Lima

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sejak pengakuan cinta Alta beberapa waktu lalu, hubungan kami jadi sedikit canggung. Setiap pagi aku tak pernah lagi datang ke kamarnya untuk membangunkan tidurnya. Entah, mengetahui bahwa ia jatuh cinta padaku, rasanya aneh. Setiap kali mengingat pengakuan pemuda itu, dadaku berdebar.

Kami tak lagi berangkat sekolah bersama-sama. Biasanya selepas bangun tidur, Alta akan buru-buru mandi dan mengenakan seragam sekalian, lalu beranjak mengantarkan cucian. Dan setelah itu, ia akan meluncur langsung ke sekolah.

"Kenapa Alta nggak sarapan?" tanya ayah heran ketika sudah beberapa hari ini Alta tak bergabung bersama kami di meja makan.

"Dia memang harus berangkat pagi-pagi sekali, katanya ada urusan di sekolah," jawabku berbohong.

"Tapi dia bawa bekal, kan?" Ayah kembali bertanya penuh perhatian.

Aku tertegun. Membayangkan Alta tak makan pagi, aku merasa kasihan. "Iya, aku yang bawakan bekalnya." Dan aku berinisiatif untuk membawakannya bekal.

***

Dengan menenteng kotak bekal, istirahat pertama aku memutuskan ke kelas Alta. Dan tak kutemui cowok itu di sana. Hanya ada beberapa teman sekelasnya yang tengah sibuk mengobrol dan juga makan cemilan. Johnny ada di antara mereka.

"Mencari Alta?" Ia yang berinisiatif bertanya dahulu seraya berdiri menatapku.

Aku tersenyum canggung dan mengangguk. "Dia kemana?" tanyaku.

Johnny menatap rekan-rekannya. "Alta tadi kemana?" Ia bertanya.

Rekan-rekannya menggeleng, ada yang hanya mengangkat bahu.

"Mungkin di perpustakaan." Mereka menerka.

"Kalau begitu aku akan mencoba mencarinya ke sana." Aku menyela, lalu berbalik.

"Haru!" Johnny bergerak buru-buru ke arahku dan menghadang langkah.

"Itu..." Ia tampak ragu. "Kamu belum menjawab suratku," ucapnya pelan.

Aku menggigit bibir, bingung harus memberikan jawaban apa. "Johnny, aku---"

"Sudah kuduga kamu akan menolakku," potong cowok tersebut.

Aku mengernyitkan dahiku. "Aku belum selesai bicara," ucapku.

Johnny membalas dengan senyuman lembut. Tak terlihat kecewa ataupun marah. "Tak perlu kamu jawab pun aku sudah tahu kamu akan menolakku. Karena, aku nggak melihat cinta di matamu, untukku. Tapi nggak apa-apa. Kita bisa mulai dari berteman dulu. Siapa tahu suatu saat nanti, pikiranmu akan berubah. Dan kamu bisa menganggap diriku istimewa di matamu. Oke?" Ia berujar dengan sabar, membuatku makin merasa tak enak padanya.

"Pergilah. Alta mungkin ada di perpustakaan." Ia kembali berujar lalu berlalu meninggalkanku.

Aku hanya mampu mendesah pasrah. Aku tidak terlalu dekat dengan Johnny. Tapi sepertinya ia bukan anak yang jahat. Dan aku merasa akulah yang jahat padanya hanya karena tak bisa membalas perasaannya.

ººº

Aku menemukan Alta di sana, di perpustakaan. Duduk menyendiri di bangku belakang, paling ujung, dekat dengan rak terakhir. Menggunakan kedua lengannya sebagai tumpuan, cowok itu meletakkan kepalanya di atas meja ke arah berlawanan. Entah ia tertidur, atau hanya sedang bermalas-malasan.

Dengan langkah hati-hati aku mendekatinya lalu duduk di bangku yang berada tepat di seberangnya. "Al," panggilku pelan. Tak ada reaksi. Tak ada sahutan, mendongak ke arahku juga tidak.

Meletakkan kotak bekal di sisi tubuhku, pelan aku menyentuh kepalanya, mengelus rambutnya yang tebal, sambil kembali menyebutkan namanya.

Dan akhirnya sosok itu bergerak. Mendongak perlahan, lalu menatap ke arahku dengan mata yang masih setengah terpejam. Untaian poninya yang telah panjang menutupi dahi hingga alis. Sungguh, ia terlihat lucu dan menggemaskan.

"Kak..." Cowok itu memanggil lirih, terlihat sedikit kaget melihat diriku di hadapannya, lalu buru-buru mengucek kedua matanya dengan jemari.

"Kenapa kamu bisa tidur di sini?" desisku. Sosok itu tak menjawab. Sibuk membenahi rambutku yang berantakan dan kembali mengucek matanya.

"Aku membawakanmu bekal," ucapku sambil menunjuk kotak makan di sisiku dengan dagu.

Alta menatapnya sekilas lalu berujar, "Aku sudah makan di kantin tadi—,"

"Jangan bohong," potongku lirih. "Aku tahu kamu nggak membawa banyak uang saku. Paling uangmu hanya cukup untuk membeli bensin, kan?" lanjutku.

"Waktu istirahat masih dua puluh menit lagi. Ayo keluar dan makan. Setelah itu kita akan bicara serius," ajakku.

Tanpa menghiraukan tatapan keberatan dari Alta, aku meraih kotak bekal di sisiku lalu bangkit. Pemuda itu mengikutiku.

ººº

Aku mengajak Alta ke taman di belakang sekolah. Meminta ia duduk di kursi panjang yang berada tepat di bawah pohon Kiara Payung, lalu membukakan kotak bekal itu untuknya.

"Makanlah." Aku menyodorkan sendok ke arahnya.

"Kakak?" Ia menerima sendok itu dengan ragu ketika menyadari bahwa hanya ada satu sendok di sana.

"Aku 'kan sudah makan di rumah," ucapku.

Kemudian tanpa membantah lagi, Alta mulai memakan bekal yang kubawakan dengan lahap.

Jika ada yang bertanya apa yang paling kusuka di dunia ini, selain memasak dan mendengarkan musik, salah satunya adalah melihat Alta yang sedang makan.

Entah, tapi menurutku Alta punya cara yang unik

Ia selalu lahap ketika menyantap makanan, tapi ia akan mengunyah dengan tenang dan tak menimbulkan suara. Selain itu, ia tak suka diajak bicara ketika melakukan ritual itu. Intinya, ia akan makan dengan tenang dan tak mau diganggu.

Kebiasaan itu masih sama persis dengan beberapa tahun yang lalu. Pertama kali datang ke rumah dan bergabung denganku dan ayah di meja makan, begitulah cara dia makan. Tenang, tak menimbulkan suara. Hanya saja waktu itu, ia senantiasa makan dengan gemetar. Ketika kutanya apa dia sakit, ia tak menjawab. Barulah setelah nasi di piringnya habis, ia mengatakan bahwa sudah 3 hari ia tak makan.

Sekarang, aku lega karena tangannya tak lagi gemetaran ketika makan.

Kadang ketika di rumah, aku akan dengan sengaja menggodanya. Mengajaknya mengobrol ini dan itu, mengejeknya ini dan itu, dan sosok itu hanya akan menjawab pendek. Tapi ia akan tetap tersenyum menanggapi ocehanku.

"Terima kasih karena Kakak mau membawakanku bekal." Alta berucap setelah selesai makan. Ia meraih botol minum di tanganku lalu menenggaknya pelan hingga tinggal separo.

"Jadi kenapa kamu selalu melewatkan makan pagi di rumah?" tanyaku. "Apa kamu mulai bosan dengan masakanku?"

"Bukan begitu." Ia menjawab cepat.

"Lalu?" Aku kembali bertanya tak sabaran.

Alta menimang botol minuman di pangkuan tanpa menjawab. Ia terlihat bingung hendak berkata apa.

"Apa karena pengakuanmu beberapa waktu lalu hingga kamu nggak nyaman denganku? Dan akhirnya kau memutuskan untuk menghindariku?" cerocosku lagi.

"Bukan juga." Lagi-lagi Alta menjawab cepat, tanpa menatap ke arahku.

"Jadi ada apa? Jujur ini juga sedikit nggak nyaman buatku. Kita tinggal bersama sebagai adik kakak, lalu tiba-tiba saja kamu mengoceh dengan mengatakan bahwa kamu menyukaiku dan ingin berhubungan serius denganku sebagaimana layaknya perempuan dan laki-laki. Kamu juga bilang bahwa kamu berniat memintaku pada ayah secara resmi, dan ... setelah itu kamu menghindariku." Aku mendesah. "Kamu membuatku bingung, Al."

"Aku nggak menghindarimu, Kak."

Pandangan kami beradu sekilas, sebelum akhirnya aku yang memutus kontak dengannya. Membuang pandanganku ke tempat lain.

Terdengar Alta menarik napas. "Aku serius, Kak. Perasaanku padamu, begitulah adanya. Bahwa, ya, aku jatuh cintamu." Suaranya lirih.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba saja seperti ada ribuan kupu-kupu di tengkukku. Rasanya campur aduk. Gatal, ingin menggaruk. Tapi kemudian rasa gatalnya terasa berpindah-pindah.

"Aku nggak menghindarimu. Tak pula merasa nggak nyaman dengan situasi di antara kita." Alta kembali berujar tenang. "Aku berangkat pagi-pagi sekali karena bekerja."

Aku mentapnya dengan kaget. "Kerja?"

Cowok itu mengangguk.

"Aku menerima tawaran teman untuk mengantarkan susu dan koran. Dan itu bisa kulakukan pagi-pagi setelah selesai mengantarkan cucian," jawabnya.

"Kenapa kamu harus melakukannya? Kenapa kamu harus bekerja? Apa selama ini ayah nggak mampu menghidupimu? Apa selama ini kamu nggak bisa makan enak?" Aku nyaris saja emosi.

Mengetahui bahwa Alta mengambil kerja sampingan tanpa berbicara denganku, dengan ayah, rasanya aku seperti dikhianati.

"Bukan begitu."

"Lalu apa?!" Aku nyaris berteriak, walau sudah.

Alta menggigit bibir sejenak. "Karena aku ingin menabung. Aku ingin mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, agar kelak bisa kugunakan untuk membeli mesin cuci lagi. Aku ingin memperbesar usaha penatu ayah. Ayah sudah semakin ringkih, jadi kelak aku ingin mengambil tugasnya sebagai kepala keluarga. Aku akan bekerja keras agar bisa menjadi lelaki yang diandalkan. Agar kita bisa hidup dengan layak, dan aku punya tabungan yang cukup untuk mewujudkan impianmu pergi ke universitas."

Aku kembali ternganga dengan semua kalimat yang meluncur dari mulut Alta.

"Kenapa kamu harus melakukan semua ini, Al?" tanyaku lirih.

Alta tersenyum. Senyum yang begitu hangat dan tulus.

"Karena aku ingin kita menikah, setelah lulus sekolah. Jadi aku harus menjadi lelaki yang pantas agar bisa meminangmu secara hormat pada ayah," jawabnya.

Tatapan kami kembali beradu. Dadaku berdebar.

Dan tiba-tiba saja ribuan kupu-kupu yang tadi ada di tengkukku seolah pindah ke perut.

Geli, gatal, dan... entah.

ººº

Sepulang sekolah, sesampainya kami di rumah, Alta mengajakku ke kamarnya dengan antusias. Dan dengan bangga ia menunjukkan celengan berbentuk pipa yang mengeluarkan bunyi koin bergemerincing ketika benda itu diangkat.

"Sedikit-sedikit, pasti nanti jadi bukit," ucapnya penuh harap. "Aku sudah punya dua tabungan seperti ini. Lusa, aku berencana pergi ke bank dan membuka rekening di sana," lanjutnya lagi. Ada binar cemerlang di kedua matanya ketika ia mulai bercerita bahwa uang tersebut ia dapat dari mengantar susu di pagi hari dan kerja paruh waktu di sore harinya.

Aku mendesah lalu bergerak mendekatinya. Meraih celengan pipa dari tangannya kemudian meletakannya ke tempat semula. Dan tanpa ragu kutatap cowok itu dengan serius.

"Aku tetap nggak suka kamu mengambil banyak kerja paruh waktu, Al," sanggahku.

Cowok itu mengerutkan bibirnya protes. "Kenapa nggak boleh?"

"Aku nggak ingin kamu terlalu capek. Lagipula kamu masih sekolah dan tugas utamamu adalah belajar. Ayah masih sanggup menghidupi kita berdua. Jadi, daripada banting tulang seperti ini, belajarlah yang rajin agar kita lulus dengan baik dan kita bisa dapat beasiswa untuk pergi ke universitas, bersama-sama," jelasku sambil duduk di pinggir ranjang.

Cowok itu menggeleng cepat. "Sudah kubilang aku nggak akan pergi ke universitas," jawabnya.

"Kenapa nggak?"

"Kakak saja yang pergi. Aku akan di rumah, bekerja mencari uang, dan bisa menjadi lelaki yang bisa diandalkan," balasnya.

"Al, kamu masih belum cukup matang untuk membicarakan ini ..." Aku mengerang. "Dan belum tentu Ayah setuju dengan rencanamu. Maksudku, secara hukum kita adalah saudara. Ayah takkan memperbolehkan kita punya hubungan lebih dari itu."

Kali ini Alta terlihat ragu.

"Lagipula, aku belum bilang bahwa aku setuju menjadi kekasihku," jawabku lirih sambil menunduk, dan sesekali melirik ke arah cowok tersebut.

Dan kulihat ia mengulum senyum.

"Aku yakin Kakak mau." Ia berujar percaya diri.

Aku sempat merutuk dalam hati. Sejak kapan adik angkatku yang introvert ini jadi tengil begini?

Aku beringsut ketika sosok itu ikut duduk di sisiku. Dengan bibir yang masih tersenyum, ia menelengkan kepalanya ke arahku. "Mau, kan?"

Dan lagi-lagi aku merasakan dadaku berdebar.

Jadi aku harus jawab apa? Faktanya, aku dan Alta bukan saudara kandung.

Dan sejak mendengar pengakuan cintanya beberapa waktu lalu, jantungku berdebar terus manakala kami berdekatan. Aku tak bisa lagi menganggapnya sebagai adik.

"Muka Kakak merah," godanya. Senyum tak berhenti tersungging di bibirnya yang tipis.

Aku menoleh dan membuat wajah kami berhadapan. Kemudian dengan kesal aku berujar, "Kalau begitu jangan panggil aku 'Kakak'."

Kedua mata kami beradu. Alta kembali tersenyum lembut.

"Faktanya aku memang nggak pernah menganggapmu sebagai kakakku, Haru ... " Dan setelah memanggil namaku, ia mendekatkan wajahnya lalu mengecup pipiku.

"Aku nggak mau jadi adikmu. Aku ingin jadi kekasih hatimu," bisiknya.

Dan untuk pertama kalinya, aku melihat kedua mata Alta ... hidup.

°º°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro