DP 4

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Angel," panggil Karen setelah mereka membuka toko di pagi hari sambil menata bunga-bunga segar yang baru saja dikirim ke dalam vas besar.

"Ya," jawab Angel.

"Setelah makan siang, kita tutup saja tokonya."

"Kenapa?" tanya Angel dengan wajah bingung.

"Kau tahu galeri DARK PAINTING  yang pernah kuceritakan tempo hari?"

Angel berhenti dari aktivitasnya menata bunga. Dia mengingat kembali tentang Galey Dark Painting yang dikatakan oleh Karen. "Oh, yang dekat dengan gereja."

Angel setiap Jumat dan Minggu rajin ke gereja, jadi mengetahui tempat tersebut walaupun tidak bisa melihat. Karena sudah lama juga, Angel tinggal di kota ini jadi dia mengenal setiap tempat yang dekat dengan rumahnya.

"Ya, yang pelukisnya seperti Jack," goda Karen sambil tersenyum jahil walaupun Angel tidak bisa melihatnya.

Angel tersenyum. Dia tahu kalau Karen sedang menggodanya dengan hanya mendengar nada suara sabahatnya itu. "Lalu, apa hubungannya dengan menutup toko?" tanya Angel yang masih bingung.

Karen menarik napas panjang lalu berdiri dan berbalik ke arah Angel. "Hari ini pembukaan galeri itu, jadi kita wajib untuk datang."

"Apa kita diundang?" tanya Angel lagi.

Karen menarik napas lesu. "Pelukisnya tidak menyebar undangan, sepertinya dia terlalu sombong sehingga tidak memerlukan kunjungan warga kota untuk mengenalkan hasil karyanya."

"Kalau begitu kita juga tidak harus datang, bukan?"

Karen berjalan ke arah Angel dan memegang pundaknya. "Dengar, Nona Angela dos Santos, walaupun pelukis itu tidak memberikan undangan, tapi kita tetap harus datang. Aku sangat penasaran dengan lukisannya. Apakah memang benar-benar telanjang?"

"Kalau begitu, kau saja yang pergi."

Karen mendesah. "Kau juga harus ikut."

"Jangan bodoh," balas Angel.

"Kenapa?" tanya Karen tidak mengerti.

"Aku buta, apa kau lupa?"

"Lalu? Ada masalah?"

"Tentu masalah. Orang pasti menganggap aku itu aneh. Orang buta mana yang datang ke galery lukisan padahal dia jelas-jelas tidak bisa melihat. Dan mereka pasti menertawakanku bahkan mungkin mengolokku."

Karen memegang kedua pundak Angel dengan kuat. "Dengar, Nona Angela dos Santos, selama ada aku, tidak ada yang boleh menertawakanmu atau mengolokmu, mengerti?"

"Tapi, kau akan malu kalau mengajakku," ujar Angel tetap menolak.

"Lalu, aku harus mengajak siapa?"

"Hendrik," jawab Angel kemudian tersenyum.

"Apa kau akan membunuhku?" 

Angel tertawa. Dia, Karen dan Hendrik sudah mengenal lama. Dan Angel sedikit tahu tentang sifat Hendrik, laki-laki kaku yang gila kerja. Pencemburu sekaligus sangat posessif.

"Sudahlah, pergilah denganku, oke," pinta Karen dengan nada mengiba. "Aku, mohon, ya?"

Angel mendesah. Dia ingin menolak, tapi tidak tega juga mendengar rengekan Karen.

"Baiklah."

"Aku tahu, kau pasti akan setuju," seru Karen sambil memeluk tubuh Angel.

Angel tersenyum. Memang sangat sulit untuk menolak Karen. Selain Karen adalah sahabat satu-satunya, gadis itu juga sangat baik padanya dan selalu ada untuknya.

****

Tepat setelah makan siang, Angel dan Karen menutup toko bunganya. Mereka bergegas berjalan ke arah gereja yang berada di ujung jalan. Karen tidak perlu menuntun Angel karena sahabatnya itu sudah menggunakan tongkat lipat yang selalu dibawanya ke mana-mana di dalam tas. Lagipula Angel sering datang ke gereja, jadi dia hafal betul jalan ke sana. Hanya perlu berjalan di trotoar untuk sampai di sana.

"Sepertinya, ada banyak orang yang datang," ucap Karen setelah melihat dari luar kaca. Mereka telah tiba di depan galeri.

"Apa kita batalkan saja untuk masuk?" tanya Angel ragu.

Karen mendesah. "Apa kau gila?"

Karen dengan cepat meraih tangan Angel dan menuntunnya untuk masuk. Karen tertegun sejenak setelah berada di dalam. Matanya seolah tidak berkedip setelah melihat sekeliling.

"Ada apa?" tanya Angel penasaran.

"Waw, lukisannya ...."

"Kenapa dengan lukisannya?" tanya Angel lagi.

Karen menengok ke kiri dan kanan sebelum mendekat tepat di samping telinga Angel lalu berbisik, "Lukisannya, semua wanita telanjang."

Reflek Angel menutup mulutnya. "Ayo, kita kembali saja," ajak Angel sambil menarik tangan Karen.

"Apa kau sudah gila? Ayo kita lihat dari dekat."

Karen menuntun Angel ke tempat lukisan yang paling dekat dengan tempat mereka berdiri sekarang.

"Kau tahu, di depan kita ada sebuah lukisan seorang wanita yang sedang menelungkup di ranjang. Wanita itu menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam. Rambutnya panjang berwarna hitam gelap."

"Boleh kusentuh?" tanya Angel.

Karen tersentak. Dia melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada orang yang memperhatikan mereka. Perlahan, dia menuntun tangan Angel untuk menyentuh lukisan tersebut. 

"Ini adalah bentuk wajahnya," ujar Karen sambil terus menuntun tangan Angel. "Dan ini adalah rambutnya. Kau bisa merabanya sendiri." Karen melepaskan tangan Angel sehingga jari-jari kurus itu bisa leluasa untuk menyentuh. Lukisan itu dibuat dengan cat air sehingga terdapat tonjolan-tonjolan tertentu sehingga membentuk sebuah objek yang indah. Dengan mengikuti bentuk permukaan lukisan yang tidak rata, Angel bisa mengetahui seperti apa wujud lukisan tersebut. Tentu saja imajinasi Angel, tidak akan sama dengan orang normal pada umumnya.

Mata Karen tak sengaja melihat seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya. Dia tahu siapa laki-laki yang kini sudah berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri sekarang. Namun, sebelum laki-laki itu berucap, Karen sudah memotongnya dengan bahasa isyarat. Jari telunjuk Karen berada tepat di bibirnya sendiri sebagai tanda "jangan bicara, please."

"Karen, apa ini matanya?" tanya Angel.

Karen yang ditanya sedikit tergagap karena tidak fokus pada lukisan. "Oh, ya, itu matanya," jawabnya sambil melirik laki-laki yang kini sedang melihat ke arah lukisan yang sedang diraba oleh Angel sambil bersedekap.

"Matanya besar, ya?" tanya Angel lagi.

"Iya, besar," jawabnya terus melirik ke arah laki-laki itu.

Karen tahu laki-laki yang kini berdiri di dekatnya adalah sang pelukis. Pasti tadi, dia datang untuk mencegah Angel menyentuh lukisannya, tapi Karen tidak sekejam itu merusak kebahagiaan sahabatnya. Dia melihat wajah Angel yang berseri-seri bahagia. Bibirnya terus menyunggingkan senyuman.

"Sudah?" tanya Karen karena melihat Angel menarik tangannya perlahan.

"Sepertinya, ada yang melihatku menyentuh lukisan ini," ucap Angel menunduk.

Karen menepuk keningnya sendiri. Dia lupa kalau Angel bisa merasakan sesuatu tanpa melihat. Seperti sekarang, Angel bisa merasakan kehadiran seseorang di dekat mereka berdiri.

"Ti-tidak ada yang ada yang lihat," balas Karen.

Angel tersenyum. Menggandeng tangan Karen. "Sudahlah, kita pulang saja. Aku sudah puas."

"Ta-tapi ...."

"Tidak apa-apa. Aku takut merusak lukisannya," ucap Angel kemudian tersenyum.

Karen mendesah. Dia tidak ingin melihat Angel tidak nyaman. Gadis itu memutuskan untuk menuruti keinginan sahabatnya untuk pulang saja. Namun, sebelum pergi dia menatap tajam ke arah laki-laki yang telah merusak momen bahagia sahabatnya.

"Apa tadi pemilik galery itu?" tanya Angel ketika mereka dalam perjalanan menuju toko bunga.

Karen yang sedang berjalan malas-malasan langsung berhenti. "Bagaimana kau tahu?"

Angel tersenyum. "Aku mencium aroma laki-laki, padahal sebelumnya tidak ada saat pertama menyentuh lukisannya."

Karen mendesah lemah. "Maafkan, aku."

"Tidak apa-apa. Jujur, aku tadi senang sekali."

"Benarkah?"

"Iya."

"Kalau begitu kita bisa datang lagi kapan-kapan," ucap Karen penuh semangat.

"Kau jangan gila, laki-laki itu bisa membunuh kita."

Karen berdecak. "Aku tidak takut."

Kemudian mereka tertawa bersama. Berjalan kembali menuju toko.


*****

Hallo, pembaca ... Saya datang lagi...

Makasih yang masih mau baca cerita saya. Mohon dukungan dengan vote dan komennya. Terima kasih.

Peluk cium

Vea Aprilia

23 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro