin. Mau Selly tanyain, gak enak. Malah Selly yang kena marah sama dia."

"Sel, itu kan hak kamu. Harusnya ya kamu tagih dong, kalau dia marah, dia gak tahu diri namanya. Udah dikasih pinjem malah marah-marah. Teteh yakin deh, dia waktu minjem pasti pasang muka melas, kan?"

Di seberang sana Selly tertawa. "Iya, Teteh bener banget."

"Sel, Teteh percaya sama kamu. Jangan bikin Aa kamu kecewa, ya? Belajar yang bener, Aa kamu gak akan larang kamu pacaran. Tapi kamu harus tahu batasan, ya? Selly denger? Teteh percaya sama Selly. Kalau butuh apa-apa, bilang sama Teteh."

"Sebenernya, Selly mau berhenti sekolah aja, Teh. Mau cari kerja aja, Selly kasihan lihat Aa yang jauh dari keluarga buat biayain Selly, Teh Bella, sama Ibu. Terus ... Selly takut kalau suatu hari Selly malah bikin Aa kecewa. Selly gak mau bikin Aa ngerasa kalau usaha Aa sia-sia, Teh."

"Teteh gak kasih izin. Aa kamu di sini itu buat kamu. Kalau kamu berhenti sekolah, yang ada Aa kamu kecewa dan ngerasa apa yang dia usahain itu sia-sia. Emang kamu gak sedih kalau lihat Aa kamu kayak gitu?" Tanya Dara.

"Iya sih. Selly bingung, Teh."

"Jangan bingung. Tugas kamu itu sekolah, buat Ibu sama Aa kamu bangga."

Di seberang sana, Selly menghela napasnya lagi. "Iya, Teh. Yaudah, Selly tutup ya? Udah malem juga, Teteh tidur. Biar besok bisa ketemu sama Aa."

Dara terkekeh pelan. Selly tidak tahu saja Aanya sedang di mana.

"Iya, uangnya teteh transfer ya?"

•••

"Gila lo! Ngilang tiba-tiba. Gue harus bayar biaya rugi tahu gak gara-gara kecerobohan lo itu."

Pagi hari, ketika Saddam pamit pulang dari rumah Dara dan memilih pulang ke apartemennya, Nando sudah stay di depan pintu dengan tampang garangnya.

Saddam dimarahi habis-habisan. Namun, cowok itu malah diam saja tak mengatakan apapun alasannya.

"Hp mati, gue cari ke sini gak ada. Gue tanya pacar lo dia bilang gak tahu. Lo ke mana sih lagian?"

"Balik ke Bandung."

"Ngapain?"

"Darah tinggi nyokap gue kumat."

Saat mengatakan itu, barulah Nando diam. Ia menghela napasnya pelan. "Harusnya lo bilang, Dam. Biar gue bisa kasih pengertian. Lo terancam putus kontrak loh cuman gara-gara ini."

"Terus gimana?"

"Gak jadi. Gue mati-matian bela lo. Lo cuman dikasih SP doang. Sekali lagi lo kayak gini,  gue gak jamin deh bisa bela lo lagi, Dam. Kalau Lo jadi pengangguran, gak akan bisa lo nikah sama si burung Dara," ucap Nando.

Saddam berdecak sebal. Ia memilih merebahkan tubuhnya di sofa. "Makasih, Do."

"Iya, apa sih yang enggak gue lakuin buat lo, Dam."

"Bahasanya udah kayak doi ya?" Saddam tertawa pelan.

Nando, biarpun suka marah-marah, tapi dia selalu membela Saddam mati-matian. Jika mereka marahan, pasti beberapa menit kemudian akan baikan lagi.

"Jangan seneng dulu lo. Lo juga harus klarifikasi. Seenak jidat lo cengar cengir kayak kuda."

"Muka ganteng gini disamain sama kuda. Apaan banget." Saddam mengusap rambutnya ke belakang dengan tampang sok ganteng.

•••

"Hallo! Anak siapa ini cantik banget."

Dara terkekeh pelan melihat Zara yang sudah bertepuk tangan saat bertemu dengan Pandu.

Dara sengaja mengajak Zara ke toko. Soal Reza, dia tidak mengatakan apa-apa soal tawaran Dara yang siap menemaninya ke makam Rena.

Mamanya juga awalnya melarang Dara untuk membawa Zara. Takut merepotkan katanya. Tapi, Dara yang memaksa. Katanya, mumpung Tora ada di Jakarta.

"Eh ketawa. Ketawain siapa kamu? Ketawain Abang Pandu, ya? Mukanya jelek kayak lutung, ya?" Tora menciumi wajah Zara dan beralih menggendongnya.

"Lo sampe ke sini jam berapa, Tor?" Tanya Dara seraya duduk dan membuka laptopnya.

"Kemarin malem. Jam 12, gila sih gue dimarahin sama Emak gara-gara ngetok pintu jam segitu." Tora tertawa.

Dara menggelengkan kepalanya pelan. Benar kata Pandu, kedatangan Tora memang tidak bisa diprediksi.

"Eh, Dar, gue denger-denger, katanya si Langit mau pulang ke Indonesia, ya? Karena mau main film gitu," ucap Tora.

Dara mendongak, gadis itu mengedikan bahunya tak acuh. "Gak tahu. Iya kali."

"Udah jadi mantan mah jawabnya teh bodo amat kitu, ya?" Ujar Tora dengan logat sundanya.

Dara berdecak sebal. Dara memang benar tidak tahu. Dia sudah jarang membuka sosial media kecuali mengunggah foto hasil design nya saja.

Ya mana Dara tahu kalau Langit alias mantan kekasihnya itu akan kembali ke Indonesia karena terlibat project film.

"Langit sama Saddam baikkan siapa, Dar?" Tanya Tora.

"Dua-duanya juga baik. Tapi kalau nyerepet ke masalah hubungan, ya baikkan Saddam. Buktinya gue sama dia awet."

Tora tertawa. Iya benar juga, sih. Lagipula, Tora tak pernah mendengar berita tentang Saddam yang dekat dengan seorang gadis setelah berpacaran dengan Dara.

"Rasanya pacaran sama seleb, gimana?"

"Enak gak enak. Enak kalau dianya terbuka kayak Saddam, gak enaknya ya banyak juga yang gak suka sama hubungan gue sama Saddam. Kadang, kalau ketemu sama fans dia, ada yang kasih tanggapan positif, ada juga yang kekeuh jodoh-jodohin Saddam sama mantannya yang cakep-cakep," kata Dara seraya tertawa.

Tora mengangguk-anggukan kepalanya. "Du, aing teh kayaknya mau pacaran sama Seleb, ah. Tapi ada yang mau sama aing enggak, ya?"

"Gak ada. Muka lo buluk."

Tora berdecak kesal. "Untung gue lagi gendong Zara, kalau enggak, udah gue tonjok lo!"

"Gue lapor Emak biar kalau lo ke Jakarta, enggak dibukain pintu."

Ini yang Dara rindukan dari persahabatannya. Bacotan Pandu dan Tora, selalu membuat suasana menjadi hangat. Apalagi, jika ditambah Langit dan juga Danu.

TBC

Hallo! Gimana part ini? Suka gak?

Kesan setelah baca part ini?

Di sini, ada yang hidupnya ketergantungan sama Abangnya? Dari mulai sekolah, sampai semuanya. Kalau ada apa-apa, pasti orang pertama yang dikasih tahu Abangnya?

Sampai-sampai, kita ngerasa di titik mau minta sesuatu, tapi gak enak karena keseringan. Tapi akhirnya ya minta juga😭

Cerita Dara : Hello You! ini, aing persembahkan buat Abang aing. Sehat selalu, Bang! Mhehee

Ada yang ingin disampaikan untuk Saddam

Dara

Selly

Tora

Baby Zara

Pandu

Reza

Spam next yuk!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro