Bagian 10

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sore harinya, Saddam dan Dara memilih untuk kembali ke Jakarta. Mengingat, Dara harus ke kampus dan dirinya juga ada pekerjaan di toko. Belum lagi, besok Saddam ada undangan di salah satu acara stasiun televisi.

Mereka sudah berada di dalam perjalanan pulang. Sedaritadi, Saddam diam tidak seperti biasanya.

Entah perasaan Dara atau bagaimana, Saddam sengaja menghindar untuk berbicara dengan Dara.

Bahkan, saat ini Dara sibuk menatap ke arah jalanan. Dan Saddam fokus menyetir. Hanya keheningan yang menyelimuti keduanya.

"Gue gak mampir."

"Oke." Dara menjawab tanpa menatap ke arah Saddam.

Dara tidak nyaman dengan situasi begini. Entah apa salah Dara. Jika iya Saddam masih salah paham soal semalam, rasanya tidak mungkin. Jika Saddam sudah meminta maaf, dan mengalah itu artinya masalah mereka benar-benar selesai. Biasanya begitu.

Tapi ... Sebelum pulang, Dara tidak melakukan kesalahan apapun. Entah apa yang membuat Saddam tiba-tiba cuek begini.

"Ada mini market. Mau mampir dulu?" tanya Saddam.

"Enggak usah."

Saddam tak membalasnya lagi dan memilih terus melajukan mobilnya. Sampai akhirnya, mereka sampai di depan rumah Dara.

Dara menatap Saddam sebentar. Melihat Saddam yang tidak bereaksi apapun, Dara akhirnya memilih turun. "Hati-hati," kata Dara sebelum mobil Saddam melaju.

Saddam mengangguk. Mobil Saddam benar-benar melaju. Dia benar-benar tidak mampir seperti biasanya.

Dara menghela napas pelan. Gadis itu memilih masuk. Baru saja dirinya sampai di teras, ia mendapati Reza, Cakra, dan juga Langit yang tengah duduk dengan masing-masing secangkir kopi, dan juga cemilan.

"Saddam mana?" tanya Reza heran.

"Pulang. Capek kayaknya."

"Lah, biasanya juga capek enggak capek mampir ke rumah dulu. Lagi ribut lo?"

Cakra dan Langit sontak menatap ke arah Dara. Dara berdecak pelan. "Gak usah kesenengan kalian. Kalaupun gue sama Saddam ribut terus putus, gak akan gue balikan sama lo pada," ujar Dara sensi.

Gadis itu memilih masuk ke dalam rumah meninggalkan mereka.

"Mampus." Reza tertawa keras melihat raut wajah Kakak beradik yang nampak kaget itu.

Cakra berdecak. "Diem lo, Za. Gini-gini, gue first love-Nya, Dara."

"Iya, cinta pertama. Tapi nyakitin," sahut Langit seraya menyeruput kopinya.

"Lo juga. Ditemenin dari nol, eh enggak tahu diri. Bagian diputusin, dikejar-kejar, terus mundur lagi, terus lihat dia jadian sama pacarnya yang sekarang. Galaunya lama banget, sampai minggat ke Amsterdam," jawab Cakra.

Langit mendekus pelan. "Gue sama Dara kan udah maaf-maaf'an. Udah, deh."

"Lo yang mulai, ya!"

"Yaudah, slow. Gue kan cuman bercanda." Langit melotot ke arah Cakra.

Reza mendorong kening keduanya agar menjauh dengan dia yang duduk di tengah-tengah mereka. "Adik gue lagi tidur, sialan. Gak usah berisik."

Di dalam kamarnya, Dara menatap ponselnya yang tidak menunjukan pesan masuk dari Saddam sama sekali.

Namun, ketika ia membuka Instagram, ia melihat foto Dara diunggah oleh Saddam dengan caption, Bingung. Gak tau kenapa, bingung aja. Dan itu baru diunggah beberapa detik yang lalu.

"Ini orang kenapa, sih? Gak jelas banget." Dara memilih melempar ponselnya ke arah samping. Kemudian, ia membaringkan dirinya.

•••

Saddam sudah sampai di Apartementnya. Cowok itu saat ini tengah rebahan di karpet depan televisi yang kini menyala.

Namun, dirinya malah asik dengan ponsel miliknya sendiri. Ia menatap foto Dara yang baru saja ia unggah.

Iya, bingung. Saddam juga bingung dengan dirinya sendiri. Cowok itu mencebikkan bibirnya. "Dara putusin gue gak ya gue cuekin kayak tadi? Semoga enggak, deh."

"Maaf ya, sayang. Otak gue yang kapasitasnya minim ini lagi mencoba buat berpikir."

Saddam memejamkan matanya dan memilih mematikan ponselnya. Sebenarnya, di tidak niat mencueki Dara seperti tadi.

Soal foto Dara yang Saddam unggah juga, hanya agar Dara berpikir jika Saddam tidak marah atau apapun. Yang jelas, biar dia tidak diputusi tiba-tiba.

"Malu banget gue sama lo, Dar. Malu, asli, dah." Saddam mengatakan itu seraya menatap ke layar televisi.

"Buset, ini acara apaan. Gak tahu awalannya. Matiin aja, dah." Saddam meraih remote dan memilih mematikan televisi.

Setelah itu, ia berguling di atas karpet. "Ibu ... Pengen masuk ke dalam kandungan lagi aja deh gue." Saddam merengek masih menggulingkan tubuhnya di atas karpet.

Setelahnya, ia berhenti dan berbaring terlentang menatap langit-langit. "Baru juga ketemu tadi. Kok udah kangen aja, ya? Kudu nikah ini, mah."

"Di saat keluarga Dara nerima gue dengan baik. Bella adik gue malah sebaliknya." Saddam menghela napasnya.

Iya, Saddam malu pada Dara. Ia mendengar ucapan Bella yang menuduh Dara mempengaruhi Selly dan juga Saddam. Namun, yang Dara lakukan hanya diam seraya menatap Bella hingga gadis itu malu sendiri dan masuk ke dalam kamar.

Saddam tak habis pikir dengan Adiknya yang satu itu. Sudah manja, maunya menang sendiri, tidak mau mengaku salah, terlihat tidak suka pada Dara pula. Padahal, selama ini Dara baik pada Bella.

Berbeda sekali ketika Saddam masih dengan Anara. Bella malah paling dekat dengan Anara di banding Selly.

Mungkin, karena Anara modis dan Bella juga begitu. Jadi mereka terlihat nyaman. Sedangkan Selly, dia tidak suka bergaya berlebihan, dia sederhana, sama seperti Dara.

"Ngapain gue bandingin Anara sama Dara?! Beda ya, anjir! Beda!" Saddam berdiri kemudian melompat-lompat di atas sofa dan melempar bantal dengan kesal.

"Fiks ini mah, gue sama Dara harus cepetan nikah." Saddam menyusupkan kepalanya pada sofa dengan posisi menungging dengan wajah yang ketara jelas lelah.

•••

Esoknya di siang hari, Dara baru saja pulang dari kampus dan langsung menuju ke toko dengan motor metiknya.

Sampai motornya terparkir, ia mengerutkan alis melihat motor yang nampak begitu tak asing baginya.

Gadis itu melepas helm, kemudian turun. Ketika ia melangkah masuk ke toko, mata Dara berbinar senang melihat dua orang sahabatnya tengah berjoget mengikuti irama musik yang memenuhi toko.

"Danuuu!" Dara langsung memeluk cowok itu.

Danu hampir saja terjatuh, untung saja ia bisa menjaga keseimbangan badannya.

"E-Eh, jatuh, gak jadi deh." Danu tertawa dan langsung membalas pelukan Dara.

Danu adalah sahabat Dara saat semasa sekolah. Ia menempuh pendidikan di Paris. Sehingga, mereka sangat jarang bertemu.

"Lo kapan ke sini?" tanya Dara menatap cowok itu.

"Semalem. Kebetulan Bokap gue ada kerjaan di sini, yaudah gue ikut."

"Gue ganteng, gak?" Danu mengusap rambutnya yang agak sedikit gondrong.

"Lo, Tor. Kok bisa ke sini lagi? Bukannya udah balik?" tanya Dara melirik ke arah Tora yang berdiri di belakang Danu.

Tora mengangguk. "Noh, si Icih maksa gue ke sini. Katanya kalau gue enggak Dateng, gue di coret dari kartu keluarga. Padahal kan gue bukan keluarga dia, ya. Bisa-bisanya gue nurut."

"Btw, itu kalian mau nempel terus? Si Saddam dateng, mampus lo, Dar," sambung Tora melihat Dara dan Danu yang masih berpelukan.

Danu mengeratkan pelukannya. Cowok itu menyatukan pipinya dengan pipi Dara. "Gue hajar si Saddam kalau berani bikin Adik gue nangis," kata Danu.

"Idih, Adik." Dara tertawa. Gadis itu memilih mendorong Danu dan melepas pelukan mereka.

"Eh btw si Langit juga lagi di sini, lho, Nu," sahut Pandu.

"Panggil, dong. Panggil," ujar Danu.

Pandu memilih menghubungi Langit dan memberitahu cowok itu jika Danu ada di Indonesia. Setelah selesai, ia menyimpan ponselnya dan menatap ke arah sahabat-sahabatnya. "Toko tutup aja, Dar. Kita full time hari ini, kapan lagi kumpul? Nanti kita kirim ke Melly, biar dia iri," ujar Pandu.

Satu lagi Melly, dia termasuk sahabat Dara juga. Kuliah di Jogja.

"Yuk lah, gas. Ke rumah lo, gue kangen sama Emak." Danu meraih jaketnya. Saat ia hendak memakainya, mata Dara memicing melihat lengan Danu yang kini terdapat coretan tato.

"Heh." Dara menarik tangan Danu membuat cowok itu tidak jadi mengenakan jaket.

"Sejak kapan, nih? Bukannya sama jarum suntik aja takut, lo?" Dara menatap lengan Danu yang kini tengah ia pegang.

Pandu tertawa. "Iya, inget banget gue waktu SMP, dia ngumpet di ketek Ibu kantin gara-gara takut disuntik!"

"Lah, iya. Terus di kejar-kejar sama wali kelas, dia naik ke atas pohon," sahut Tora.

"Preman kelas takut jarum suntik. Jatuh banget martabatnya, anjir." Dara ikut menimpali.

Danu berdecak kesal. "Puas lo pada, hah? Puas?!"

"Tau gitu gue gak balik, deh." Danu menarik tangannya dari Dara dan memilih mengenakan jaketnya.

"Baperan." Pandu mengatakan itu seraya berjalan ke arah luar untuk memasukan baju ke dalam toko sebelum di tutup.

Saat Dara akan membantu, ponselnya berdering. Gadis itu meraihnya di dalam saku celana. Ia mendapati pesan masuk dari Saddam.

Saddam : Bisa ketemu nggak? Dipikir-pikir cuekin lo, kok malah gue yang galau, ya. Pake pelet kan, lo?

Dara : Gak bisa, gue ada urusan hari ini. Penting banget, gak bisa di ganggu, bye.

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Saddam

Danu

Pandu

Tora

Spam komen di sini dong

700 komentar next besok yuuu

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro