Chapter 12 ~ Bertahan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apakah aku sudah sampai pada puncak kesabaranku?
Belum! Aku masih baru memulai dan menguji sabarku.
Jika sabarku tak lagi dihargai.
Jika usahaku tak lagi mendapat dukungan.
Jika segala yang aku lakukan hanya dipandang sebagai kesalahan.
Tak mengapa, aku masih akan terus bertahan.
Sampai kapan? Sampai salah satu diantara kita bosan.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Berhati-hatilah untuk berbicara dengan orang lain, lidah itu memang tak bertulang. Terkadang banyak hati yang tersakiti tanpa disadari. Jika kau suka menulis di atas kertas, kemudian salah kau bisa menghapusnya dengan segera.

Selain itu tulisanmu bisa di coret dan kau buang. Namun, jika itu adalah ucapan yang salah hingga menggores hati, bagaimana kau akan melihat bagian mana yang salah? Bagian mana yang akan kau hapus? Bagian mana yang harus kau benahi?

Hati seorang Birendra itu begitu halus. Meski sudah mendapat sindiran dari sang ayah, dia tak berkata apa pun. Dia beranjak pergi dari ruang makan dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.

Mata mamanya memindai Birendra dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dengan balutan kemeja hitam dan celana kain yang juga berwarna hitam, wajah pucatnya sangan kentara.

"Mau kemana, Nak? Masih sakit begini. Kembali ke kamar saja, ya? Mama telpon Bang Radit biar dia minta izin sama kepala sekolah." Usapan lembut mamanya itu menyapa kala dia sudah rapi dan akan berpamitan untuk berangkat ke sekolah.

"Bi masih sanggup jalan, Ma. Bi berangkat dulu," jawab Birendra sambil mencium tangan mamanya.

"Yah, Bi berangkat. Mas Ganesh, Zio, Bi duluan." Lelaki itu berpamitan dengan seluruh keluarga

Birendra meredam rasa sakitnya, tetapi tak mengurangi sopan-santun pada kakak dan ayahnya, termasuk juga Zio. Lelaki itu melangkahkan kakinya supaya bisa segera berjarak dengan keluarganya itu.

"Bi, ke sekolah pakai apa? Motornya ...." Suara Ajeng terhenti begitu saja karena Birendra sudah tak terlihat.

"Motornya kenapa, Ma?" tanya sang kepala keluarga.

"Motornya nggak ada di garasi. Mungkin kemarin Radit yang antar Bi pulang, Yah! Duh, ini anak pakai apa ke sekolah? Sekolanya jauh 'kan? Mama telpon Radit sebentar, Yah!"

"Hm." Hanya gumaman yang terdengar menjawab ucapan Ajeng.

Lelaki yang berusia lebih dari setengah abad itu menampakkan sikapnya yang tenang dan tanpa beban. Namun, siapa yang tahu isi hati seorang ayah? Ya, pada akhirnya untuk bersikap keras pada anak, menerapkan disiplin dan tanggung jawab butuh kepura-puraan untuk mendapat hasil yang maksimal.

Baja harus ditempa berkali-kali hingga mendapatkan bentuk yang diinginkan, tetapi jangan lupakan bahwa kerasnya batu bisa juga terkikis, lapuk karena lumut dan hancur secara perlahan ketika matahari dan hujan silih berganti menerpanya.

🍁🍁🍁

Birendra tiba di rumah Radit, tepat saat abangnya itu sudah memasuki mobil. Saat masih di rumahnya, sebelum turun untuk menemui keluarga di lantai bawah, tak lupa dia menggunakan aplikasi jasa ojek online.

Satu hal yang dia sesali hari ini yaitu penyakit lupanya yang tak pandang situasi. Dia melupakan hal terpenting saat mengendarai motor yaitu jaket. Pantaslah sepanjang perjalanan dia bergidik.

Radit yang sudah mendapat telpon dari Ajeng, sengaja untuk menunda keberangkatannya. Dia hanya ingin memanaskan mesin mobil terlebih dahulu saat Birendra datang dan masuk ke halaman rumahnya.

"Bang ..., nebeng yaa!" Birendra sudah duduk di tangga teras sembari menyandarkan tubuhnya yang lemas itu ke tiang penyangga.

"Masuk! Nggak usah ke sekolah. Tante Ajeng sudah cerita." Radit kemudian menundukkan badannya dan merengkuh tubuh Birendra tetapi tubuh itu mengelak.

"Ke sekolah aja, Bi nggak apa-apa, Bang! Kalo nggak boleh ke sekolah, siniin kunci motornya. Bi mau berangkat sendiri!"

"Dasar, kepala batu! Apa perlu kepalamu diadu sama batu, biar tahu mana yang lebih keras? Bocah iki dikandani kok yo panggah ngeyel ae!"

"Bang, kemarin sudah bolos ngajar, masa sekarang bolos lagi?"

"Mbuh, karepmu wes! Syaratnya satu, kalo ndak kuat bilang, langsung minta pulang saja. Nggak usah nunggu nanti-nanti." Birendra mengangguk dan tersenyum tanda setuju dengan syarat yang diberikan abangnya itu.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam lima belas menit, kini teras lebih lama karena jalanan sudah padat dengan kendaraan lain. Kendaraannya yang padat dan tak mau mengalah satu sama lain memperparah keadaan.

Birendra sudah menyandarkan tubuhnya di kursi penumpang. Dia menolehkan kepalanya ke samping kiri. Ucapan ayahnya masih saja terngiang-ngiang hingga membuatnya tak mendengarkan segala keluh kesah Radit.

"Bebal banget kalo dibilangin. Kamu sadar nggak wajahmu itu sudah kayak mayat hidup," gerutu Radit sambil tetap fokus menjaga pandangannya.

"Tapi gantengnya nggak berkurang 'kan? Sst ..., ish! Nggak bisa diajak kompromi nih!" keluhnya saat perutnya terasa seperti ada yang meremas dengan erat.

"Hah! Terus aja nggak nurut. Lama-lama Abang kerangkeng biar nggak kelayapan, sampai benar-benar sembuh."

"Ini masih bisa ditahan, Bang! Ada hal yang nggak bisa Bi tahan. Sakitnya hati karena ucapan ayah. Ayah masih saja seperti itu. Sampai kapan ayah bertahan dengan sikap keras kepalanya?"

"Like father, like son. Jadi nggak perlu tanya keras kepalamu nurun siapa, nurun ayahmu. Abang kadang heran sama ayahmu itu. Kalau dilihat-lihat dia itu tipe ayah ideal yang perhatian dengan anaknya, tapi kadang kebangetan."

"Bi paham maksud ayah itu baik, Bang! Cuma, apa Bi bisa bertahan dengan kondisi yang seperti ini? Bi Cuma takut suatu saat justru lelah yang menyapa terlebih dahulu, lalu menyerah menjadi keputusan pamungkas."

🍁🍁🍁

Jam mengajar Birendra ini cukup padat. Dia mengajar di kelas XI-C Multimedia selama satu jam pelajaran. Berlanjut di kelas XI-E Teknik Otomotif yang sudah pasti berhadapan dengan 100% siswa laki-laki selama tiga jam pelajaran berturut-turut yang mana satu jamnya itu terhitung 45menit.

Selama dua jam pelajaran dia sudah bertahan, dengan semangat tinggi diamembuat kelas menjadi aktif. Pembelajaran Bahasa Inggris yang biasanya membosankan dikemas menjadi sangat menyenangkan dengan beberapa games yang diberikan oleh Birendra

Saat mengerjakan tugas mandiri, Birendra tetap berkeliling untuk memeriksa beberapa pekerjaan siswanya. Ketika profesi guru kerap dipandang sebelah mata, ada rasa sakit yang menusuk hati.

Banyak orang yang seakan lupa bahwa dirinya pun besar atas jasa para guru. Birendra sering tertawa kecut tatkala mendengar cerita Radit. Para wali murid kerap kali melimpahkan kesalahan pada pihak sekolah jika putra mereka terlibat tawuran.

Namun, tak semua seperti itu. Ada beberapa wali murid yang tetap saja mengagungkan profesi guru. Apakah tugas guru hanya memberikan materi saja? Tidak, guru itu adalah pendidik. Mendidik anak-anaknya, memperbaiki akhlaknya, memberikan motivasi, menjadi teman, sekaligus menjadi orang tua.

Pelajaran akademik bisa terkejar dalam waktu singkat asal siswa konsisten dalam pembelajaran, tetapi pembetukan karakter siswa perlu waktu untuk mencapai apa yang sudah ditetapkan standar pendidikan.

"Mr. Bi ....!" Suara salah satu siswa itu memecah keheningan saat tubuh Birendra limbung dan nyaris menghantam lantai jika saja siswa bernama Garren yang berada disebelahnya itu tak menyangga tubuhnya.

"Thanks, Ren!" ucap Birendra lirih sembari menegakkan tubuhnya dan menepuk bahu Garren.

"Bolehkah jika kelas kita hari ini diakhiri dua puluh menit lebih awal?"

Siswanya hanya mengangguk seolah-olah mereka terhipnotis dengan perkataan snag guru. Birendra lalu menutup kegiatan pembelajaran dan beranjak meninggalkan ruang kelas diiringi dengan bisik-bisik dari beberapa siswa.

Ada yang khawatir melihat wajah pucat sang guru, sebagian lainnya menaruh iba, dan sisanya bahagia karena ada jeda untuk beristirahat lebih lama.

Terseok-seok langkahnya menyusuri lorong-lorong penghubung antar kelas di sekolahnya. Beberapa kali Birendra berhenti untuk mengistirahatkan tubuhnya yang nyeri karena demam yang mulai merangkak naik.

Tangan gemetarnya dia paksa untuk mengambil ponsel di dalam saku celana. Birendra mencari salah satu nomer yang biasa dia hubungi saat sakit mulai mendera.

"Asalamualaikum, Mas Ganesh, Bi sakit!"

"Wa alaikum salam, kalau sudah tahu sakit kenapa tadi masuk sekolah, Bi?

Birendra tak menjawabnya, tak mengertikah sang kakak dengan kondisi tadi pagi?

"Mas Ganesh bisa jemput? Motornya Bi ada di rumah Bang Radit," pinta Birendra yang sudah menumpukan tubuhnya pada dinding.

"Mas ...." Tak ada jawaban dari seberang.

"Sebentar, Bi! Mas masih sibuk, ada customer yang ...." Suara Ganesh terhenti saat dia mendengar suara benda berjatuhan dan sambungan yang telepon tiba-tiba terputus.

🍁🍁🍁

* Bocah dikandani kok yo panggah ngeyel ae! : Ini anak dikasih tahu kok masih tetap susah dibilangi.

* Mbuh, karepmu wes! : Tidak tahu, terserah kamu saja

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

Salam dari Birendra

Kuy, kenalan lagi sama Zio!
Kali aja kalian lupa sama Zio

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY12
Bondowoso, 26 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro