Bagian 21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saddam tengkurap dengan kepalanya yang menengok ke samping. Ditatapnya wajah Dara yang saat ini tengah tertidur di sebelahnya terhalang oleh bantal guling.

Cowok itu tersenyum tipis. Akhir-akhir ini, Dara lebih sering menangis dibanding memasang muka judesnya. Jujur, hati Saddam benar-benar sakit karena menjadi penyebab gadisnya menangis.

Ia menghela napasnya. Kemudian, dia memilih memiringkan tubuhnya menatap wajah Dara sepenuhnya.

Tangan besarnya terulur mengusap rambut gadis itu dan merapikan rambutnya. "Cantik gini, kok. Kenapa suka banget bandingin diri lo sama orang lain sih, Dar?" tanya Saddam pelan karena dirinya takut Dara terbangun.

Ia meraih guling dan melemparnya asal. Kemudian, ia memilih mendekat dan memeluk Dara dan menyembunyikan wajahnya pada bahu gadis itu. Tangannya kini memainkan ujung rambut Dara. "Dar, gue ... Bisa ngerasain nikah sama lo enggak, ya? Dapet surprise dari lo kalau lo hamil, terus lo ngidam, setiap gue ada waktu, gue usapin perut lo, manjain lo, nemenin lo lahiran. Hm ... Apa lagi, ya?"

"Oh, anak kita lahir. Terus, dia manja banget sama gue. Terus lo cemburu pengen gue manja juga."

"Setiap berangkat kerja, lo sama anak kita nemenin gue sampai gue masuk mobil. Terus pas kerja rasanya gue pengen cepet-cepet pulang karena pengen ketemu sama Anak dan Isteri gue. Terus ... Setiap pulang kerja, gue disambut sama kalian."

Saddam menghela napasnya. "Sesederhana itu, ya, Dar. Tapi kenapa susah banget?"

Dara sudah terbangun. Tapi dia memilih diam mendengarkan Saddam berbicara. Dia juga ingin begitu, namun melawan orang tua takutnya malah menjadi malapetaka untuk hubungannya dengan Saddam nantinya. Dara tidak mau itu terjadi.

"Lo tahu enggak, Dar? Sebenernya, luka lama gue bener-bener kebuka lagi pas nyokap lo anggap gue cowok preman."

"Gue keinget sama hubungan gue dan Anara. Dulu, Mama sama Papanya Anara juga enggak percaya sama gue. Mereka minta gue buat putus sama Anara. Anara enggak mau, tapi gue milih buat pergi. Gue bilang, gue enggak mau dia lawan orang tuanya demi gue."

Dara masih diam. Dia takut jika dia menjawab, Saddam berhenti bercerita. "Sekarang ... Nyokap lo, Dar. Gue bingung, gue pengen banget bertahan sama lo. Enggak mau lo jauh-jauh dari gue. Tapi, gue egois enggak sih? Kalau kita bertahan, bukannya sama aja lo lawan Mama lo?"

"Jujur, Dar. Hati gue sakit banget. Gue enggak tahu harus ke mana gue jalan. Gue juga enggak tahu cara gue buat ketemu nyokap lo dan bilang kalau gue beneran serius sama lo."

"Serba salah banget rasanya. Mau maju, enggak ada restu. Mau mundur, enggak bisa jauh."

"Kalau ini bukan lo, pengen banget rasanya gue nyerah terus mundur, Dar."

Dara memejamkan matanya kuat. Gadis itu memilih bergerak membelakangi Saddam dan bertingkah seolah dirinya masih tertidur.

Saddam tentunya kaget karena mengira Dara terbangun. Untuk memastikan, ia duduk dan menatap wajah Dara yang ternyata masih tertidur.

Ia menghela napas lega. Kemudian, memilih membaringkan tubuhnya kembali dan memeluk Dara dari belakang. "Gue kira lo bangun, Dar. Berabe sih kalau lo bangun terus denger gue ngomong. Nanti lo nangis lagi gara-gara omongan gue."

"Gue bangun kok, Dam."

Saddam sontak kembali duduk dan menatap Dara. Jantungnya berdetak begitu cepat melihat Dara yang ternyata sudah membuka matanya.

"Dar, omongan gue—"

"Kalau misalkan lo mau mundur juga enggak papa." Dara berkata begitu dengan pandangan menatap lurus ke arah tembok.

Jantung Saddam berdetak bertambah cepat. "Sayang ...."

"Kalau emang udah enggak bisa jangan dipaksa, Dam."

"Dara, apa, sih?"

"Lo yang bilang kalau ini bukan gue, lo pengen mundur kan? Berarti Lo terpaksa, Dam. Lo bisa mundur kalau lo mau." Dara ikut duduk dan menatap wajah Saddam.

Saddam menggeleng kuat. Tangannya hendak mengusap puncak kepala Dara. Namun, Dara menepisnya. "Gue mau pulang."

"Dara, kita belum selesai."

"Udah. Kita udah selesai."

Saddam menatap Dara kaget. Wajahnya terlihat menegang mendengar penuturan Dara. "P-pembahasan kita kan yang selesai?" tanya Saddam takut.

"Hubungan kita."

Saddam langsung mematung. Cowok itu menggeleng kuat, memberitahu bahwa dirinya tak terima dengan itu. "Dar, gue enggak mau. Katanya kita mau berjuang sama-sama? Kita mau mau nikah, kan? Lo enggak mau gue mundur, kan? Bilang kalau ini bercanda."

"Bercanda apanya sih, Dam? Gue bertahan sama lo itu cuman nyakitin lo doang. Pertama, luka lama lo kebuka lagi. Kedua, lo bimbang. Gue yakin setiap hari lo pasti diikuti rasa cemas lo. Ketiga, kedepannya enggak akan bener kalau lo sama gue masih sama-sama takut, Dam."

"Ya makannya kita jangan takut. Gue—"

"Lo juga pengen mundur kan? Cuman Lo enggak tega karena beberapa hari ini gue udah sering banget nangis di depan lo." Dara mengepalkan tangannya kuat.

Saddam menggeleng. Dia memang ingin mundur, tapi jika gadis itu adalah Dara, dia tidak mau. Jujur, Saddam memang bimbang dengan hubungan ini. Setiap hari ia dihantui rasa takut dan juga cemas.

Terlebih lagi, dia pernah berada di posisi ini.

Apa yang Saddam rasakan sebenarnya sama seperti Dara. Dia tidak ingin jika suatu hari nanti orang yang membuat Dara bahagia bukan lagi dirinya. "Gue enggak mau putus, Dar." Saddam berkata dengan nada pelan dan terdengar lemah.

Dara dunianya. Dara yang paling mengerti dirinya. Bersama Dara, ia merasa memiliki segalanya. Bahkan, ia juga seperti kembali memiliki sosok seorang ayah lewat Ragil.

"Dara ... Gue enggak mau, please. Kita mau nikah, kan?" Saddam menatap Dara memohon. Nada suaranya terdengar bergetar.

"Dam ...."

"Please, gue gak mau. Gak bisa." Saddam menggeleng kuat. Cowok itu meraih kedua tangan Dara dan menggenggamnya erat.

Matanya menatap lekat kedua mata gadis itu. "Lo juga enggak mau kan? Kemarin lo bilang, Lo enggak mau gue pergi. G-gue enggak pergi kok, Dar. G-gue nggak setuju, berarti gue enggak pergi. Lo seneng kan? Senyum dong." Saddam tersenyum dengan suara yang sangat jelas menahan tangis.

Melihat Dara yang hanya diam, Saddam langsung mengacak rambutnya kesal. "Dar, ngomong, dong!"

Saddam langsung memeluk Dara. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu gadis itu dan memeluknya sangat erat. "Dar ...."

"Maaf, Dam." Dara mengucapkannya dengan nada pelan.

"Maaf, apa? Maaf kalau omongan lo cuman bercanda, kan? Iya, iya, Dar. Gue maafin. Kita enggak jadi putus kan?" Saddam menatap lekat kedua mata Dara.

Dara menunduk. Ia mengangguk pelan.

Saddam memejamkan matanya merasa lega. Akhirnya, ia kembali memeluk Dara. "Jangan bilang kayak gitu lagi ... Maaf kalau omongan gue tadi nyakitin lo."

"Maaf juga asal ambil keputusan. Gue takut, Dam. Gue takut lo beneran mundur. Gue mikirnya, daripada lo yang mundur, mendingan gue yang mundur."

"Tapi gue enggak setuju lo mundur." Mata Saddam terpejam merasakan kehangatan di tubuh Dara yang saat ini tengah ia peluk.

Saddam menjauhkan kepalanya tanpa melepas lingkaran tangannya di bahu Dara. Dahinya nya kini menempel pada dahi milik Dara. "Jangan minta putus lagi ya, sayang?"

Mata Dara terpejam ketika Saddam memiringkan wajahnya dan mendekat.

Cup!

Saddam mendaratkan bibirnya pada bibir milik Dara. Terdiam beberapa detik sembari menunggu reaksi Dara.

Saddam membuka matanya tanpa menjauhkan bibirnya. Ia melihat mata milik Dara terpejam. Akhirnya, Saddam ikut memejamkan matanya dan mulai melumat bibir itu dengan lembut.

Ini pertama kalinya. Selama berhubungan, Dara tidak pernah mengizinkan Saddam melakukan ini.

Diusapnya lengan hingga punggung Dara dengan lembut. Saddam ingin membuat gadisnya nyaman dengan sentuhan pertama ini.

"I love you, gue enggak akan pernah pergi, Dara. Enggak akan," ucap Saddam pelan di sela-sela ciuman mereka.

Saddam membawa tangan Dara agar melingkar di lehernya. Setelah itu, ia melepas pangutan mereka tanpa menjauhkan dahinya. Ditatapnya wajah Dara yang memerah, Saddam tersenyum lembut.

Tangannya terulur merapikan rambut Dara dengan pelan. Kemudian, ia mendaratkan beberapa kecupan pada dahi, dan kedua pipi Dara.

Tak lama setelahnya, Saddam turun mencium leher Dara dengan lembut. Dara memejamkan matanya kuat, ia tersentak kaget. Bahkan, tangannya kini meremas rambut tebal milik Saddam. "Dam .... " Napas Dara memburu.

Saddam tidak menghiraukannya dan malah membuat beberapa tanda di sana. Sampai saat di mana Saddam hendak mendorong Dara agar terbaring, Dara dengan cepat mendorong Saddam. "Udah ...."

Saddam tersadar. Dia langsung menatap leher Dara yang kini terdapat beberapa tanda merah. "Dar, g-gue kelepasan. Astaga!" Saddam menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Maaf, jangan marah! Eh, kalau mau pukul gue enggak papa, deh. Serius, tadi kebawa suasana. Astaga, Ibu maafin Aa udah kelepasan sama anak orang!"

Tangan Dara terulur mengusap bahu Saddam pelan. "Dam—"

"Iya, Dar! Pukul aja!"

"G-gue mau pulang," ujar Dara pelan.

Wajahnya benar-benar terasa panas sekarang. Dia malu! Bisa-bisanya ia terbawa suasana begitu. Mau marah pada Saddam pun, dirinya juga salah di sini.

"D-dar—"

Bruk!

"Aduh!!"

Saddam dan Dara menoleh. Mereka mengelakkan matanya mendapati Pandu dan juga Selly yang kini sudah terjatuh di ambang pintu.

"Kalian ngapain?!" tanya Saddam.

"A-anu, A. Selly diajak ngintip sama A Pandu. T-tapi pas adegan itu enggak lihat, kok. Soalnya mata Selly ditutup sama tangannya A Pandu. Katanya enggak boleh, belum cukup umur." Selly beranjak dan langsung menjelaskannya.

"Sel! Kok mulut lo ember banget, sih?!"

"Ya kan Selly bener A. Tadi yang ngajak Selly ngintip Aa. Padahal Selly udah nolak."

"Tapi lo mau!"

"Kan penasaran, Aa sih ngajak-ngajak!"

Saddam menoleh ke arah Dara yang kini tengah menunduk. Cowok itu langsung menarik Dara ke dalam pelukannya dan menyembunyikan wajah gadis itu di dadanya. "Malu, hm?" bisik Saddam.

Dara mencubit perut Saddam kesal. Namun, setelahnya dia melingkarkan lengannya di sana dengan wajah yang ia sembunyikan di dada bidang milik kekasihnya itu.

"Nanti kalau mau lagi boleh enggak?" bisik Saddam lagi.

"Gue bilangin Reza lo, Dam!"

"Emang berani bilang kejadian tadi ke Reza?" tanya Saddam.

Dara diam. Iya juga, mengapa dia mendadak jadi orang bego begini?

TBC

Kesan setelah baca part ini?

Ada yang ingin disampaikan untuk Dara

Saddam

Selly

Pandu

Spam next di sini, dong!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro