DP 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kau tahu tidak, jika ada laki-laki yang baru tinggal di rumah tua sebelah gereja?"  tanya Karen pada seorang gadis yang tengah sibuk menata bunga segar di dalam sebuah vas kecil.

"Aku tidak tahu," jawab gadis itu sambil tersenyum manis.

Tangan mungilnya dengan cekatan merangkai satu per satu bunga mawar putih yang akan dikirim ke sebuah pemberkatan pernikahan.

"Ah, kau payah sekali. Padahal beritanya sudah menyebar di mana-mana. Dan kabarnya lagi, laki-laki itu seorang pelukis. Rumah tua itu juga akan dijadikan galeri."

"Benarkah?" Gadis itu berhenti sejenak, tersenyum lalu melanjutkan aktivitasnya.

"Dan kabarnya lagi, dia sangat tampan."

Gadis yang sedari tadi sibuk menata bunga hanya bisa tersenyum mendengar celotehan sahabatnya.

Tinggal di kota kecil memang membuat sebuah berita cepat sekali tersebar. Apalagi jika ada warga baru. Maklum di Nasvhile yang terkenal karena karya seninya, memang sering dijadikan tempat singgah bagi seniman. Membuat, memamerkan bahkan menjual karya-karya mereka. Jadi, tidak heran jika banyak seniman yang hijrah di kota yang penuh dengan aroma seni ini. Namun, seperti hukum alam, ada yang datang ada pula yang pergi.

"Aw!"

"Angel, kau tidak apa-apa?" tanya Karen. Angel adalah gadis yang sedari tadi sibuk dengan bunganya.

Angel tersenyum. "Aku tidak apa-apa hanya tertusuk duri."

Karen bangkit dari duduknya dan menghampiri Angel.

"Apanya yang tidak apa-apa? Lihat, tanganmu penuh dengan luka tusukan duri," omel Karen, tapi gadis itu tetap saja berperilaku baik dengan mengambil kotak obat yang selalu tersedia di laci.

"Maaf. Tapi, aku 'kan tidak bisa melihat, bagaimana aku tahu tanganku sendiri."

Karen menghela napas. Mengambil obat lalu mengusapkannya pada jari Angel.

"Aku tahu kau tidak bisa melihat, tapi bisakah kau istirahat sebentar saja. Biar aku yang selesaikan."

"Tidak bisa," tolak Angel setelah tangannya selesai diobati. "Ini akan segera selesai."

Karen menghela napas lalu menggeleng. Angel memang keras kepala, walaupun tidak bisa melihat, tapi dia bisa membuat rangkaian bunga yang cantik. Bahkan jika ada acara pernikahan, mereka selalu menginginkan rangkaian bunga yang Angel buat.

Tuhan memang menciptakan Angel tidak sempurna, tapi Tuhan juga memberikan kelebihan. Angel mungkin tidak bisa melihat dengan mata, tapi dia bisa merasakan apa yang tidak bisa dia lihat dengan sentuhan. Dan melalui sentuhan, Angel bisa melihat dari hatinya.

Satu lagi keajaiban yang diberikan Tuhan. Dengan jari-jarinya yang kecil, Angel bisa merangkai bunga yang sangat cantik. Misalnya saat ini, bunga mawar dengan warna putih sudah terangkai dengan cantik di sebuah vas keramik dengan warna senada.

Kadang Karen kasihan dan iba melihat nasib sahabatnya itu, tapi kegigihan dan semangat pantang menyerah yang dimiliki oleh Angel membuatnya bangga.

"Sudah selesai. Kau bisa mengirimnya sekarang," ucap Angel sambil menyerahkan vas tersebut pada Karen.

"Apa kau baik-baik saja, aku tinggal sendiri?" tanya Karen entah kenapa merasa khawatir padahal sudah sering kali dia mengantar pesanan.

"Kau ini kenapa? Aku bukan anak kecil lagi," ujar Angel ceria.

"Baiklah Nona Besar, aku pergi dulu. Jika ada apa-apa teriak saja."

Angel tertawa mendengar kalimat Karen. Sahabatnya itu selalu saja seperti itu. Mengkhawatirkan dirinya, padahal dia tidak apa-apa. Setelah bunyi gemericik yang berasal dari aksesoris yang digantung di pintu, menandakan jika Karen sudah pergi, Angel pun bangkit dari duduknya.

Angel berjalan di antara bunga-bunga segar di vas besar yang diletakkan di lantai. Tubuhnya membungkuk agar indra penciumannya dapat dengan jelas menghidu aroma bunga yang dia inginkan. Ya,  dia hanya perlu menghirup aroma setiap bunga untuk mengetahui jenis bunga apa itu. Bakat ini tidak ada dari lahir, tapi diasahnya dari mulai umur delapan tahun. Biasanya orang yang tidak melihat cenderung untuk meraba, itu juga yang Angel lakukan, tapi khusus untuk bunga, dia hanya mencium aromanya saja. Jika disentuh atau diraba, Angel takut akan merusak keindahan bunga tersebut. Apalagi kalau harus meraba bagian kelopak, dia takut menggores kelopak bunga tersebut.

Setelah menemukan bunga yang dia cari. Angel segera menarik bunga dari vasnya. Setangkai bunga lily dengan kelopak mekar berwarna merah muda. Kemudian tangannya menarik lagi hingga terkumpul lima tangkai bunga lily. Dengan cekatan dia membawa bunga tersebut di meja kerjanya. Mengambil pita yang dia sudah hafal betul letaknya. Mengikat bunga tersebut dan memasukkan tangkainya ke sebuah kertas khusus untuk membungkus bunga.
Begitulah kira-kira aktivitasnya setiap hari. Menjaga, merangkai sekaligus menjadi pemilik toko bunga warisan ibunya.

Angel yang sudah tahu seluk beluk tokonya tidak perlu takut kalau akan menabrak atau tersandung sesuatu.

****

"Angel ... Angel."

Angel yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut mendengar suara Karen yang memanggilnya.

"Ada apa? Kenapa kau teriak-teriak seperti itu?" tanya Angel penasaran sambil berjalan dengan tangan meraba dinding.

"Kau tahu tidak, aku baru saja bertemu siapa?"  tanya Karen dengan wajah berbinar.

Angel yang tidak tahu hanya menggeleng bingung.

"Pelukis yang aku ceritakan tadi."

Karen baru saja bertemu dengan laki-laki yang berprofesi sebagai pelukis saat melewati gereja. Sebenarnya, dia hanya melihat laki-laki  itu sekilas saja.

Angel menarik napas panjang. Dia mengira terjadi sesuatu atau Karen mendapatkan masalah, tapi ternyata salah.

"Kenapa? Sepertinya kau tidak suka aku bertemu dengan pelukis itu?" Wajah Karen yang tadinya ceria berubah menjadi masam ketika melihat reaksi Angel.

"Aku pikir terjadi sesuatu padamu," balas Angel lelah.

Karen malah tertawa sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.  Dia kemudian menarik tangan Angel dan mendudukkan sahabatnya di kursi.

"Kau tahu, dia sangat tampan, tapi sayang aku sudah mempunyai kekasih. Kalau tidak, pasti aku sudah mendekatinya."

Angel menepuk tangan Karen. "Kau ini ada-ada saja."

"Oh ya, bukannya kau ingin sekali dilukis. Bagaimana jika kau minta Si pelukis tampan itu saja?"

Angel terdiam. Memang dari dulu dia menginginkan dirinya dilukis, tapi  belum menemukan seniman yang cocok.

"Kenapa mesti dia?"

Karen tidak menjawab secara langsung, tapi malah membisikkan sesuatu di telinga Angel.

"Apa?" Angel terkejut mendengar apa yang baru saja dibisikkan oleh Karen.

Sedangkan Karen hanya bisa tersenyum jahil walaupun Angel tidak bisa melihat senyumnya itu.

"Kau mau tidak?" tanya Karen menggoda.

Angel buru-buru menggeleng. Dia tidak yakin bisa dilukis oleh laki-laki itu.

"Yah, padahal ini kesempatan emas. Belum tentu ada pelukis lain yang seperti dia. Rata-rata pelukis di sini hanya melukis benda mati, alam dan bunga. Yang seperti itu mungkin hanya dia."

Perkataan Karen entah kenapa membuat Angel geli. Dia memang ingin dilukis, tapi sepertinya Angel harus mengurungkan niatnya untuk sementara waktu.

"Kalau aku masih sendiri, aku mau dilukis seperti itu he he he."

Sontak Angel memukul tangan Karen. "Kau ini jangan macam-macam."

"Aku 'kan cuma bilang seandainya. Lagi pula aku tidak terlalu suka dilukis, hanya saja kalau pelukisnya setampan itu, aku mau."

Angel hanya tersenyum menanggapi celotehan sahabatnya. Mereka sudah berteman sejak kecil jadi Angel tahu betul sikap dan karakter Karen yang suka main-main menurutnya.

"Jika kau sampai dilukis olehnya, Hendrik pasti akan membunuhnya."

Ucapan Angel langsung membuat Karen merinding. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana murkanya Hendrik–sang kekasih jika mengetahui hal itu.

"Kau tahu jika aku tidak akan pernah melakukannya. Oke?  Jadi kita sudahi saja obrolan kita yang tidak masuk akal ini. Jika Hendrik sampai mendengar, matilah aku." Karen menepuk keningnya sendiri.

Angel tertawa mendengar kalimat sahabatnya. Karen selalu saja bisa membuat dunianya terlihat indah dan ceria selalu.

"Oke, aku ingin membeli makan siang. Kau ingin apa?"  tanya Karen bangkit sambil mencangklong tas slempangnya.

"Aku pasta saja."

"Baiklah. Aku pergi dulu. Ingat kalau ada apa-apa teriak saja. Oke?"

Angel mengajukan jari telunjuk dan jempolnya sebagai isyarat oke untuk Karen.

"Tapi, kapan-kapan kita ke galeri Dark Painting, walaupun tidak ingin dilukis, tapi melihat hasil karya pelukisnya juga tidak apa-apa."

Karen pergi dari toko bunga setelah mengucapkan kalimat tersebut. Angel termenung sendiri sambil memikirkan kalimat Karen. Bukannya dia tidak mau, tapi bagaimana dia bisa melihat karya si pelukis sedangkan dirinya sendiri buta.

Namun, ada satu hal yang sedikit menarik perhatiannya dan membuatnya penasaran.

Dark Painting.

Seperti apakah tempat itu?

*****

Hello Reader

Ini adalah cerita kesekian saya yang berlatar luar negeri. Jadi, silakan dibaca.

WARNING!!

Cerita ini akan di update berkala. Tapi, saya akan selesaikan dulu MUTIARA.

Happy Reading

Vea Aprilia
Jumat, 04 October 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro