Chapter 4 ~ Pak Guru

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Katanya, aku anak yang tak patuh pada orang tua.
Katanya, aku tak bisa menghargai apa yang diputuskan oleh orang tua.
Katanya, sudah menjadi kewajibanku memenuhi apa yang orang tuaku pinta.

Namun, ada yang bilang orang tua ku terlalu menuntut.
Mereka juga bilang, orang tua ku terlalu mengatur hidupku.

Salahkan aku sesuka kalian, tapi jangan menghujat orang tua ku.
Hancurkan aku se-hancur-hancurnya tapi jangan mengusik orang tua ku.
Karena aku tahu, meski menentang mereka akan selalu bersamaku.
(Birendra Sadhana)

🍁🍁🍁

Birendra terjaga semalam suntuk. Dia menjelajahi dunia maya untuk mencari informasi dan lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. Segala macam social media dia jelajahi, mulai bergabung di grup lowongan pekerjaan di facebook, mengunjungi laman penyedia pekerjaan, hingga menghubungi beberapa kenalannya via whatsapp.

Dia mempersiapkan diri sebaik mungkin menghadapi tantangan dari ayahnya. Harusnya dia sudah sadar dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Kehilangan sumber penghasilan utama yaitu subsidi dari ayahnya.

Jika berpikir terlalu lama, Birendra akan merutuki segala aksinya yang menentang sang ayah. Namun, dia juga tak bisa begitu saja mengabaikan keinginan sang kakek. Dua-duanya adalah orang yang Birendra jadikan panutan.

Apakah Birendra menyesal dengan keputusannya? Tentu saja tidak. Dia justru semakin mantap untuk membuktikan kepada sang ayah bahwa mewujudkan keinginan kakeknya itu tidak salah. Dia juga yakin, meski melarang, ayahnya dan semua keluarga akan tetap bersamanya.

🍁🍁🍁

Ajeng melirik jam dinding yang berada di ruang tamu. Dia keheranan melihat putra bungsunya itu sudah duduk di meja makan berbalut kemeja biru langit dan celana bahan kain berwarna gelap.

"Pagi amat, Bi? Mau kemana?" tanya mamanya sembari menuang air ke dalam gelas.

"Mau kirim surat lamaran kerja, Ma!"

"Sepagi ini? Memang gerbang sekolah bukanya jam berapa sih, Nak?"

Birendra hanya mengangkat bahunya dan kembali fokus memainkan toples selai coklat di hadapannya. Lelaki itu mengeluarkan dompet dan mulai menarik satu persatu kartu yang bersembunyi di dalamnya. Lantas menyodorkan pada mamanya.

"Bi titip ini buat ayah," ucapnya singkat.

"Kenapa nggak kamu saja yang kasih sama ayah?"

Putra bungsunya itu hanya menggelengkan kepala sambil terkekeh. "Malu sama ayah, Ma!"

"Malu kok bilang-bilang, Bi!" sela Ganesh sembari mengacak pelan rambut Birendra.

"Susah-susah rapihin rambut, malah diacak-acak!"

"Tinggal dirapikan lagi, beres!"

"Mbuhlah, Mas! Aku berangkat!"

Lelaki yang bergelar sarjana itu bangkit, mendekati mamanya lalu mengecup kedua pipi di hadapannya itu. Tak lupa menggamit tangan sang mama dan menciumnya dalam-dalam.

"Doakan usaha Bi membuahkan hasil, Ma! Selamat berangkat sampai pulang lagi ke rumah." Ucapan itu diamini dan berbalas anggukan dan kecupan di puncak kepala Birendra.

"Jangan terlalu capek, cepat pulang, jika tidak bisa sekarang masih ada besok dan lusa untuk mencoba," jawab mamanya.

Birendra kemudian melenggang begitu saja, melewati Ganesh yang berdiri di sebelahnya. Adiknya lewat begitu saja mengabaikan tangan Ganesh yang sengaja dia ulurkan untuk menerima jabat tangan sang adik.

"Asem! Heh ... bocah! Sini, cium tangan Mas Ganesh dulu! Seenak jidat main pergi gitu aja!" Ganesh berteriak memecah kesunyian pagi itu.

"Bodo amat, Mas! Siapa suruh cari gara-gara?"

"Mau kemana sepagi ini?"

"Mau ngelamar!"

"Anak orang?" tanya Ganesh dengan nada kaget.

"Anak monyet, Mas! Khusus buat Mas Ganesh yang kelamaan jadi jones!" jawab Birendra sambil tertawa, sebelum menghilang dari pandangan.

"Ya Allah! Ma, mulutnya Birendra pasti absen terus pas di sekolah. Makanya ngomong nggak aturan banget! Mau kemana sih tuh anak?" adu Ganesh pada mamanya.

"Hush, kamu ini. Adikmu itu mau cari lowongan kerja, ya, kalo dapat sekalian kasih surat lamarannya."

"Emang sudah siap surat lamaran kerjanya?"

Mamanya hanya menganggukkan kepalanya. Ajeng paham anak bungsunya itu sudah menyiapkan surat lamarannya. Satu hal lagi yang perlu dilakukannya, dia harus merestui ketika putranya pamit, apalagi dalam kebaikan. Karena doa ibu adalah doa mustajab yang bisa menembus langit.

Sudah ada empat sekolah yang dia datangi sesuai dengan info yang didapat semalam. Dua sekolah kejuruan, satu SMA negeri, dan satu sekolah jenjang SMP. Sebenarnya Birendra tak perlu repot-repot untuk mengantarkan surat lamarannya, melalui jasa pengiriman, suratnya itu sudah bisa sampai dengan selamat.

Birendra menghentikan laju motornya ketika ponsel dalam tasnya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk yang dia tunggu sejak semalam. Dengan semangat dia mengangkat panggilan itu.

"Asalamualaikum, Bi! Ada di mana?"

"Waalaikumsalam, Bang! Bi lagi di Bundaran Adipura."

"Bisa nggak kamu ke rumah Abang? Ini tentang pertanyaanmu semalam."

"Siap! Bi langsung meluncur ke sana, Abang nggak sibuk 'kan?"

"Enggak, hari ini lagi free."

"Ok, sip! Bi ke tempat Abang sekarang!"

Birendra menutup teleponnya segera setelah dia mengucap salam, kemudian meluncur ke rumah orang yang dia panggil dengan sebutan abang.

🍁🍁🍁

Kemarin, Birendra menghabiskan sorenya di rumah Raditya Rifqie Nugraha atau yang biasa dia panggil Bang Radit. Radit ini merupakan kakak tingkat Birendra di kampus. Hanya saja mereka ada di jurusan yang berbeda. Selain itu, Radit juga masih memiliki hubungan keluarga dengan Birendra, dari pihak Ajeng. Hubungan itu terjalin karena nenek mereka adalah saudara kandung.

Selama di rumah Radit, mereka membahas banyak hal. Saling menanyakan kabar keluarga dan kegiatan masing-masing. Tak lupa juga mereka membahas mengenai lowongan pekerjaan yang Birendra dapat dari salah seorang temannya.

Malam itu, Birendra segera menghubungi Radit ketika dia menyadari bahwa sekolah itu adalah tempat Radit mengajar. Abangnya itu mengabarkan berita yang sangat baik. Ternyata, kepala sekolah sangat tertarik untuk langsung meng-interview Birendra, karena latar belakangnya yang bukan berasal dari dunia pendidikan.

Bayangkan saja, seorang anak sastra bahasa Inggris dengan gigihnya ingin menjadi seorang guru. Birendra mengatakan pada Radit, bukan soal uang yang dia cari, tapi pengalaman bermakna yang dia inginkan, sesuai apa yang diinginkan kakeknya.

Dan, di sinilah dia sekarang, duduk di hadapan Kepala Sekolah SMK Bina Bangsa. Radit mengenalkannya secara langsung kepada sang kepala sekolah. Jangan pikir ini adalah konspirasi ikatan saudara, karena Radit adalah saudara Birendra lantas dia bisa langsung masuk tanpa ada tes ataupun interview.

Salah besar! Semua dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Apalagi dengan nilai cum laude yang didapatnya kemarin. Itu menjadi nilai tambah untuknya Birendra.

Tjahjadi, begitu nama yang tertulis di nametag berlatar hitam. Sebuah nama dengan ejaan lama, yang akrab disapa dengan Pak Tjah. Beliau adalah sosok kepala sekolah yang ramah dan tenang. Keputusan yang diambilnya kali ini adalah yang tercepat, beliau menerima Birendra.

Pak Tjah bahkan meminta Radit untuk mengajak Birendra berkeliling area sekolah saat itu juga.

🍁🍁🍁

"Pak Radit, yang di sebelahnya itu, siapa?" tanya seorang siswi yang berpapasan dengannya di lorong depan kantor.

"Guru baru!" jawab Radit.

"Pak, kenalin, dong!" sambung yang lainnya.

"Kenapa kalian ada di luar kelas? Ini sudah bel masuk 'kan?" tanya Radit.

"Bu Rahayu masih cuti, Pak! Jadi kelas Bahasa Inggris kita hari ini free!" jawab sang ketua kelas yang sedari tadi mencoba menggiring teman-temannya untuk masuk ke kelas.

"Kebetulan! Silakan kalian masuk kelas terlebih dahulu, lalu kita kenalan dengan Pak Guru baru di sebelah Bapak." Radit menunggu siswa-siswi memasuki ruangan, lalu menarik Birendra ke depan kelas.

"Namanya Birendra Sadhana, dia adalah guru pengganti Bu Rahayu untuk sementara waktu. Kalian bisa memanggilnya Pak Birendra atau Mr. Bi," ucapan Radit terhenti dan tergantikan dengan riuh suara siswa yang berteriak.

"Bisa tenang sebentar? Kalau kalian tidak bisa tenang, Pak Radit akan bawa Mr. Bi kembali ke kantor saja." Ajaibnya, kelas yang lebih didominasi oleh siswa perempuan itu hening seketika.

"Sip! Bapak antar Mr. Bi pinjam buku di perpus dulu ya!" ujar Radit sambil menarik Birendra yang mematung canggung di tengah kelas.

"Heh, jangan bengong aja. Nanti aku kenalin sama penunggu perpus! Hati-hati, penunggu perpus yang ini itu cantik, body-nya minimalis, kulitnya putih pucat, masih single juga. Dia ini penunggu tetap perpus Bina Bangsa," ujar Radit di sepanjang jalan menuju perpus.

Dalam benaknya Birendra berpikir, kata "penunggu" selalu identik dengan makhluk halus. Sehingga tanpa sadar itu membuatnya bergidik ngeri. Apalagi tadi abangnya menyebutkan kulit wanita cantik itu putih pucat.

Birendra mengekor di belakang Radit saat memasuki ruang perpustakaan. Hembusan dingin dari AC semakin membuat bulu kuduknya merinding. Matanya memindai seluruh ruangan. Sepi, itu yang membuat Birendra makin merapatkan tubuhnya pada Radit.

"Ngapain mepet-mepet?"

"Serem, Bang!" jawab Birendra pelan.

Radit terus melangkahkan kakinya mendekati meja petugas jaga, dan berhenti secara tiba-tiba. Birendra yang kaget segera menoleh ke arah meja petugas lalu membaca nama yang tertera di atas meja. Lystia Surya Nirmala, itu nama yang tertera.

🍁🍁🍁

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah Birendra.
Tetap setia sama Bi hingga akhir, ya!
Jangan lupa untuk vote dan komen. 😉😉

ONE DAY ONE CHAPTER
#DAY4
Bondowoso, 18 April 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro