Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku bangun keesokan paginya dan merasa terkejut ketika mendapati Alta memasuki halaman rumah dengan motor matic kesayangannya. Menatap bergantian ke arah jam di dinding yang menunjukkan pukul 5 lewat 5 menit, lalu ke arah Alta yang tengah sibuk memarkir sepeda motor.

"Darimana?" tanyaku bingung.
Alta menatapku sekilas, melepas helm, lalu meletakkannya di atas seat motor.
"Mengantarkan cucian," dan ia menjawab singkat.

Aku mengerjap. "Hah?"

"Semua cucian bersih sudah kuantarkan ke alamat masing-masing. Jadi mulai sekarang, kakak nggak perlu lagi melakukannya karena aku yang akan mengambil alih semua tugas itu." Ia menjelaskan.

"Kenapa begitu?"

"Agar kita nggak perlu menggunakan motor terpisah dan kita bisa berangkat serta pulang sekolah berboncengan. Aku sudah berdiskusi dengan ayah dan beliau mengijinkan."

Aku merapikan rambutku yang masih acak-acakan. Masih setengah mengantuk bercampur bingung.  "Ada apakah ini? Mengapa kamu yang mengantarkan semua cucian? Dan kenapa mulai sekarang kita harus berboncengan?"

"Pokoknya begitu saja." Alta menjawab pendek seraya melangkah melewatiku, menuju kamarnya sendiri.

"Al ….?" panggilku.

Dan cowok itu tetap melangkah tanpa menoleh kembali padaku.

Diliputi rasa kesal, aku bergerak mencari ayah. Menemukan kamarnya yang sudah kosong, akhirnya aku menemukan lelaki itu tengah memilah-milah baju yang nantinya akan ia cuci.

"Apa ayah yang menyuruh Alta mengantarkan semua cucian?" tanyaku langsung.
Ayah berhenti sejenak dari kegiatannya menenteng baju-baju kotor, lalu menoleh padaku.

"Enggak. Dia bangun pagi-pagi sekali lalu mengantarkan cucian-cucian itu atas inisiatifnya sendiri. Tadinya aku sudah melarang, takut dia kelelahan. Apalagi baru jam empat pagi dan cuaca sedang nggak bagus. Aku takut ia kedinginan. Tapi, tetap saja ia melakukannya," jawabnya.

Bibirku mengerut.
"Ayah nggak bohong, kan? Ayah nggak memaksanya kerja paksa, kan?"

Ayah terkekeh mendengar perkataanku. "Seolah aku ayah angkat yang jahat saja," ucapnya. Ia menggeleng. "Enggak, Haru. Ayah nggak memaksanya. Aku menyayangi Alta sebagai anak sendiri, sama seperti dirimu." Dan ia kembali melakukan pekerjaannya dengan santai.

Aku bersungut kesal lalu melangkah meninggalkannya, membuat sarapan di dapur. Dan begitulah akhirnya. Mulai hari itu, Alta yang mengantarkan semua cucian. Setiap hari ia bangun jam empat pagi lalu mengantarkan cucian-cucian itu ke rumah pelanggan. Dan tindakan itu akhirnya membuat kami harus berboncengan manakala berangkat dan pulang sekolah.

Keuntungan lain, akhirnya sepeda motorku harus tinggal di rumah, dan ayah bisa memanfaatkannya untuk berbelanja kebutuhan laundry, sekaligus mengambil cucian kotor di rumah pelanggan.

Aku sempat protes pada Alta dan memintanya berhenti melakukan 'jadwal' baru seperti ini. Dan jawabannya selalu sama, "Pokoknya kita akan berangkat dan pulang sekolah berbarengan."

Singkat, padat, dan teramat jelas. Dan tak mau dibantah.

Duh, ini yang lebih tua siapa sih sebenarnya?

°°°

"Hai."
Cowok itu datang ke kelasku tanpa pemberitahuan lalu menyapa dan tersenyum kaku.
"Aku ingin bicara berdua saja denganmu, bisakah?" pintanya. Ada nada gugup pada suaranya.

Aku yang sedang duduk santai di bangkuku ketika jam istirahat hanya terdiam sejenak. Bingung ingin memberikan tanggapan seperti apa.
Johnny terlihat serius ingin berbicara denganku. Tapi begitu mengingat keributan yang Ia buat dengan Alta, lalu teringat juga alasan mereka ribut, tiba-tiba aku jadi kesal.

Lebih baik Johnny mengolokku, menghinaku, atau bahkan mengatakan hal buruk tentangku seperti yang dilakukan anak-anak yang lain. Daripada harus mendengar ia membicarakan tentang... payudara, rasanya risih.

"Haru, please. Hanya sebentar saja." Johnny kembali berujar, kali ini terdengar setengah memohon.

Aku mendesah, lalu bangkit. "Baiklah, ayo ke taman belakang. Tapi hanya sebentar." Aku berjalan mendahuluinya.

°°°

"Aku ingin minta maaf." Cowok itu berucap.
Aku bersedekap angkuh, tanpa membalas tatapan matanya. Serius deh, ini seolah aku yang baru saja terlibat keributan dengannya, bukan Alta.

"Aku mengucapkan hal yang nggak pantas tentangmu. Aku nggak bermaksud berkata buruk, tapi Alta keburu salah paham. Ia pikir, aku melecehkanmu. Padahal, aku... aku hanya ingin memujimu." Johnny terdengar gugup.

Aku meliriknya sekilas, menatap ia menyisir rambutnya dengan gusar, lalu kembali membuang pandanganku ke tempat lain.
Walau Johnny satu kelas dengan Alta, tapi aku jarang berinteraksi dengannya. Dan sekarang aku seolah baru sadar bahwa cowok ini begitu tinggi. Tubuhnya menjulang, beberapa kali aku merasa leherku pegal karena terlalu lama mendongak padanya.

"Aku benar-benar ingin memujimu, Haru. Walau mungkin... kata-kataku memang nggak pantas." Ia melanjutkan. "Itu karena... aku terlalu menyukaimu, sejak kelas satu."

Aku terbatuk. Hah?
Aku mendongak dan pandangan kami beradu. "Kamu bilang apa?"

"Aku... menyukaimu." Ia kembali menjawab, lebih gugup. Ada semburat merah menghiasi wajahnya.
Johnny ... menyukaiku?

"Haru, aku..."

Kalimat Johnny terhenti ketika tiba-tiba ada sosok lain menyeruak di antara kami, lalu mendorong tubuh Johnny menjauh.

"Jauhi kakakku!" Ia berteriak.

Aku tercengang. Alta!

Johnny yang sempat terjatuh di rerumputan buru-buru bangkit lalu membalas mendorong Tae.
"Apa hakmu, hah?" teriaknya.

"Jangan dekati kakakku!" Alta membalas. Dan tak pelak, sempat terjadi aksi dorong di antara mereka.

Aku buru-buru menengahi dan menyeruak di antara mereka.
"Woa, tenang bung! Ada apa ini? Aku nggak suka adegan ribut-ribut di depanku! Ini bukan drama!" bentakku.

Johnny bersungut-sungut, ekspresi kesal tak bisa disembunyikan dari wajahnya, begitupula dengan Alta.

"Aku serius, jauhi kakakku." Alta kembali berujar, kali ini suaranya dalam.
Dan tanpa mengatakan sesuatu hal lain, ia menarik tanganku dan membawaku pergi menyusuri pinggir lapangan, menjauhi Johnny.

"Al, ada apa denganmu?" tanyaku.

Alta buru-buru melepaskan pegangan tangannya lalu terus berjalan mendahuluiku.
Aku mematung sejenak.
"Alta!" teriakku.
Dan cowok itu tak mengatakan apapun, menoleh saja tidak.

Ia terus melangkah, meninggalkanku jauh di belakang.
Dan aku berinisiatif untuk berlari mengejarnya lalu memukul punggungnya dengan gemas. Dan sosok itu hanya mengaduh lirih, lalu kembali berjalan, menghindari kontak mata denganku.

Astaga bocah ini!

°°°

"Aku nggak suka kamu terlibat keributan dengan Johnny, atau dengan siapapun."

Malamnya, setelah selesai mengerjakan tugas Matematika, aku menemui Alta di kamarnya.
Cowok itu tengah asyik mencoret-coret buku sket. Alta memang hobi menggambar. Ia pernah mengungkapkan padaku bahwa kelak, ia tertarik ingin mempelajari tentang desain interior.

"Al ..." panggilku, mencoba mengalihkan fokus Alta pada buku sket di depannya.
"Iya, maafkan aku. Aku nggak akan ribut dengan Johnny lagi, atau dengan siapapun." Akhirnya ia menjawab, enteng, tanpa menatap ke arahku.

Hanya begitu saja? Ia tak ingin mendebatku? Atau mengatakan apa kek, kalimat yang lebih panjang dari ini? Aku tahu Alta memang irit bicara, tapi terkadang ini kebangetan.

"Kamu sudah membaca surat dari Vey?" Aku masih mencoba mengalihkan perhatian cowok itu. Dan akhirnya ia mendongak dan menatapku bingung.

"Surat?" Ia balik bertanya.

"Iya, surat yang kuberikan padamu sejak dua hari yang lalu."

Alta menggigit bibir sejenak lalu dengan dagunya, ia menunjuk tempat sampah mini di bawah meja belajarnya.
Aku mengikuti arah tatapannya, melongok ke dalam tempat sampah tersebut dan mendapati surat dari Vey ada di sana.

"Alta! Apa yang kamu lakukan?!" Aku buru-buru menyambarnya dan mendapati surat itu masih tertutup sempurna sama seperti ketika aku memberikannya.
"Kamu juga belum membacanya?" tanyaku.

Alta menggeleng.

Aku mendengkus kesal. "Kalau kamu memang nggak ingin membacanya, setidaknya jangan membuangnya ke tempat sampah. Ini nggak sopan, Al," omelku.

"Kakak saja yang baca," titahnya pendek.

"Surat ini untukmu!" Aku menjerit.

"Aku nggak tertarik untuk membacanya." Ia kembali menyahut. Cowok itu bangkit, merapikan alat-alat gambarnya, lalu menatanya dengan rapi di laci.

"Ah, terserahlah," ucapku sebal sambil melemparkan surat itu ke hadapan Alta.
Bodo ah.
Aku tak ikut campur.

°°°

Bel tanda pulang baru saja berdentang ketika Vey sudah menyeruak ke kelasku dan bergelayut mesra di lenganku.

"Vey..." Aku mengerang sambil berusaha melepaskan gelayutan tangannya.
Vey cuma nyengir.
"Aku tadi nekat menemui Alta di kelasnya dan mengajaknya makan siang. Dan ini benar-benar suatu keajaiban karena ia bersedia." Cewek itu berujar riang di dekat telingaku.

Aku nyengir. Alta mau diajak keluar oleh seorang cewek? Tumben?

"Kalau begitu bersenang-senanglah. Aku akan pulang naik bis saja," jawabku.

Raut muka Vey berubah masam. "Masalahnya adalah, Alta bersedia keluar denganku jika kamu ikut serta," jawabnya tak bersemangat.

Aku ternganga. "What?!"

°°°

Dan begitulah akhirnya, kami bertiga mampir sejenak di sebuah kafe untuk makan siang. Vey yang traktir. Ketika menunggu pesanan kami diantarkan, Vey pergi sejenak ke kamar mandi.
Dan aku memanfaatkan kesempatan itu untuk 'melabrak' Alta.

"Jadi kenapa tiba-tiba kamu bersedia diajak keluar olehnya?" tanyaku dengan gigi terkatub karena masih merasa jengkel.

"Ungkapan rasa bersalah karena telah membuang suratnya ke tempat sampah." Alta menjawab pelan tetap dengan ekspresinya yang datar.

"Lalu kenapa kamu harus mengajakku ikut serta, sih?" Aku mencoba menahan diri untuk tidak berteriak. Alta tak menjawab.
"Al ..." panggilku jengkel.

"Hanya ingin kakak ikut serta, begitu saja."

Seorang pelayan mengantarkan pesanan kami dan beberapa saat kemudian Vey datang. Hingga mau tak mau, pembicaraanku dengan Alta terhenti.

Selama acara makan siang, aku dan Vey yang justru banyak mengobrol. Sementara Alta cuma diam tak bersuara seraya menikmati makanannya dengan kalem. Aku bahkan beberapa kali menendang kakinya dengan maksud agar dia mau ikut mengobrol atau sekadar menyunggingkan senyum ke arah Vey. Nyatanya, ia tetap saja duduk anteng di kursinya dan terus menikmati makanannya.

"Makan yang banyak ya, Al." Vey mengambil lauk dan sayuran dari mangkuk besar lalu menaruhnya ke piring Alta.
Kupikir cowok itu akan berkata ketus. Nyatanya ia mendongak dan menatap Vey lalu menyunggingkan senyum sopan.
"Terima kasih. Tapi aku nggak makan sayuran." Ia menyingkirkan sayuran yang ada di piringnya. Mengambilnya dengan sendok garpu lalu meletakkan di piring lain.

"Kata siapa kamu nggak makan sayuran? Di rumah 'kan kamu sering memakannya," sahutku.

"Aku memakannya karena Kakak yang memasak. Selain itu, nggak." Alta menjawab tanpa beban.

Hening.

Aku sempat melirik ke arah Vey dan ada ekspresi tak nyaman di wajahnya. Aku buru-buru berdehem lalu menenggak air putih dari gelasku.

"Oh ya, Haru. Kudengar Johnny menyatakan cinta padamu, ya?"

Glek, aku nyaris tersedak mendengar pertanyaan Vey.
Aku terkekeh. "Dapat gosip darimana?"

"Dari anak-anak yang lain. Al, kamu satu kelas dengan Johnny, kan? Itu benar, kan? Bahwa Johnny jatuh cinta pada kakakmu."

Alta tak menjawab pertanyaan Vey. Ia sempat menjatuhkan tatapannya padaku dengan ekspresi yang tak mampu kuterjemahkan. Perlahan ia bangkit. "Ayo, pulang. Aku sudah selesai makan," ucapnya.

Aku dan Vey menatapnya bingung.
"Tapi aku 'kan belum selesai makan," ucapku.
"Kalau begitu aku pulang dulu. Kakak pulang naik bis." Dan Alta beranjak.

Sungguh, ia melenggang santai keluar dari kafe menuju tempat parkir.
Aku ternganga.
"Al!" jeritku sebal, mengabaikan beberapa tamu yang menatapku kaget.

°°°

Aku tak paham apa yang sebenarnya terjadi dengan Alta. Tiba-tiba saja ia jadi uring-uringan. Setelah meninggalkanku di kafe dengan Vey, dan setelah membiarkanku pulang dengan naik bis, aku menghambur ke kamarnya dengan rasa marah hingga ke ubun-ubun.

Cowok itu hanya duduk santai sambil mencoret-coret buku sket kesayangannya.

"Kamu nggak sedang PMS, kan? Kenapa sikapmu jadi begini?" tanyaku.

Alta tak segera menjawab. "Nggak kenapa-kenapa," ujarnya kemudian.

"Jangan bohong. Aku tahu kamu marah akan sesuatu. Jadi apa yang terjadi denganmu? Apa hari ini kamu terlibat keributan lagi?"

"Enggak."

"Lalu?"

Lagi-lagi ia tak menjawab. Sungguh, menghadapi anak introvert yang irit bicara jauh lebih sulit daripada menghadapi seseorang yang blak-blakan. Dan itu yang kurasakan pada Alta.

"Apa kamu terlibat keributan dengan Johnny lagi?"

Kali ini Alta menatap lurus ke mataku. "Aku nggak suka kakak dekat-dekat dengannya," ucapnya.

Aku mengangkat bahu, "Siapa? Johnny? Aku nggak dekat dengannya."

Alta menggigit bibir. Lagi-lagi aku menangkap ada semburat merah di wajahnya.
"Aku... aku juga nggak suka melihat kakak dekat dengan cowok manapun. Tidak Johnny, tidak juga yang lainnya." Kalimatnya pelan, namun dalam dan tegas.

Aku menatapnya bingung.

Eh?

Apa maksudnya?

°°°

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro