Chapter 11 ~ Tersindir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kata Ayah, bahu laki-laki itu harus kuat.
Kata Ayah, jadi laki-laki enggak boleh cengeng.
Kata Ayah, laki-laki itu harus menepati janji.

Karena apa?
Karena bahunya akan menjadi sandaran keluarga.
Karena tangannya yang akan menghapus duka.
Karena laki-laki sejati adalah dia yang menepati janji.

(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Setibanya dari belanja bulanan, Ajeng memanggil Zio dan Ganesh untuk membantu membawa belanjaan. Mereka membantu memasukkan barang bawaannya ke dapur.

Ganesh membuka suara, mengatakan bahwa adiknya sudah pulang dan bertengkar dengan Zio. Laki-laki itu juga menunjukkan memar di tangan Zio.

Zio hanya terdiam sambil menggigiti kukunya, kebiasan buruk yang tak pernah hilang. Perang dalam batinnya itu membuatnya gugup. Haruskan dia mengatakan bahwa Birendra tidak bersalah? Sayang, gengsi lebih dulu memeluknya.

Dia lebih memilih menutup mulutnya. Zio lebih takut kepercayaan Ganesh padanya luntur. Zio menutupi fakta sebenarnya hanya untuk melindungi diri sendiri.

Sebagai wanita, Ajeng cukup peka. Pasti ada sesuatu yang menyebabkan Birendra pulang lebih awal. Dia tak mengira putra bungsunya itu sudah pulang karena tidak ada motor yang terparkir di garasi.

Wanita itu melangkahkan kakinya ke kamar Birendra. Diketuknya perlahan pintuk kamar Birendra, tetapi tidak ada jawaban. Saat sudah memasuki kamar, Ajeng melihat gundukan yang bergelung dalam selimut dan memunggungi pintu.

"Bi ...."

Yang dipanggil menggeliat kemudian membalikkan badannya. Dan tersenyum kala netranya menangkap wajah sang mama sudah ada di hadapannya.

"Ada apa, Ma?" Putranya menjawab dengan suara serak, mata yang memerah dan juga wajah sayu mengundang iba.

"Tadi pas berangkat kamu nggak kenapa-kenapa, kok pulang-pulang begini?" Ajeng menangkup wajah pucat anaknya, dan mengusap titik-titik keringat yang menetes di pelipis Birendra.

Wajahnya tampak cemas mendapati putranya seperti itu. Birendra yang menangkap kecemasan sang mama hanya tersenyum kecil.

"Cuma meriang, Ma! Merindukan kasih sayang," ujarnya sembari menggenggam erat tangan mamanya.

Ajeng mengabaikan candaan putranya, dia beranjak menuju lemari pakaian. Diambilnya kaos oblong dan celana panjang berbahan katun untuk Birendra karena anaknya itu masih menggunakan pakaian kerja.

Birendra hanya mengikuti apa yang mamanya perintahkan. Mengganti pakaiannya di kamar mandi, kemudian kembali lagi ke tempat tidur dan mendapati mamanya sudah tidak ada.

Ajeng kembali dengan nampan yang berisi makanan, obat, dan air minum untuk Birendra. Tak banyak bicara lagi, Birendra menghabiskan nasi dan semangkuk semur tahu yang disediakan mamanya itu.

🍁🍁🍁

Sang kepala keluarga sudah menempati kursi meja makan. Menatap kursi kosong yang biasa diduduki oleh Birendra. Kemudian, menatap sang istri dengan penuh tanya.

"Nggak ikut makan malam lagi?" tanya sang kepala keluarga.

"Lagi nggak enak badan, Yah. Tadi pulang cepat, meriang katanya," jawab Ajeng.

"Mas, panggil adikmu."

Ganesh yang mendapat perintah segera menuju kamar Birendra. Namun, lelaki itu kembali dengan gelengan kepala.

"Bi lagi tidur, Yah! Sudah Mas banguni, tapi tetap nggak bangun. Badannya masih hangat."

"Ya udahlah, Yah, anaknya masih sakit gitu jangan dipaksa. Nanti biar mama siapkan makanan kalau dia lapar."

Yudis hanya terdiam dan melanjutkan makan malamnya. Suasana pun menjadi senyap hanya terdengar denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring.

Saat semua penghuni rumah sudah kembali ke kamar masing-masing, ada kebiasaan yang selalu saja kepala keluarga itu lakukan. Dia akan mengecek satu persatu pintu rumahnya. Kemudian mematikan seluruh lampu utama dan digantikan dengan lampu yang cahayan lebih redup.

Tak hanya itu, dia juga akan mengunjungi semua kamar. Termasuk kamar tiga anak laki-lakinya. Mengapa tiga anak laki-laki? Karena baginya, Zio juga termasuk putra Keluarga Wardhana.

Orang tua selalu saja begitu, berapapun usia sang anak, akan selalu dianggap bayi kecil. Mereka keras dan tegas saat berhadapan langsung, tetapi terkadang ada perasaan tak terima jika buah hatinya beranjak dewasa.

Sayangnya, mereka terlalu gengsi untuk memperlihatkan kasih sayang secara terang-terangan. Alasannya itu akan membuat anak-anaknya manja.

Lihat saja yang dilakukan Yudis saat ini, masuk ke kamar Ganesh, membenahi selimutnya, lalu memastikan jendela sudah terkunci. Tak lupa dia kembali menutup rapat pintu kamar putra sulungnya

Lanjut ke lantai atas, kamar Birendra dan Zio. Dia memilih untuk mengunjungi kamar Birendra terlebih dahulu. Ternyata kamar itu sedikit terbuka.

Yudis sebenarnya khawatir saat tahu si bungsu sedang sakit. Namun, apalah daya dia sedang mode jaga jarak untuk melihat seberapa jauh putranya itu berusaha.

Lelaki tertua di Keluarga Wardhana itu menghentikan langkahnya dan berdiam sejenak karena mendengar putranya itu seperti menelpon seseorang.

"Iya, Mbak, maaf saya menganggu malam-malam seperti ini. Saya hanya ingin menyampaikan, naskah yang saya dapat kemarin belum selesai, saya kurang enak badan. Kalau besok rampung, akan segera saya kirim. Maaf atas keterlambatan ini."

Yudis tak meneruskan kegiatannya menguping pembicaraan putranya dan lanjut melangkahkan kaki ke kamar Zio. Dia bisa menyimpulkan bahwa putra bungsunya itu sedang mencoba bertanggungjawab pada pekerjaanya.

🍁🍁🍁

Birendra sudah terduduk di ranjangnya. Membungkukkan tubuhnya sedalam mungkin guna meredam lambungnya yang kembali bermasalah. Kali ini dua tangkai cabe jadi sasaran kekesalannya.

Semalam, diam-diam dia keluar kamar setelah menelpon karena kelaparan. Jika lebih cepat beberapa menit, tentulah dia akan bertatap muka dengan ayahnya yang sudah berada depan pintu kamarnya.

Dia tak bernafsu saat melihat makanan yang sudah tersedia di meja. Birendra ingin sesuatu yang hangat dan berkuah. Akhirnya dia memilih mie kuah instan dengan dua tangkai cabe yang dia iris halus.

"Sial! Cabe sialan, sakit lagi nih!" monolognya sembari mengacak-acak isi tasnya.

Dia teringat pada obat yang diberikan oleh Lystia saat di sekolah. Begitu dapat, dia langsung meminumnya tanpa bantuan sendok takar ataupun sendok makan. Hanya bermodal kira-kira saja. Yang terpenting adalah sakit di perutnya itu bisa membaik.

Birendra menaruh botol obat lambung cair itu di nakas, dan beralih mengambil ponselnya kemudian mengetikkan pesan pada Radit yang menyatakan dirinya masih sakit lalu ditekannya tombol kirim.

🍁🍁🍁

"Sudah baikan, Bi?" sapa mamanya sambil meraba kening Birendra. "Masih hangat, nggak usah ke sekolah dulu."

Birendra yang dudu di meja makan sepintas mendapat tatapan dari sang ayah. Dia yang meggunakan kaos hitam berbalut hoodie yang juga berwarna hitam itu hanya menundukkan kepalanya. Tudung yang dia pakai berhasil menyembunyikan wajahnya yang masih pucat.

"Belum ada sebulan jadi guru masa sudah mau izin, Ma? Nggak enak sama pihak sekolah. Gimana mau dapat banyak pengalaman kalau baru masuk sudah izin?" Ayahnya mengucapkan itu seolah berbicara pada sang mama, tapi pedihnya menusuk hati Birendra.

"Tawaran dari Ayah masih berlaku. Nggak usah sok kuat nanggung dua pekerjaan sekaligus. Pekerjaan editor naskah itu berat. Bukan cuma sekali jalan lalu selesai. Kamu juga harus berurusan dengan banyak orang 'kan? Pikirkan kembali tawaran Ayah."

"Yah, Bi memang lagi sakit. Zio lihat ada obat di nakasnya." Birendra malah mengernyit heran, kapan sepupunya ini menyelinap memasuki kamarnya.

"Dini hari itu Zio juga dengar dia meringis, pas itu Zio mau ambil minum ke dapur. Bi benar-benar sakit, Yah. Izin sesekali juga nggak masalah, iya 'kan, Bi?" Ternyata dibalik sikapnya yang menjengkelkan itu Zio masih menyimpan sisi peduli pada Birendra.

"Dengarkan Ayah, Zio. Seorang laki-laki itu harus menyelesaikan tanggung jawabnya. Selama masih bisa menjejakkan kakinya dan berpikir dengan baik, di berkewajiban untuk melaksanakan tugas." Yudis menatap manik mata Zio dengan lekat.

"Kalian ini anak laki-laki Ayah, nantinya kalianpun akan menjadi kepala keluarga seperti Ayah. Untuk itu Ayah harap kalian bisa menjadi laki-laki hebat yang bisa bertanggungjawab penuh pada keputusan yang sudah kalian ambil."

Birendra mengepalkan tangan erat hingga buku jarinya menonjol. Dia merasa ucapan Ayahnya barusan bukan untuk Zio ataupun Ganesh melainkan untuk menyindir dirinya.

"Yah, situasinya berbeda, Bi sedang sakit," sela Ajeng.

"Jika sakitnya masih ringan, bisa dikendalikan, itu seharusnya bukan menjadi halangan. Kecuali ada surat keterangan dokter yang menyatakan dia harus beristirahat total, itu baru bisa dijadikan alasan yang kuat, pantang bagi anak Ayah untuk bermanja-manja."

Birendra tak banyak kata, dia memundurkan kursinya dengan kasar. Zio yang berada disebelahnya bahkan terlonjak kaget. Lelaki itu mengabaikan kekagetan seluruh keluarganya.

Mamanya yang kaget berteriak, "Bi ..., mau kemana?"

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Hello, Birendra!



ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY11
Bondowoso, 25 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro