Empat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bersedekap dan menatap Alta dengan perasaan jengkel bercampur bingung.

"Jadi kenapa kamu nggak suka kalau aku dekat dengan Johnny ataupun cowok lain?"

Alta menunduk sejenak, mengetukkan jemarinya di atas meja dengan gusar.

"Al!" teriakku. "Ayo jawab, kenapa kamu nggak suka aku dekat-dekat dengan mereka?"

Alta menoleh ke arahku, menelan ludah, lalu buru-buru bangkit. "Ah, sudahlah, Kak. Aku ingin istirahat."

Ia memutar bahuku lalu mendorong tubuhku dengan kalem menuju pintu.

Dan dia mengusirku?

Setelah berhasil membuatku keluar dari kamarnya, ia membanting pintu. Menutupnya dari dalam dan terdengar bunyi klik. Astaga, dia menguncinya?

"Alta!" Aku berjingkat dan menggedor pintu. "Ada apa denganmu?" teriakku. Kugerak-gerakkan gagang pintu, dan benar saja, ia menguncinya dari dalam.

Seumur-umur, baru kali ini ia melakukannya. Sungguh, selama ini ia tak pernah mengunci pintu kamarnya.

"Kamu ini kenapa?!" teriakku lagi. Dan pintu tetap tak dibuka. Jawaban pun tak ada.

°°°

"Vey, aku benar-benar minta maaf. Acara makan siang kemarin nggak sesuai ekspektasi," ucapku tulus. Istirahat paruh kedua, aku yang nekat datang ke kelasnya.

Jarang-jarang lho aku main ke kelasnya. Lebih sering Vey yang nyasar ke kelasku. Tapi karena aku merasa tak enak akan kejadian kemarin, akhirnya aku berinisiatif menemuinya langsung.

Vey yang tadinya bermalas-malasan dengan menyandarkan kepala di atas meja, bangkit, lalu menatapku serius.

"Haru, katakanlah dengan jujur. Apa ini artinya aku dan Alta nggak ada harapan?" ucapnya.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Maksudku---," Vey mengibaskan rambutnya sejenak sebelum kembali menjawab, "Apakah nggak ada harapan bagiku untuk bisa lebih dekat dengan adikmu. Kamu tahu aku bukan cewek yang jelek. Teman-teman bilang aku salah satu murid paling cantik di Sekolah ini. Tapi kenapa adikmu sepertinya nggak tertarik padaku?"

Aku menggigit bibir sungkan. "Itu..."

"Kamu nggak ada hubungan lebih jauh 'kan dengan adikmu?"

Aku melotot. "Hah?"

Cewek itu mengangkat bahu. "Kamu hanya menganggapnya adik 'kan?"

"Aku nggak mengerti arah pembicaraanmu?"'

Vey memutar bola matanya lalu menghembuskan napas. "Hubungan kalian nggak seperti adik dan kakak. Kalian begitu... dekat. Kamu menatapnya dengan tatapan posesif sementara Alta senantiasa menatapmu dengan hangat. Berbicara padamu dengan mata berbinar. Jujurlah padaku dengan arah hubungan kalian, agar aku bisa mundur teratur. Maksudku, jika kalian ada hubungan yang lebih intim, maka..."

"Vey, dia adikku!" semprotku.

"Dia hanya adik angkat, kalian bukan saudara kandung. Jadi jika kalian berkencan, itu sama sekali nggak melanggar aturan," jawabnya.

Aku ternganga. Tak mengira dengan arah pertanyaan Vey.

Buru-buru aku bangkit, "Bodo ah."

Dan aku keluar dari kelas Vey dengan bersungut-sungut. Tubuhku serasa diserang hawa panas, entah apa sebabnya.

Baru beberapa langkah keluar dari kelas Vey, tiba-tiba saja Alta muncul dari kelokan lorong dan langsung menyamai langkahku.

Saling tatap sekilas tanpa bersuara, kami terus berjalan.

Teringat pertanyaan tentang Alta, tiba-tiba saja aku merasa gerah.

"Ngomong-ngomong, kamu dari mana?" Aku membuka pembicaraan.

"Dari sana mau ke situ." Alta menjawab asal tanpa mau repot menjelaskan lebih detil.

Aku menyipitkan mata bingung. Jawaban yang rancu.

"Kelasmu kan nggak lewat sini?" tanyaku.

"Aku bisa memutar," jawabnya asal, lagi. Dan cowok itu terus saja mengikuti langkahku hingga depan kelasku.

Ketika hendak memasuki kelas, tanpa sengaja mataku menangkap sosok jangkung yang mengendap-endap dari balik kelas lain dan terlihat jelas ia tengah mencuri pandang ke arahku dan juga ke arah Alta dengan pandangan was-was.

Johnny.

Untuk apa ia sembunyi-sembunyi seperti itu?

Aku menatap ke arah sosok itu lalu ke arah Alta secara bergantian, dan segera aku memahami situasi yang tengah kualami.

"Alta, apa kamu sengaja mengikutiku hingga sini agar Johnny nggak menyapa dan berbicara denganku?" tanyaku kesal.

Alta menatap sekilas. "Begitulah," jawabnya enteng.

Aku melongo.

"Sebenarnya....?"

Bel masuk berbunyi.

"Sudah kubilang aku nggak suka kakak dekat-dekat dengannya," potongnya. "Aku ke kelasku dulu." Ia berbalik lalu kembali melewati jalanan tadi hingga mau tak mau ia berpapasan dengan Johnny yang menunjukkan ekspresi kesal.

Dari depan kelasku, aku bisa menyaksikan bahwa dua teman sekelas itu saling menatap dengan jijik, sebelum akhirnya berjalan searah menuju kelas mereka dengan wajah melengos satu sama lain.

Aku menatap mereka dengan bingung.

°°°

Pergantian jam pelajaran dan anak-anak mulai ramai ketika guru mata pelajaran berikutnya tak kunjung datang.

Aku duduk malas-malasan di bangkuku, bangku paling belakang dekat jendela, bangku terfavorit. Mendengkus bosan sambil sesekali menatap langit mendung manakala bisikan itu terdengar.

Seseorang memanggil namaku.

"Haru..."

Panggilan itu terjadi beberapa kali hingga membuat bulu kudukku merinding. Tapi siang hari tak ada setan, 'kan?

"Haru..."

Dan terjadi lagi.

Menatap sekeliling sekilas, aku tak menemukan bahwa salah satu teman kelasku tengah memanggil diriku. Hingga akhirnya panggilan itu kembali terjadi.

"Haru..." Lirih.

"Di sini, di bawah jendela..."

Was-was aku bangkit lalu melongokkan kepalaku keluar jendela.

Dan di sana, tepat di bawah jendela, sosok jangkung itu duduk meringkuk di antara bunga-bunga.

Aku nyaris saja menjerit jika saja pemuda itu tidak buru-buru melotot ke arahku lalu meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.

"Jangan berteriak," pintanya.

Aku melongo. Sosok jangkung itu terlihat mendekam tak nyaman. Bahkan beberapa kali ia mengibaskan bajunya yang dikerubuti semut.

Melihat situasinya, aku nyaris saja tergelak.

"Astaga, apa yang kamu lakukan?" bisikku.

Cowok itu meniup poni yang menutupi dahinya lalu mendengus lirih.

"Aku berusaha berbicara denganmu. Tapi adikmu selalu saja menguntitku dan nggak pernah membiarkanku mendekatimu," protesnya.

Aku meringis. "Oke, maafkan Alta ya. Jadi, apa yang kamu lakukan di sini?"

Johnny meraih sesuatu dari sakunya lalu menyodorkannya padaku.

Sebuah amplop yang nyaris kusut.

"Apa?"

"Surat untukmu," jawab Johnny. "Dariku," lanjutnya.

"Sudah ya. Baca dulu saja. Aku harus buru-buru pergi, kalau enggak ..." Cowok itu mengaduh ketika seekor semut merah menggigit lehernya.

Aku tak tahan untuk tak tertawa.

"Ah, pokoknya aku pergi dulu ya." Ia buru-buru bangkit. Dan selanjutnya ia kembali mengaduh ketika tanpa sengaja keningnya terantuk daun jendela di atasnya.

Aku meringis, lalu tergelak kembali menyakskan dirinya.

Johnny hanya nyengir lalu buru-buru pergi.

Setelah sosoknya lenyap, aku membuka amplop darinya dan buru-buru mengeluarkan isinya.

Dan tampak di sana, sebuah tulisan di atas kertas warna merah muda yang seolah ditulis dengan buru-buru.

Aku sudah bilang bahwa aku mencintaimu, kan?

Tolong segera diberi jawaban.

Johnny.

Aku mengernyit. Lah? Hanya ini isinya? Astaga, kenapa tidak bicara secara langsung saja?

Dan sejurus kemudian, lagi-lagi aku tertawa manakala mengingat kelakuan pemuda itu.

°°°

Setelah bel pulang berdentang, dan hanya hari-hari tertentu saja, biasanya aku akan tinggal selama lima belas menit di kelas untuk bersih-bersih.

Piket sepulang sekolah memang sudah menjadi tugas tambahan buatku. Dan ini sudah menjadi kesepakatan bersama dengan rekan sekelas karena aku menolak membayar uang kas atau iuran kelas.

Bukannya pelit, tapi untuk sekolah elit seperti sekolah ini, dan untuk siswa miskin sepertiku, membayar iuran kelas sudah lumayan membebani. Ayolah, SPP sudah mahal, kalau masih harus ditambah uang ini dan itu, aku tak sanggup. Kasihan ayah.

Akhirnya ya beginilah. Mereka membebaskanku dari iuran, dan sebagai gantinya, aku harus membersihkan kelas. Tak masalah.

Ngomong-ngomong, Alta juga melakukan hal yang sama.

Dan sebetulnya, ada juga siswa miskin lain yang melakukan hal seperti ini.

"Haru!"

Aku hampir menyelesaikan tugasku ketika panggilan itu terdengar. Rachel menyeruak ke kelasku dengan tergopoh-gopoh.

Melihat kedatangannya, tiba-tiba saja firasatku tak enak.

"Alta ribut lagi sama Johnny!"

Aku mendengkus. Tuh 'kan?

"Di mana?" tanyaku lelah.

"Di lapangan basket."

°°°

Johnny dan Alta masih ribut-ribut ketika aku sampai di sana.

Hanya saja keributan mereka kali ini tak separah beberapa waktu yang lalu di mana mereka harus adu jotos.

Mereka terlibat keributan verbal, lalu saling tarik baju, dan kemudian saling dorong. Dan sebelum mereka benar-benar saling menggigit satu sama lain, aku menengahi.

"Perlu kupinjamkan sarung tinju? Aku capek mendengar kalian ribut terus!"

Kedua pemuda itu berhenti saling dorong lalu mendengkus.

"Sebenarnya ada apa dengan kalian?" tanyaku kesal.

"Sudah kubilang aku nggak suka Johnny mendekatimu, Kak." Alta menjawab tanpa ragu.

"Apa hakmu melarangku. Kakakmu saja nggak protes? Ia mau kok menerima surat dariku. Ya 'kan?" Kali ini Johnny menatap ke arahku.

Aku meringis. Apa pentingnya sih dia menceritakan itu pada Alta?

Bisa-bisa mereka bakal ribut terus.

"Kamu...!" Alta menyeruak dan berusaha menjangkau Johnny. Tak mau kalah, pemuda itu juga melakukan hal yang sama. Dan aku terpaksa berdiri kembali di tengah demi mencegah keributan pecah.

"Jika kalian benar-benar mau berkelahi, maka aku akan pulang, dan aku nggak akan peduli dengan apa yang terjadi pada kalian!" teriakku.

Alta dan Johnny berpandangan, masing-masing berusaha menahan diri.

Aku buru-buru menarik lengan Alta, "Ayo pulang."

Enggan menuruti ajakanku, tetap saja Alta melangkah meninggalkan lapangan basket dengan berat hati.

Di luar dugaan, ketika baru saja kami sampai di ambang pintu, Johnny mencebikkan bibirnya ke arah Alta dengan ekspresi provokatif. Sesekali ia menjulurkan lidah, lalu menunjukkan jari tengah.

Dan aku baru menyadari bahwa cowok jangkung itu ternyata lebih kekanak-kekanakan adikku. Duh.

Sudah bisa dipastikan, Alta terprovokasi dengan ulah Johnny.

"Maju sini kamu!!" Alta menyentakkan lenganku lalu berlari ke arah Johnny.

Johnny lari menjauh dan Alta tak segan untuk mengejar. Hingga tak pelak, dua teman sekelas itu berlarian ke penjuru lapangan basket layaknya anak kecil.

Aku memutar bola mataku kesal.

"Aku mau pulang!" ancamku.

Nyatanya dua cowok itu masih saja tak berhenti kejar-kejaran.

Sempat terpikir untuk meninggalkan mereka, tapi tetap saja aku tak tega.

Dan begitulah akhirnya. Aku ikut berlarian di lapangan basket demi mencegah mereka adu jotos.

"ALTAAA!!!!! JOHNNYYYYYY!!!!"

°°°

Kami pulang telat karena keributan tersebut. Ketika sampai rumah, ayah tengah keluar mengantarkan cucian.

Dan aku langsung melabrak adikku di kamarnya, sesaat setelah ia berganti baju.

"Alta, jika kamu terlibat keributan lagi, akan kuadukan pada ayah!" ancamku.

Cowok itu mematung, tak menatapku, tak berusaha mendebatku. Dan justru iku membuatku makin jengkel.

"Sebenarnya ada apa antara kamu dan Johnny? Kalian ribut terus kalau bertemu!"

"Karena dia bilang dia jatuh cinta padamu dan dia ingin jadi cowokmu." Akhirnya ia menjawab, sambil menatapku sekilas.

Aku bersedekap, menghembuskan napas lelah.

"Lalu kenapa jika dia mencintaiku? Apa masalahya?"

"Masalahnya adalah, aku juga mencintaimu."

Aku menyipitkan mata manakala mendengar jawaban Alta. Mencoba melakukan kontak mata dengannya, tapi dia menghindar.

"Aku juga mencintaimu, Al. Aku menyayangimu, aku mengasihi dirimu karena kamu adikku satu-satunya. Dan..."

"Bukan begitu, Kak." Cowok itu memotong. Mengusap tengkuk, lalu mengarahkan tatapannya padaku.

"Aku nggak pernah menganggapmu sebagai kakak," ucapnya.

"Al ..." desisku.

"Aku nggak pernah menganggapmu sebagai kakak. Aku menyukaimu sebagai seorang lelaki yang mencintai perempuan. Seperti apa yang dirasakan Johnny padamu."

Punggungku kaku, kedua tanganku luruh. Apa maksudnya ini?

"Haru..." Ia memanggil namaku lirih.

"Dulu hidupku hampa. Aku nggak punya tempat berlindung yang disebut rumah dan keluarga. Namun sejak ayah membawaku kemari, hidupku berubah. Aku tahu rasanya hidup bahagia, karena dirimu. Sejak bertemu denganmu, sejak kau tersenyum padaku, sejak kamu merawatku, memperlakukanku dengan manis, dadaku berdebar. Aku senang kamu memanggil namaku, membangunkanku setiap pagi, membuatkan makanan untukku, merawat ketika aku sakit, memperhatikanku, bahkan memarahiku ketika aku berbuat salah." Cowok itu menelan ludah. "Dan, aku benar-benar ... jatuh cinta padamu."

Pandangan kami terkunci satu sama lain.

"Aku ingin tumbuh menjadi lelaki yang mampu diandalkan. Lulus dengan baik, lalu mencari pekerjaan. Aku nggak akan pergi ke universitas agar kita nggak menghabiskan uang. Dan setelah itu, aku akan bicara terus terang pada ayah bahwa... aku nggak bisa lagi menganggapmu sebagai Kakak. Aku ingin... kita menikah."

Kerongkonganku terasa kering seketika. Tak menyangka bahwa bocah yang hidup bertahun-tahun bersamaku ini mengatakan bahwa ia... mencintaiku?

°*° 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro