Chapter 2 ~ Kelulusan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ketika yang berawal harus berakhir.
Ketika yang bertemu harus berpisah.
Ketika yang sudah datang harus pergi.
Semua itu sudah ada masanya.

Ketika bahagia nyatanya berbalut kesedihan.
Ketika tawa menyamarkan tangis yang tertahan.
Ketika marah berbuah rasa kecewa.
Percayalah, cepat atau lambat semua akan terlewati.
Tetaplah yakin pada denting waktu yang diutus untuk menjawabnya.

(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Jam di dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, mata itu masih saja terbuka. Tidak ada rasa kantuk maupun lelah yang terlihat dari iris mata berwarna coklat itu. Kejadian di ruang keluarga masih saja berputar-putar di dalam pikirannya.

Selama ini tak pernah sekalipun Birendra mendengar intonasi suara yang tinggi dari sang ayah. Bisa jadi ini adalah yang pertama, dan itu karena dia. Rasa bersalah bergelayut semakin berat di hatinya.

Lelaki yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana itu beranjak dari tempat tidurnya, menarik kursi dan duduk di depan meja belajarnya. Mengambil sebuah buku dengan sampul hitam dan memungut sebuah pulpen yang tergeletak di lantai kamarnya dan mulai menulis.

Birendra kembali melirik ke arah jam dinding, jarum jam menunjuk angka dua. Setelah mengembalikan buku dan pulpen ke tempat semula, Bi memilih untuk beristirahat sejenak sebelum mamanya membangunkan saat azan Subuh berkumandang.

Dua jam lebih Birendra terlelap dalam tidurnya, hingga sayup-sayup suara azan terdengar bersahutan dari musola dan masjid di sekitar tempat tinggalnya. Lelaki itu sudah membuka matanya, tetapi dia masih menanti ketukan lembut dari sang mama untuk membangunkannya.

"Bi, sudah Subuh! Ayo sholat dulu, Nak," ujar Ajeng setelah mengetuk pelan pintu kamar putra bungsunya.

"Iya, Ma! Bi sudah bangun," jawab Birendra segera.

🍁🍁🍁

Birendra menuruni tangga dengan perlahan sembari menguap lebar. Menenteng helm di tangan dan jaket yang sudah tersampir di bahu kirinya. Samar dia mendengar suara ayahnya yang berbincang di meja makan bersama mama dan kakaknya.

"Selamat pagi, semua!" seru Bi dengan senyumnya yang khas.

"Pagi, sayang!" balas sang mama.

"Hm." Hanya gumaman yang terdengar dari Ganesh yang sibuk mengunyah nasi goreng dan tempe bacem.

Sementara sang kepala keluarga terdiam tak menanggapi. Suara denting sendok yang beradu keras dengan piring menarik perhatian yang lainnya. Dengan gerakan cepat Yudis menyambar cangkir kopi di hadapannya itu. Menyeruput sedikit lalu meletakkannya kembali.

"Ma, Ayah berangkat dulu!" pamitnya sambil berdiri dan mengecup kening istrinya itu.

"Lanjutkan saja sarapannya, Ayah ada pertemuan pagi ini. Ganesh, jangan lupa disampaikan kepada rekan-rekanmu apa yang sudah kita bahas semalam. Jangan sampai ada yang terlewatkan." Ganesh hanya menganggukkan kepalanya.

Yudis melenggang, melewati Birendra yang berada di ujung meja. Anak lelaki itu hanya terpaku menyadari dia dilewati begitu saja. Niat hati Birendra ingin meminta maaf dia urungkan karena melihat suasana hati ayahnya yang tampak buruk hari ini.

"Bi, sarapan dulu!" Ucapan Ganesh mengusik diam-nya kali ini.

"Ha?" Lamunannya buyar seketika, "Eh, enggak dah, Mas. Bi sudah terlambat," ucapnya lagi sembari menghela napas.

"Jangan terlalu memikirkan sikap ayah. Di kantor lagi banyak masalah, wajar ayah seperti itu," jelas Ganesh sembari mengusap kepala sang adik guna menenangkannya sebelum dia berangkat ke kantor.

🍁🍁🍁

Area parkir mahasiswa sudah penuh sesak, berderet-deret motor berjajar rapi, tetapi Birendra justru memarkirkan motornya di area parkir dosen. Lelaki itu segera pergi sebelum satpam berteriak dan memintanya untuk parkir di tempat parkir mahasiswa.

Dengan cepat dia berlari menuju Aula Ki Hajar Dewantara tempat dimana geladi bersih wisuda digelar. Hampir delapan ratus orang memenuhi ruangan itu. Birendra kesulitan mencari teman sekelasnya.

"Bi, sini!" panggil Arga sembari melambaikan tangan dan dibalas oleh Birendra.

"Wah, anak mama dah datang, nih! Sudah sarapan apa belum, lo?" tanya Sandi.

"Enggak keburu mau sarapan, tapi tenang, Mama sudah bawakan bekal!" balasnya sembari mengeluarkan kotak makanan yang sudah disiapkan Ajeng.

"Menunya apaan, Bi?" tanya Willy sembari menjulurkan kepalanya untuk melihat isi bekal yang dibawa oleh Birendra.

"Roti isi orak-arik tahu," jawab Bi.

"Yes! Gue menang, gue menang!" Arga berteriak sembari menarik tubuh Bi ke arahnya.

"Lo berteman sama nih bocah berapa tahun, sih?" ucap Arga lagi sambil memiting kepala Birendra.

"Heh, jangan kencang-kencang! Nanti kepalanya Bi lepas, gimana?" balas Sandi sambil berusaha melepas tangan Arga yang melingkari kepala Bi.

"Haah! Kalian ngapain? Taruhan lagi? Kali ini apa?" sungut Birendra diiringi helaan napas lega karena kepalanya sudah bebas.

"Nih anak dua taruhan, bekal apa yang bakal lo bawa hari ini. Si Sandi bilang kalo lo bakal bawa bekal keju sama yogurt. Si begal sebelah lo itu nebak menu yang bakal dibawa itu olahan tahu," jelas Willy.

Si begal yang merasa terpanggil akhirnya menoleh dengan mulut yang penuh dengan roti isi. Sementara Birendra hanya menggeleng pelan melihat kelakuan temannya itu.

"Gue bakal kangen sama suasana kayak gini. Rusuh, rame, usil, sumpah itu bakal ngangenin banget." Birendra menundukkan kepalanya.

"Gue juga bakal rindu banget, iyaa nggak, San?" tanya Arga.

"Emang lo bakal rindu apaan, Ga?" tanya Willy dengan serius.

"Hm ... kalo gue mah bakal kangen bekal bawaan si bocah ini. Karena apapun bekalnya pasti ada jatah buat kita. Enggak akan kekurangan gizi pastinya." Ucapan Arga itu dibarengi dengan sorakan dan pukulan di kepala hadiah dari teman-temannya itu.

"Heh, kalian berempat! Pilih keluar dengan baik-baik atau saya seret keluar gedung?" Suara berat itu membuat keempatnya menegang dan sontak menghentikan aksinya seketika.

"Kita pilih diam, Pak," sahut Birendra menoleh dengan perlahan dan mengangguk sopan pada bapak keamanan dibelakangnya.

Empat sekawan itu duduk dengan tenang selama kegiatan geladi, mengamati dengan seksama apa yang disampaikan oleh pihak kampus. Berusaha tenang, meski beberapa kali masih terdengar cekikikan tak jelas yang berasal dari Birendra dan teman-temannya.

Geladi telah selesai, Birendra dan kawan-kawannya memilih untuk merapat ke salah satu warung legendaris langganan mahasiswa. Mereka membahas siapa saja keluarganya yang akan ikut dalam prosesi wisuda.

Arga yang merasa paling apes, undangan hanya tersedia untuk dua orang anggota keluarga, yakni ayah dan ibu. Namun keluarga besarnya yang berjumlah dua belas orang itu ternyata sudah menyiapkan dua mobil untuk menemaninya di hari wisuda,besok.

Lain lagi dengan Sandi dan Willy, keduanya akan didampingi oleh orang tua dan pacar mereka masing-masing. Saat yang lain semangat membahas pendamping wisuda, hanya Birendra yang tampak tak tertarik membahasnya. Kejadian semalam membuatnya berpikir kembali.

"Gue balik dulu, ya! See you tomorrow!" Belum juga ketiga temannya itu menjawab, Birendra sudah beranjak pergi tanpa penjelasan apa-apa.

🍁🍁🍁

Setelah melalui geladi kemarin, tibalah waktu wisuda yang sebenarnya. Birendra dan ketiga temannya terlihat sangat tampan. Mereka mengikuti segala prosesi wisuda dengan seksama. Terkadang canda dan tawa juga menemani selama kegiatan berlangsung.

Birendra tak enak hati. Sejak pagi ayahnya sudah berangkat ke kantor. Sang ayah hanya berpesan akan menyusul untuk hadir pada acara wisuda segera setelah urusannya selesai. Nyatanya, hingga acara usai dan sesi foto berlangsung, sang ayah belum juga datang. Hanya ada mama dan Ganesh yang menemani.

Dia sudah terlanjur lelah menunggu ayahnya. Sejak pagi dia sibuk menguatkan hati dan begitu percaya ayahnya akan datang. Birendra sudah membayangkan pelukan erat dan senyum bangga sang ayah terhadap prestasinya. Namun, itu hanya terjadi dalam angan-angan saja.

Matanya memandang nanar hiruk-pikuk keluarga yang berfoto bersama. Rasa berkecamuk membuatnya tak tenang. Ganesh yang menyadari perubahan raut wajah sang adik mengatakan ayahnya masih sibuk, Bi hanya menanggapi dengan senyum sekadarnya. Beruntunglah ketiga temannya itu mengajak masing-masing makan siang bersama untuk merayakan kelulusan hari ini.

Mood yang tadinya berantakan, kini membaik. Dalam perjalanan pulang, Birendra sudah bercerita banyak, termasuk cerita ketika mendapat teguran saat geladi kemarin. Bahkan dia memaklumi ketidakhadiran sang ayah di acara wisudanya.

Saat akan memasuki halaman rumah, ternyata dari arah berlawanan mobil sang ayah lebih dulu masuk. Birendra bergegas turun dari mobil dan segera menghampiri ayahnya. Membawa map berisi sertifikat yang menyatakan dia adalah lulusan terbaik dari jurusannya.

"Yah! Baru datang?" Ayahnya hanya menoleh dan menganggukkan kepala.

"Yah, bisa lihat ini sebentar? Bi hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Ayah!" ucap Birendra sekali lagi.

"Ayah lelah, Bi! Nanti saja."

"Bi paham, Ayah sibuk dengan pekerjaan, tidak bisa ditunda dan tidak bisa juga digantikan oleh yang lain. Sampai-sampai tidak bisa hadir dalam prosesi wisuda. Hanya foto Ayah yang tidak ada saat Bi sudah memakai baju toga." Birendra tertunduk, dia enggan menatap ayahnya.

"Padahal Bi sangat berharap Ayah bisa melihat sendiri ketika Bi mendapat penghargaan sebagai lulusan terbaik." Suara Bi terdengar lirih.

Sang ayah berbalik dan menatap putra bungsunya yang sedang tertunduk. "Kamu sudah mendapat penghargaan sebagai lulusan terbaik, seharusnya itu kamu gunakan untuk mendapat masa depan yang lebih baik. Nyatanya apa? Kamu bahkan berani melawan Ayah dan menyia-nyiakan nilai terbaikmu itu hanya untuk menjadi seorang guru. Di mana letak kepandaian yang ingin kamu banggakan pada Ayah?"

Birendra bungkam seketika saat mendengar ucapan ayahnya itu. Dia masih diam mencerna baik-baik ucapan sang ayah. Mungkinkah ayahnya masih marah karena kejadian semalam? Atau lelah dengan pekerjaan sehingga dia terkena imbasnya?

🍁🍁🍁

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY2
Bondowoso, 16 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro