Bagian 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Saddam?"

Saddam yang  baru saja membayar uang rokok di kasir, langsung menolehkan kepalanya ke arah samping.

Dari bentuk tubuhnya yang begitu mungil, Saddam tahu betul dia siapa. Sudut bibirnya terangkat, "sok kenal."

"Dih sombong banget lo." Gadis itu memukul lengan Saddam dengan kesal.

Saddam tertawa menanggapinya. "Sama siapa lo ke sini, Ra?" tanya Saddam.

Iya, Anara. Anara Alovi, aktris layar lebar yang dulunya pernah menjalin hubungan dengannya.

Dia juga gadis yang sering dibanding-bandingkan dengan Dara oleh fans Saddam.

"Biasalah. Sama Sundari. Eh, lo sendirian? Dara mana?" tanya Anara.

"Di rumahnya deh kayaknya. Hp gue rusak soalnya."

Anara mengangguk-anggukkan kepalanya. Gadis itu memilih memberikan belanjaannya pada kasir untuk ia hitung.

Sambil menunggu, ia menatap ke arah Saddam yang tengah menunduk melihat-lihat merk coklat. "Lo ada acara, Dam?"

"Udah malem gini acara apaan? Party sama setan?" Tanya Saddam seraya mengambil dua batang coklat.

Kemudian, cowok itu memberikannya pada kasir. "Mbak, sama ini, deh."

Setelah selesai, Anara dan Saddam berjalan ke arah luar bersamaan. Anara sedaritadi terus menerus menatap ke arah Saddam yang tengah sibuk menyalakan sebatang rokoknya.

Bahkan, sampai asap itu megembus ke udara, Anara terus menatapnya.

Saddam menoleh. Kemudian, dia menghisap batang rokoknya, dan asapnya ia hembuskan tepat di wajah Anara.

Anara terbatuk dan memukul lengan Saddam dengan kesal.

"Ngapain sih lihatin gue? Gak ada kerjaan banget." Saddam berdecak kesal merasa risih.

Anara mendengkus kesal. "Halah! Dulu aja kalau gue lihatin, lo pasti senyum-senyum sendiri. Terus gue lagsung dipeluk-peluk, pipi gue sama lo digigit sampai merah. Sekarang—"

"Gak jelas lo." Saddam memilih masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Anara yang masih berdiri.

Anara tersenyum kecut melihat kepergian Saddam. Dulu, Saddam begitu sulit ia dapatkan, namun, dia terlalu mudah untuk terlepas.

Orang tua Anara tidak merestui hubungan mereka karena penampilan Saddam yang terkesan seperti seorang preman.

Padahal, Saddam itu baik. Ia selalu membuat Anara senang, dulu. Bahkan, setelah Anara putus dari Saddam dan jadian dengan cowok lain, bukannya segera lupa, malah semakin ingat.

Komunikasi mereka masih berjalan lancar setelah putus. Sampai hari di mana Anara mengunggah kebersamaan bersama Dara, Saddam terus menerus bertanya perihal Dara dan bertanya apakah dirinya cocok dengan Dara?

Sakit? Tentu saja. Tapi Anara pura-pura tersenyum saat itu. Bahkan, ketika Dara dan Saddam jadian, akting Anara yang bahagia ketika menjadi saksi mereka sepertinya patut diapresiasi.

Anara kira, Dara tidak akan menerima Saddam. Ternyata dia salah, Dara menerima Saddam dan mereka masih langgeng sampai sekarang.

•••

Dara membuka pintu rumahnya kala mendengar suara ketukkan. Gadis itu tersenyum kala mendapati Saddam yang saat ini tengah berdiri di depannya seraya mengangkat dua batang coklat. "Mau?"

"Ke sini anter ini doang? Kan bisa besok." Dara menerima coklat itu.

Saddam tersenyum, "Kan mau ketemu juga sama pacar gue." Saddam mencubit gemas kedua pipi milik Dara.

Kemudian, cubitannya berubah menjadi elusan. Cowok itu mencium kening Dara dengan lembut. "Papa ada?" Tanya Saddam.

"Papa sih gak ada. Ke luar kota tadi pagi, besok siang baru pulang. Kalau Mama ada."

"Zara?"

"Baru aja tidur. Tadi siang gue bawa ke toko soalnya."

Saddam mengangguk-anggukan kepalanya. Cowok itu meraih tangan Dara dan menggenggamnya. "Sini, deh. Aku mau ngobrol."

"Apaan sih aku-aku." Dara tertawa mendengar ucapan Saddam.

Saddam mendengkus kesal. "Aa mau ngobrol sama kamu." Saddam menatap kedua bola mata Dara dengan lekat.

Dara menoyor pipi Saddam. Gadis itu tersenyum, "Apa sih?"

"Ayo duduk dulu makannya." Saddam menarik Dara untuk duduk di kursi teras.

Setelah keduanya duduk, Saddam masih menggenggam sebelah tangan Dara dengan tangan besarnya. Jari telunjuknya mengelus punggung tangan kekasihnya itu. "Aa tanya umur kamu berapa?"

"20 tahun."

"Udah gede, ya? Pantesan makin cantik. Sini deh, Aa mau peluk." Saddam langsung menarik Dara. Cowok itu memeluk gadisnya dan menyandarkan kepalanya pada punda kekasihnya itu.

"Dam—"

"Panggil Aa. Mau dipanggil Aa, ih!" Saddam menggoyangkan pelukan mereka seraya merengek.

Dara menghela napasnya. "Yaudah iya, Aa. Kenapa, sih?"

"Minggu depan, temenin Aa ke Bandung ya?" Saddam menatap Dara.

Dara mengangguk. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling saat Saddam menciumi bahunya beberapa kali.

Tangan cowok itu perlahan naik ke rahang Dara dan mengusapnya lembut.

Dara yang merasa merinding, langsung meraih tangan Saddam dan memelintirnya hingga cowok itu berteriak. "Aaaaa! Sakit, sakit!"

Dara membelakkan matanya. Gadis itu sontak saja melepaskannya. Saddam menatap Dara kesal, lengannya terasa ngilu akibat perlakuan refleks Dara tadi.

"Gue lembut loh, Dar! Kok malah dikasarin, sih!" Kesal Saddam kembali pada mode gaya pacaran mereka.

Dara mengangkat sebelah alisnya. "Sakit? Kurang ajar sih lo."

"Lonya diem sih, gue kira diizinin." Saddam mencebikkan bibirnya sebal.

Dara menatap Saddam yang masih mengurusi lengannya. Gadis itu menghela napasnya. "Sakit banget?"

"Ya sakitlah, dipelintir sekaligus gitu. Gak denger apa tangan gue ada bunyi krek gitu?"

"Yaudah biasa aja gak usah nyolot." Dara beranjak. Gadis itu meraih tangan Saddam dan memeriksa keadaan lengannya.

Kemudian, gadis itu mendorong lengan Saddam kesal. "Pura-pura kan lo?"

Saddam tercengir lebar. "Hehe ...."

Saddam beranjak. Cowok itu langsung  memeluk Dara dari belakang dengan sangat erat. Tangan kanannya terulur mengusap perut rata gadis itu. "Dar, udara malem gini kok bikin gue panas dingin sendiri, ya?" Bisik Saddam pelan.

Bugh!

Dara menyikut perut cowok itu hingga ia kembali duduk dan menahan sakit di belakang sana.

Saddam menatap Dara. "I-ini beneran sakit, yang. Serius gak bohong." Saddam meringis seraya mengusap perutnya sendiri.

Dara memutar bola matanya malas. Namun, setelah satu menit berlalu, Saddam masih terlihat menahan sakit.

Dara akhirnya berjongkok di depan cowok itu. Tangannya terulur menekan perut Saddam menggunakan tangannya. "ANJ—"

"ADUH!" teriak Saddam tidak jadi mengumpat.

Dara mengerutkan alisnya. "Beneran sakit?"

"Iyalah! Gila, memar ini mah kayaknya."

Dara meraih tangan Saddam kemudian mengajanya masuk. Saat sampai ruang tamu, dia menyuruh Saddam duduk. "Macem-macem terus sih kerjaannya."

"Iyakan namanya juga kebiasaan, yang."

Dara memilih berjalan ke arah dapur untuk mengambil es batu dan juga kain. Ia melihat ke arah atas, sudah gelap, Mamanya dan Reza pasti sudah tidur.

Akhirnya, Dara kembali. Gadis itu menatap Saddam. Tangannya terulur menyingkap baju cowok itu.

Saddam menelan Salivanya susah payah kala tangan lentik gadis itu mendarat tepat di atas perut miliknya.

Saddam memejamkan matanya kuat kala Dara menempelkan kain yang terdapat es batu itu ke atas perutnya.

"Sakit?"

"Enak, Dar."

Dara menekannya dengan kesal. Saddam kembali berteriak. "Enakan! Maksud gue enakan pake es batu!"

Saddam memilih diam saat Dara dengan antengnya menekan-nekan es di atas perutnya itu.

Dara tidak terlihat salting atau apa saat melihat perutnya yang bisa dibilang bagus itu. Dia malah biasa-biasa saja.

Sebenernya, Dara ini dikasih makan apa, sih? Digombalin gak mempan, digodain ngehajar, lihat pemandangan indah gini juga malah terlihat tengah mengurusi Zara ganti popok.

"Bawahan dikit, Dar. Buka aja gak papa."

"Dam!" Dara menatap cowok itu kesal.

Saddam tertawa. Tangannya terulur mengacak puncak kepala Dara. "Bercanda, sayang."

Dara memilih menyimpan kain itu pada baskom. Kemudian, ia menurunkan baju yang Saddam kenakan agar kembali seperti semula.

Saddam menatap gadis itu lekat. "Dar,  lo enggak nyesel gitu pacaran sama gue?"

"Apa alesan yang bagus buat gue bilang kalau gue nyesel pacaran sama cowok yang sayang sama keluarganya kayak lo?"

Saddam meraih tangan Dara. Cowok itu mengelus punggung tangannya. "Gini loh, Dar. Dua tahun pacaran sama lo, gue tahu banget kalau Lo itu tipe orang yang bebas. Tapi kalau udah lewat batas, Lo pasti bakal marah. Sama kayak kelakuan gue tadi."

"Selama kita pacaran, kita gak pernah ngelakuin hal yang lebih dari sekedar Pelukan, cium kening, pipi. Gak pernah tuh gue sampe ke bibir karena keburu kena tabok. Gue ngerasa kalau gue itu gak pantes buat lo. Kadang gue aja jijik kalau nginget kelakuan gue, dulu. Gue udah pernah kissing sama mantan-mantan gue—"

"Itu mah dosa lo. Ngapain lapor ke gue?" Tanya Dara heran.

Saddam mendengkus kesal. "Iya juga sih."

"Tapi lo beneran gak papa?"

"Terus, lo mau gue gimana? Minta lo pergi dari hidup gue gara-gara itu, gitu?"

"Gak mau." Saddam mencebikkan bibirnya. Cowok itu langsung memeluk Dara.

Dara tertawa, tangannya terulur mengusap puncak kepala Saddam layaknya seorang Ibu yang tengah memeluk anaknya. "Yang penting udah tobat, Dam. Walupun masih agak melekat sih, ya." Dara terkekeh pelan.

"Gue sayang lo." Saddam menenggelamkan wajahnya pada bahu milik Dara.

Hal yang sering membuat Saddam takut menjadi alasan Dara meninggalkannya, adalah masa lalunya yang berpacaran begitu bebasnya. Walaupun tidak sampai ke hal layaknya suami isteri, tetap saja ia merasa bersalah.

Tapi, Dara selalu bilang, yang penting Saddam sudah tobat. Lagipula, dulu kan Saddam dan Dara belum bertemu, belum pacaran juga. Untuk apa mempermasalahkan masa lalu yang jelas-jelas tidak bisa diubah?

"Lo gak sayang sama si Aa Saddam, Dar?" Tanya Saddam menjauhkan tubuhnya tanpa melepaskan lingkaran tangannya di pinggang milik Dara.

"Mau banget ya si Aa di sayang sama gue?"

"Ya mau atuh ih. Kamu mah."

Dara tertawa. Ia memilih memeluk Saddam dan menjatuhkan keningnya pada bahu cowok itu.

Saddam melebarkan senyumnya. Dara jarang memeluknya begini, sekalinya meluk malah bikin panas dingin.

"Besok ada acara gak?" Tanya Dara. Satu tangannya melingkar pada bahu, satunya lagi menangkup pipi Saddam.

Saddam melirik ke arah Dara yang menatap ke arahnya tanpa menjauhkan kepalanya dari bahu Saddam.

Saddam mengecup kening gadis itu. "Enggak ada. Kenapa?"

"Mau ke Cimahi. Anter ya?"

"Pulangnya kita ke rumah lo. Mau ya? Kangen sama Selly." Dara menatap Saddam dengan tatapan memohon.

Jika ini bukan Saddam, Dara mana mau bertingkah manja begini.

Saddam diam beberapa saat. Alis Dara berkerut. Gadis itu menegakkan tubuhnya dan menatap Saddam heran. "Kenapa?"

"Belum mau ke sana lagi. Tapi kalau mau ke Cimahi ayo."

"Yaudah, gak jadi gue minta anter. Bisa kok berangkat sendiri. Pulang sana, udah malem." Dara beranjak. Namun, Saddam langsung menarik pergelangan tangan gadis itu hingga ia kembali duduk.

Saddam menatap Dara kesal. "Yaudah iya! Besok gue anter."

"Makasih, Aa!" Dara hendak memeluk Saddam lagi. Namun, sebuah gagang sapu tiba-tiba membatasi Saddam dan juga Dara.

Sepasang kekasih itu menoleh, mereka mendapati Reza yang sudah menatap tajam ke arah mereka. "Udah malem. Pulang lo." Reza menatap ke arah Saddam tajam.

"Lo kapan turun?"

"Gue kasih tahu pun, kalian gak akan Sadar karena terlalu asik pacaran. Udah malem, nih. Masuk kamar lo." Reza masih membatasi mereka dengan sapu.

Saddam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Niatnya mau mampir doang. Eh Adik lo malah ngajak khilaf, Za."

Dara melotot tak terima. Apa katanya? Mengapa dia jadi menuduh Dara?

"Besok lagi ketemunya. Kalian berisik tau gak, Zara udah tidur. Kasian kalau kebangun."

"Pulang sana." Reza mengusir Saddam.

Saddam beranjak. Cowok itu langsung memeluk Reza dan mencium pipi cowok itu. "DADAH ABANG IPAR!"

"SADDAM ANJ—" Reza mengusap pipi kanannya menggunakan tangan dengan kesal.

Dara yang menyaksikan itu tercengang. Matanya menatap ke arah Reza dan pintu yang sudah tertutup kembali. "Za, gue gak nyangka. Ternyata lo selingkuhannya Saddam."

"Anjir!"

Dara langsung berlari ke arah anak tangga untuk menghindari amukan Reza.

"Buset bau jigong si Saddam."

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Anara

Saddam

Dara

Reza

Spam next disini yuk!

400+ komentar, kita next besok.

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro