Chapter 3 ~ Tantangan Ayah

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ayah adalah pemilik bahu paling kuat sebagai tempat sandaran keluarga
Ayah adalah panutanku, teman bercerita dan penasihatku.
Ketika Ayah tak banyak bicara, dia sedang berpikir.
Ketika Ayah berbicara serius, dia sedang meminta kejelasan.
Ketika Ayah berbicara banyak dan tegas, dia sedang menuntut.
Ayah selalu saja menuntut.
Menuntut anak lelakinya untuk mandiri.
Karena anak lelaki akan menjadi seorang pemimpin, sepertinya.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Sejak kejadian sore tadi, Birendra sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Dia mengurung diri di kamar, sibuk merenungi perkataan ayahnya. Benarkah dia bodoh telah mengabaikan nilai terbaik hanya untuk menjadi guru?

Pergulatan dalam pikirannya itu membuat Birendra semakin keras berpikir. Hal itu menyebabkan lambungnya bergejolak. Ada sensasi mual yang sejak tadi ditahan. Belum lagi rasa panas juga nyeri turut menyerang ulu hatinya.

Birendra yang sedang duduk di bibir ranjang, hanya diam dan membungkukkan badannya. Berharap rasa nyeri itu segera hilang, tetapi ternyata dugaannya salah. Nyeri itu semakin hebat hingga akhirnya dia memilih untuk meringkuk di atas ranjang.

Sudah lima belas menit dia bertahan dengan posisinya yang meringkuk. Tepat saat pintu terketuk pelan, lelaki itu merasakan isi lambungnya naik ke kerongkongan. Birendra terduduk dan membekap mulutnya dengan erat.

Ganesh yang sudah membuka pintu melihat adiknya yang baru menurunkan kaki dari ranjang sambil membekap mulut. Dia bergegas menghampiri Birendra dengan segera setelah tubuh sang adik limbung hingga menabrak lemari.

"Hei, pelan-pelan, Bi! Mau ke mana?" tanya Ganesh.

"Hmph ...." Suara tertahan terdengar dari mulut Birendra.

Birendra menegakkan tubuhnya, berusaha melepaskan rengkuhan sang kakak. Dia berjalan terburu-buru ke arah kamar mandi dan dengan keras dia membanting pintu yang tak bersalah itu.

Ganesh menyusulnya segera setelah debam pintu terdengar. Dia berusaha membuka pintu kamar mandi, tetapi sang adik menguncinya.

"Bi ... buka pintunya!" pinta Ganesh sembari mengetuk pintu dengan keras. Namun, tiada jawaban dari dalam sana. Hanya terdengar suara kran air yang menyala menyamarkan suara adiknya yang sedang muntah.

Ketika hendak mengetuk kembali, suara kran air sudah tak terdengar. Pintu yang tertutup itu akhirnya terbuka. Birendra berdiri di hadapan kakaknya dengan perasaan lega mualnya sudah reda. Meskipun rona pucat masih membalut senyum manisnya.

Ganesh hanya diam dan memindai adiknya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tetesan air masih jatuh satu-persatu dari wajah dan rambut adiknya. Meski wajah terlihat segar, tetapi bibir pucat itu tak bisa berbohong.

"Cuma mual, Mas, Bi baik-baik saja," jawab Birendra yang membaca kekhawatiran kakaknya.

"Hanya mual? Terus, yang muntah tadi siapa?" selidik Ganesh pada Birendra.

"Hm, Mas Ganesh ngapain ke sini?" Birendra balik bertanya sambil melewati sang kakak dan mendudukkan dirinya di ranjang.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Bi! Lambungnya sakit karena mag??" tanya Ganesh sembari menarik kursi dan duduk di hadapan adiknya

"Mas, mag itu maksudnya apa?" tanya Birendra sok polos.

"Sakit mag? Ya sakit lambung, Bi!"

"Bukan sakitnya, yang Bi tanyakan, mag itu apa?" ujarnya Birendra perlahan

Ganesh hanya mengangkat kedua bahunya tanpa berkata apa pun. Dia menyerah jika harus berdebat dengan adiknya itu.

"Mag itu lambung, lambung itu ya mag, paham?" Ganesh menggelengkan kepala.

"Maag itu bahasa Belanda artinya lambung. Ingat, yang bahasa Belanda huruf a double di tengah, kalo cuma satu itu sesuai penulisan KBBI. Jadi kalau pertanyaannya Mas Ganesh tadi diartikan, lambungnya sakit karena lambung? Begitu, Mas," jelasnya.

Ganesh masih menggeleng, pertanda dia masih belum paham dengan ucapan adiknya itu. Secara tiba-tiba Ganesh menepuk jidatnya. Bukan karena lambung atau mag yang tidak dia pahami, tetapi dia ingat tujuan awal dia masuk ke kamar adiknya.

"Nah, kalo sudah tepuk jidat begitu pasti Mas Ganesh ingat sesuatu," ujar Birendra sambil melirik kakaknya. "Kenapa kalo orang lupa terus tiba-tiba ingat, mereka itu tepuk jidat ya, Mas?"

"Enggak paham, Bi. Mungkin karena sambungan otak mereka lagi error. Seperti TV kalo sudah mulai berbayang, pasti ditepuk-tepuk supaya kembali lagi ke jalan yang benar. Begitu juga otak manusia, kalo sudah korslet butuh sedikit goncangan supaya tersambung kembali," terang Ganesh dengan sangat meyakinkan.

"Lah, kok Mas Ganesh malah nuruti kamu ngalor-ngidul nggak jelas begini! Mas itu mau bilang, nanti malam ayah ingin ngobrol lagi sama kamu. Jangan melawan apa kata ayah, Bi. Percayalah, apa yang Ayah usahakan untuk kamu dan Mas adalah yang terbaik."

🍁🍁🍁

Seusai makan malam, semua penghuni rumah duduk di ruang keluarga. Birendra duduk bersebelahan dengan Ganesh. Sedangkan ayah dan mamanya berada di seberang meja yang menjadi pemisah antara anak dan orang tua itu.

Jujur saja, ini adalah kali pertama bagi Keluarga Wardhana menghadapi suasana yang menegangkan, bak pengadilan tinggi yang bersiap mendakwa tersangka. Hanya detak jam dinding yang terdengar di ruangan itu.

"Selamat, Nak! Terima kasih sudah memberikan nilai terbaik itu untuk Ayah. Ayah bangga padamu. Maaf, ayah terlalu sibuk hari ini." Ucapan ayahnya itu membuat Birendra mengangkat kepalanya dan mengangguk disertai senyum yang tulus.

Meski terdengar datar dan tanpa intonasi, Birendra sangat senang dengan apa yang diucapkan ayahnya itu. "Maafkan Bi juga, Yah. Bi kurang memahami kesibukan Ayah!" balas Birendra.

"Ayah hanya ingin memastikan kembali tentang keinganmu untuk menjadi guru." Birendra tersentak dan menegakkan posisi duduknya. Keringat sudah mulai membasahi pelipisnya. Antara gugup dan takut telah tercampur menjadi satu.

"Ayah tak ingin kamu salah dalam menentukan masa depan!" tegas sang ayah.

"Yah, guru bukan profesi yang tidak memiliki masa depan. Justru di tangan guru ada banyak masa depan itu akan terbentuk. Melalui bibi-bibit baru hasil didikan guru." Birendra mulai terpancing. Peringatan dari kakaknya ketika di kamar, dia abaikan.

Ayahnya mengusap wajahnya dan berbicara dengan nada yang meninggi. "Lantas, masa depan seperti apa yang kamu harapkan untuk diri kamu sendiri?

"Yah, Bi hanya ingin menjadi guru, apa salahnya?" sangkal Birendra

"Apa hanya itu yang bisa kamu kerjakan? Apa posisi yang Ayah tawarkan kurang menggiurkan untuk kamu?"

"Birendra juga ingin mencari pengalaman lain, Yah!" Tepukan pelan dari Ganesh mendara di bahu Birendra, kode supaya sang adik tak lagi melawan ayahnya.

"Pengalaman apa? Pengalaman bekerja? Kamu bisa mendapatkan segudang pengalaman di perusahaan yang Ayah rintis. Pengalaman yang bagaimana?" ujar sang ayah sambil mengetuk-ngetuk meja dihadapannya.

"Bi ingin belajar mandiri! Dan belajar di lingkungan sekolah sebagai tenaga pengajar itu pengalaman berharga, Yah. Bi tidak pernah meminta banyak pada Ayah dan Mama. Maka, restuilah permintaan Bi, sekali ini saja ."

"Baiklah jika itu keinginanmu. Dengan satu syarat, Ayah tidak akan mengeluarkan sepeser pun untuk kebutuhanmu, mandirilah dengan caramu sendiri. Ayah akan cabut semua fasilitas materi yang kamu terima."

Birendra menatap wajah ayahnya yang mulai memerah menahan amarah. Dia semakin bertanya-tanya. Begitu keras sang ayah menolak keinginannya untuk menjadi guru. Ada apa gerangan?

Anak bungsu keluarga itu masih diam, mencerna dengan baik apa yang ayahnya ucapkan. Salahkan saja dia yang tidak mendengarkan kata-kata Ganesh. Sekarang sudah bisa dia lihat kemurkaan ayahnya itu.

"Apa kamu tahu makna dari nama kamu?" tanya Yudis pada Birendra.

"Pemimpin para ksatria yang selalu menepati janji," jawab Birendra lirih.

"Bagus, kamu sudah tahu arti dari namamu sendiri. Ayah harap kamu bisa memegang teguh pada pilihanmu layaknya seorang pemimpin para ksatria yang selalu menepati janji. Itu sudah menjadi pilihanmu. Hadapi, jalani, dan jangan membuat Ayah malu."

Sang ayah mencondongkan tubuhnya ke depan hingga hampir mendekati meja. Dengan tatapan yang masih melekat pada si bungsu. "Kamu lihat usaha masmu? Dia menjadi besar karena mendengarkan dan menuruti perkataan Ayah. Menjalankan segala tuntutan yang Ayah beri. Tidak membantah, mengeluh, apalagi melawan," pungkas sang kepala keluarga sembari beranjak dari tempat duduknya.

"Birendra hanya ingin merasakan bagaimana memiliki pekerjaan yang berkah dan mulia, seperti apa yang diceritakan oleh Kakek Ayyub." Mendengar Birendra menyebut nama ayahnya, Yudis menoleh dan menghentikan langkah kakinya.

"Berkah karena ilmu yang Bi dapat tidak sia-sia. Jika mereka menggunakan ilmu yang Bi berikan, itu akan menjadi amal jariah yang tak akan pernah putus sampai Bi mati. Mulia, karena ini bukan pekerjaan yang mengandalkan tenaga saja, tetapi juga melibatkan hati yang ikhlas," lanjut Birendra sembari menatap ayahnya yang mematung.

"Ayah boleh melarang Bi menjadi guru, tetapi itu tidak akan menyurutkan niat Bi untuk memenuhi keinginan Kakek Ayyub. Kakek hanya ingin cucunya ini bisa menikmati salah satu taman surga di dunia. Ayah bisa pegang ucapan Bi. Karena lelaki itu adalah dia yang memegang teguh pada apa yang di ucapkannya. Dan itu, janji lelaki."

Birendra masih menatap ayahnya yang semakin salah tingkah, memalingkan wajah dan terburu-buru memasuki kamar. Jika tak salah lihat, mata ayahnya itu berkaca-kaca, bahkan setetes bulir bening jatuh membasahi pipinya.

🍁🍁🍁

Bonus senyuman manis dari Birendra Sadhana

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY3
Bondowoso, 17 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro