Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aroma wangi menguar dari amplop berwarna biru muda yang sejak tadi kupegang. Aku sudah memperhatikannya dengan saksama. Berharap aku bisa punya kekuatan supranatural yang mampu mengetahui isinya tanpa harus membuka diam-diam.

Iya, ini surat cinta. Dari Vey, untuk Alta. Ia meminta tolong agar aku mau menyerahkan padanya.

Jadi, apa isinya?

Puisi romantis?

Kata-kata indah nan puitis?

Atau, to the point ingin dijadikan pacar?

Vey 'kan orang yang blak-blakan.

"Lho, Haru. Kamu belum pulang?"

Suara itu tiba-tiba membuatku berjingkat. Buru-buru aku memasukkan kembali surat itu ke dalam tas lalu menoleh ke arah pintu.

Tampak pak penjaga sekolah sudah ada di sana sambil membawa rentengan kunci di tangan.

Kegiatan belajar mengajar sudah bubar sejak satu jam yang lalu. Ia pasti hendak mengunci kelas.

"Tadi masih sibuk membantu anak-anak OSIS di aula, Pak. Menyiapkan ruangan untuk acara lomba karya seni lusa." Aku buru-buru menarik resleting tas lalu bangkit.

"Saya sudah mau pulang kok, Pak." Aku menyambar tasku dan bergerak ke arah pintu.

"Selamat sore, Pak." Aku menyapa lagi lalu pamit pergi. Berjalan melewatinya dengan sopan kemudian berlari-lari menyusuri lorong kelas yang sudah sepi.

°°°

Ketika baru keluar dari pintu gerbang, aku dibuat kaget karena menyaksikan Alta ada di sana.

Duduk santai di atas sepeda motor matic yang ia parkir di samping pintu.

"Lho, Al? Belum pulang?" tanyaku.

Alta buru-buru turun dari sepeda motor dan menatap diriku.

"Aku nungguin Kakak," jawabnya.

Aku mengerjap. Menungguku? Padahal kan kelasnya sudah bubar sekitar satu jam yang lalu.

"Kan aku nggak minta ditunggu. Aku berencana pulang naik bus. Harusnya kamu pulang dulu, bantu ayah." Aku mengomel.

Alta hanya menggaruk tengkuknya, tak segera menjawab.

"Aku nggak tega ninggalin kakak pulang sendiri," ujarnya.

Aku menarik napas sejenak. "Aku nggak bawa helm," ucapku.

"Aku bawa." Alta buru-buru menjawab lalu bergerak membuka box motor dan mengeluarkan helm dari sana. "Aku sengaja membawanya setelah tadi pagi kakak memutuskan naik bus." Ia kembali berujar.

Aku berjalan mendekat dan meraih helm itu darinya lalu berucap,"Aku masih mau mampir ke makam ibu."

Alta mengangguk. "Aku antarkan," jawabnya kalem.

°°°

Setiap kali merasa kangen pada ibu, aku memang selalu mampir ke makamnya. Biasanya sambil membawakannya bunga segar, atau sekadar duduk di sana sambil berkeluh kisah. Aku selalu menceritakan semua hal yang kualami, baik tentang ayah maupun tentang Alta - padanya.

Dengan begitu, aku selalu merasa ibu selalu hidup bersamaku.

Aku lebih sering ke sana sendirian. Kadang-kadang saja ditemani Alta.

Alta tidak pernah suka berkunjung ke makam. Dia bilang, makam adalah tempat yang tak pernah ingin ia kunjungi. Mungkin ia punya kenangan yang buruk tentang kematian kedua orang tuanya. Tapi jika ia sudah terlanjur menemaniku berkunjung ke makam ibu, ia akan dengan sabar menungguiku hingga aku selesai berceloteh di depan pusaranya.

Terkadang aku memanfaatkan kesempatan ini agar dia mau sedikit saja berbicara tentang orang tuanya. Tapi apa boleh buat, aku selalu gagal membuatnya bercerita.

"Al ..." panggilku sambil menoleh ke arah pemuda yang tengah berdiri kaku di belakangku. "Kalau kamu juga kangen dengan ayahmu, atupun ibumu, berkunjunglah. Aku bersedia menemanimu ke makamnya."

Alta hanya tersenyum tipis, begitu saja. Memberikan jawaban juga tidak.

Aku beranjak mendekatinya, "Berceritalah padaku jika ada yang ingin kamu ceritakan tentang mereka. Jangan ragu, oke?" ucapku.

Lagi-lagi Alta hanya tersenyum.

"Ayo pulang," ajakku sambil menepuk lengannya pelan.

Baru beberapa langkah ketika Alta berujar dan menyentuh tanganku ragu.

"Kak, biar aku menggendongmu," ucapnya.

Aku melongo. "Hah?"

Alta menggigit bibir sesaat. "Kakak kelihatan lelah. Aku tahu hampir seharian kakak bekerja keras di aula untuk mempersiapkan acara lusa. Jadi, biar aku menggendongmu sampai tempat parkir." Ia berucap ragu.

Sebenarnya Alta tak salah bicara. Seharian ini aku memang sudah jungkir balik di aula. Di tambah perjalanan ke sini, kakiku rasanya mau copot. Makam ibuku ada di puncak bukit. Kami harus melewati ratusan anak tangga dari tempat parkir sampai di sini. Jadi, bisa dibayangkan rasanya kakiku.

"Ayolah, tempat parkir masih jauh. Nggak apa-apa, kok." Mengambil keputusan sepihak, Alta beranjak dan berjongkok membelakangiku. "Ayo," ucapnya.

Aku menatap punggungnya ragu. Sempat ingin menolak, tapi toh akhirnya aku mengiyakan ajakannya.

"Aku berat, lho," ucapku.

"Tahu." Alta menyahut.

"Baiklah, kamu yang minta. Jangan nyesel ya kalau kamu terkena encok," ujarku lagi. Terdengar Alta tertawa lirih.

"Nanti setelah sampai rumah, aku akan membuatkan makanan kesukaanmu," ucapku kemudian sambil naik ke punggungnya.

Aku sempat mendengar Alta kembali tertawa lirih. "Iya." Ia menjawab pendek.

Pemuda itu bangkit dan menuruni anak tangga dengan hati-hati.

"Terima kasih, Al." Aku kembali berucap.

Sempat kulihat bibir Alta tersenyum.

"Hm." Dan lagi-lagi ia hanya menyahut pendek.

°°°

"Bagaimana suratnya? Sudah kamu berikan pada Alta?"

Bel istirahat baru saja berbunyi beberada detik yang lalu dan Vey sudah kembali nyasar ke kelasku.

Sejenak aku linglung.

Surat? Eh?

Suratnya Vey, aku lupa memberikannya pada Alta. Di mana aku meletakannya? Di atas meja belajar? Ah, tidak. Atau jangan-jangan, masih ada di dalam tas?

"Sudah kamu berikan apa belum?" Vey kembali bertanya tak sabaran.

Aku menyeringai,"S-sudah kok."

"Lalu, apa dia sudah membacanya? Apa tanggapannya? Apa ia nggak segera membuat surat balasan untukku?" Kedua bola mata Vey mengerjap indah.

Kadang mata itu membuatku iri. Vey punya sepasang mata bening yang indah. Matanya kecil, tapi tak sipit. Ketika ia berbicara, kedua mata itu akan berbinar seolah ikut mengungkapkan sesuatu. Belum lagi dengan parasnya yang cantik. Kombinasi antara hidung yang bangir, dagu yang lancip dan wajah mungil, benar-benar luar biasa pas. Cantik alami.

"Haru, ayolah. Aku penasaran. Apa Alta sudah membaca suratku? Apa dia antusias ingin tahu isinya?" Dan lagi-lagi cewek itu merengek-rengek sambil bergelayut di lenganku.

Aku tersenyum kaku sambil menggaruk-garuk tengkuk. "Err, itu ..."

"HARU!"

Aku dan Vey menoleh bersamaan ke arah datangnya suara tersebut. Tampak Rachel, teman sekelas Alta, berlari memasuki kelasku dengan tergopoh-gopoh.

"Alta terlibat keributan dengan Johnny!" Ia memberi kabar.

Aku bangkit seketika, Vey juga.

"Apa?!" teriakku.

"Mereka berkelahi! Adu jotos!" Rachel menjerit gemas.

Aku menghalau tubuh Vey untuk minggir, lalu segera menyeruak keluar kelas dan berlari menuju kelas Alta yang berjarak beberapa blok dengan kelasku.

Ada apa dengan Al?

Tak biasanya ia terlibat keributan seperti ini?

Apalagi dengan Johnny, teman sekelasnya sendiri.

Ketika sampai di kelas Alta, kegaduhan di sana sudah lenyap. Tapi bekas-bekas keributan masih terlihat jelas. Kertas bertebaran, bangku dan kursi yang terbalik.

Aku bergidik ngeri. Astaga Alta, ada apa denganmu?

"Pak guru sudah membawa mereka ke ruang BP." Salah satu siswa yang mulai membenahi ruang kelas berujar lirih.

Dan tanpa menjawab, aku berbalik, dan mengarahkan langkahku ke ruang BP.

°°°

Ruang BP tertutup rapat. Entah apa yang pak guru lakukan pada Alta dan Johnny.

Aku sabar menunggu di luar ruangan hingga lima belas menit kemudian pintu terbuka dan dua bocah laki-laki itu keluar dari sana.

Johnny babak belur. Rambutnya berantakan, hidungnya berdarah, bibirnya juga. Luka lebam tampak jelas di seputar mata kanannya.

Keadaan Alta juga tak jauh berbeda. Hanya sedikit lebih baik.

Bibirnya terluka, darah yang mulai mengering ada di sela-sela mulut. Ada luka lebam di pangkal hidung dan juga tulang pipi.

Aku merasakan darahku naik ke ubun-ubun. Antara ngeri dan rasa kasihan pada Alta, sekaligus kesal karena ia terlibat keributan.

Johnny berdehem, lalu buru-buru meninggalkan kami. Sementara Alta hanya menunduk, mungkin malu karena aku mengetahui perbuatannya. Kemudian ia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Johnny. Bergerak meninggalkanku, tanpa mengatakan apapun.

°°°

Masih marah dengan apa yang menimpa Alta, aku sengaja mendiamkan cowok itu hingga kami sama-sama sampai rumah.

Aku bahkan mengadu pada ayah tentang peristiwa yang dialami Alta. Dan jawaban Ayah justru membuat kemarahanku bertambah.

"Nggak apa-apa. Namanya juga anak laki-laki. Ayah dulu juga sering berkelahi ketika masih sekolah."

Aku melotot. "Ayah!" teriakku jengkel. Aku menghentakkan kakiku dengan kesal lalu berlari ke kamar. Sempat mondar mandir sejenak, akhirnya aku meraih kotak obat, lalu memutuskan pergi ke kamar Alta.

°°°

Alta duduk dengan kikuk di pinggir ranjang. Kepalanya tertunduk, sementara jemarinya sibuk saling meremas dengan gusar.

Aku melemparkan kotak obat ke sampingnya dengan kasar, dan cowok itu bergeming. Pastinya ia tahu bahwa aku masih marah.

"Jadi ada apa ini? Pak guru memberitahuku bahwa kamu yang memulai terlebih dahulu perkelahian tadi. Kamu yang pertama kali memukul Johnny. Merasa sok jagoan? Atau mungkin pengaruh hormon? Ada apa denganmu, hah?" Aku mengomel.

Dan Alta tetap saja menundukkan kepala.

"Ayo jawab, ada apa sebenarnya?" Nada suaraku meninggi setengah oktaf. "ALTA!" Dan kali ini aku benar-benar berteriak ketika tak mendapat respon seperti yang kuinginkan.

Alta mendongak, menatapku sekilas, lalu kembali menunduk lagi. Tapi toh akhirnya ia menjawab, "Johnny mengatakan sesuatu tentang Kakak dan aku nggak menyukainya."

"Mengatakan apa? Aku jelek? Hina? Miskin? Tukang cuci? Tampang pembantu? Bukankah aku memang sering menerima olok-olok seperti itu dari anak-anak lain? Lalu apa masalahnya?" cerocosku.

"Bukan begitu." Alta bangkit dari duduk.

"Lalu apa?!" teriakku lagi.

Cowok itu menatapku sekilas, tampak bingung hendak menjawab.

"Dia..." Ia menggigit bibirnya yang terluka, lalu mengusap tengkuknya dengan ekspresi campuraduk. Aku bahkan menangkap semburat merah di kedua pipinya.

"Johnny bilang ... kakak punya payudara yang indah." Ia melanjutkan lirih.

"Aku nggak suka ia memuji payudaramu. Aku terganggu mendengarnya," ucapnya lagi.

Aku ternganga. Hah?

Johnny bilang ... apa?

"Dia sering ngelihatin Kakak pas pelajaran olah raga." Alta melanjutkan lagi.

Reflek aku menatap dadaku sendiri, membayangkan manakala ketika mengenakan kaos olah raga, segera kurasakan hawa panas menerpa wajah.

Brengsek, aku mengumpat dalam hati.

Tak berani melakukan kontak mata dengan Alta, aku menggigit bibir lalu buru-buru berbalik.

"Obati lukamu sendiri," ucapku kaku sambil meninggalkan kamar Alta dan beranjak ke kamarku sendiri.

Membayangkan apa yang telah dikatakan Johnny tentang ... payudaraku, aku kembali mengumpat sambil membanting pintu.

"Al, harusnya kamu patahkan saja giginya," gerutuku gemas, lalu menenggelamkan wajahku ke bantal.

°°°

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro