Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alta.

Lima tahun yang lalu, ayah membawanya pulang ke rumah sambil mengatakan, "Dia adikmu."

Antara syok bercampur bingung. Adik? Ibu bahkan sudah meninggal sejak sepuluh tahun yang lalu, bagaimana mungkin anak laki-laki ini bisa tiba-tiba menjadi adikku?

"Apa ia anak ayah dari perempuan lain? Apa selama ini ayah berselingkuh dari ibu hingga lahirlah anak lelaki itu?" cecarku.

Ayah hanya terkekeh santai mendengar semua tuduhanku. Kemudian dengan bahasa yang lumayan singkat, ia menjelaskan, "Dia anak teman baikku. Mereka meninggal bersama dalam sebuah kecelakaan. Dan sekarang anak ini sebatang kara, ia nggak punya siapa-siapa. Jadi ayah bermaksud merawatnya. Dia akan tinggal bersama kita. Anggap saja sekarang dia adikmu."

Anak itu terlihat takut-takut di sisi Ayah. "Namanya Alta. Altair Dewangga." Ayah memperkenalkan.

Umurnya sekitar 13 tahun, kami nyaris sebaya. Pertama kali melihatnya, ia terlihat ringkih tak terawat. Bajunya kusut, sepatunya berlubang, wajahnya nampak lelah luar biasa. Tak banyak yang ia bawa. Hanya sebuah tas ransel kumal berukuran sedang yang ia peluk di dada. Bisa kupastikan, isinya juga tak banyak. Mungkin hanya beberapa potong baju.

Pertama kali bersitatap, ia tak menunjukkan ekspresi berlebih. Bibirnya tak tersenyum, ia juga tak mengeluarkan sepatah kata.

Tapi satu hal yang tak bisa kulupakan; tatapan matanya.

Mata itu hampa. Tak hidup.

Hanya dengan sekali lihat, nampak jelas bahwa ada jutaan luka di sana. Seolah sosok itu sudah melewati kehidupan berat dan penuh penderitaan.

Well, kehidupanku dan ayah juga tak bisa dikatakan baik-baik saja. Kami miskin dan harus banting tulang. Itulah kenapa aku sedikit bisa memahami apa definisi dari beban hidup.

Dan begitulah akhirnya. Setelah bertahun-tahun aku hanya hidup berdua dengan ayah, akhirnya malam itu kami resmi menambah satu anggota keluarga baru.

Selama beberapa tahun terakhir, aku menyaksikan Alta tumbuh. Ia anak yang pendiam, bahkan terkesan introvert. Kami bersekolah di SMA yang sama, di tahun yang sama, tapi berbeda kelas. Dan aku bisa lihat bahwa ia tampak berbeda dengan anak-anak seusianya.

Ketika anak laki-laki sedang sibuk ikut banyak kegiatan, entah ekstra seni, entah ekstra olah raga, Alta lebih memilih untuk menyendiri.

Mengasingkan diri di perpustakaan, atau sekedar duduk-duduk di bawah pohon yang berada di pinggir lapangan, lengkap dengan telinga yang tersumbat earphone.

Sebetulnya Alta lumayan ceria ketika di rumah, ketika kami hanya berdua atau bertiga dengan ayah, ia lumayan banyak bicara.

Tapi entah, ketika ia mulai berada ditengah-tengah orang banyak, ia seakan sengaja mengasingkan diri.

°°°

"Alta!"

Aku membuka pintu kamar Alta yang tak terkunci lalu menyeruak masuk tanpa menunggu cowok itu menyahut. Tampak ia masih terbaring pulas di bawah selimutnya.

"Al," panggilku lagi. Kali ini kalimatku lebih rendah.

Kugoyang-goyangkan pundaknya. "Ayo bangun, sudah siang," ucapku.

Sosok itu menggeliat lalu menyingkap selimutnya sendiri. Sambil masih mengucek mata, ia bangkit.

Alta tidak pernah merepotkan ketika dibangunkan dari tidur, terutama di pagi hari. Aku hanya perlu memanggilnya beberapa kali dan sosok itu akan bangun dengan mudah.

"Banyak sekali cucian yang harus kita antarkan, kita harus berangkat lebih pagi." Aku berujar lagi.

Terdengar Alta menyahut pendek sambil turun dari ranjangnya.

Aku masih sempat membuka jendela lebar-lebar lalu membantu merapikan beberapa baju yang berserakan ketika bergerak keluar dari kamarnya.

°°°

Alta muncul beberapa menit kemudian di ruang makan. Sudah mandi, sudah wangi, sudah pula mengenakan seragam.

Ia bergerak ke kursi yang dihadapannya sudah terhidang nasi, lauk dan juga sayuran. Menyadari hanya ada mangkuk untuknya, ia menatapku dengan sorot mata bertanya.

"Ayah sudah sarapan, aku juga." Aku menyahut.

"Ayah ke mana?"

"Ke pasar, pagi-pagi sekali. Belanja detergent," sahutku lagi.

Alta manggut-manggut. Tatapannya beralih pada hidangan di hadapannya. Ia sempat bergidik ketika menatap tumis sawi di mangkok, tapi toh ia tetap melahapnya tanpa banyak komentar.

Alta tak pernah suka sayuran, bahkan cenderung membencinya. Tapi jika aku yang memasak, ia akan tetap memakannya walau terpaksa. Intinya, apapun yang kubuat, ia akan tetap melahapnya.

"Sayuran bagus untuk kesehatan," ucapku.

Tanpa menjawab, Alta melahap sendok terakhir berisi sayuran dan nasi, lalu buru-buru menenggak segelas penuh air minum. Aku sempat terkikik menyaksikan ekspresinya.

"Enak, kan?" tanyaku.

Alta hanya meringis, lalu mengangguk.

Tak dapat kupercaya. Bocah 13 tahun yang beberapa tahun lalu datang ke rumah kami dengan kumal dan nyaris kekurangan gizi, sekarang tumbuh dengan baik. Posturnya makin tinggi, kulitnya makin bersih, wajahnya juga makin tampan. Terkadang ada perasaan bangga menyelimutiku. Seolah aku adalah seorang ibu yang berhasil membesarkan anaknya dengan baik.

"Kak ..."

"Jangan panggil aku 'Kak'." Aku segera sewot.

Aku memang lebih tua lima bulan darinya. Tapi tetap saja aku ogah dipanggil 'Kak'. Entah kenapa, panggilan itu membuatku terlihat lebih tua.

"Kalau aku nggak memanggilmu 'kak', ayah akan memarahiku." Alta menjawab.

"Ayah kan nggak ada."

"Tetap saja itu nggak sopan." Pemuda itu bangkit, membantuku menata baju-baju bersih yang sudah dibungkus rapi dan dilengkapi alamat pelanggan.

Baju-baju itu dari Laundry kami. Jasa pencucian baju adalah satu-satunya penopang bagi kami untuk menyambung hidup.

Usaha kecil-kecilan ini dirintis oleh ibu sejak bertahun-tahun yang lalu. Sempat berhenti sejenak ketika ibu meninggal karena sakit. Hingga akhirnya, ayah di-phk, dan mulailah kami menjalankan kembali penatu ini.

Alta juga banyak membantu. Kadang ia yang mencuci, lebih sering ia yang mengantarkan baju-baju pelanggan yang sudah dicuci bersih dan disetrika.

"Biar aku saja yang antar." Alta meraup plastik-plastik baju dari tanganku.

"Semuanya?" tanyaku.

Cowok mengangguk. "Kakak berangkat dulu ke sekolah. Hari ini Kakak piket, 'kan?"

Aku terdiam sejenak. "Yakin?"

Alta kembali mengangguk.

"Ya sudahlah, aku berangkat dulu saja."

Dan akhirnya, aku berangkat sekolah terlebih dahulu. Biasanya kami akan ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor berbeda karena masing-masing dari kami punya tugas sebagai kurir laundry. Tapi hari itu, aku memutuskan untuk ke sekolah naik bis saja. Lebih cepat, dan lebih murah.

Sesaat sebelum melangkahkan kakiku keluar pagar, aku sempat menatap Alta yang tampak tekun menata baju-baju bersih di boncengan sepeda motornya.

Dan tanpa sadar aku tersenyum.

Alta benar-benar tumbuh menjadi sosok yang penurut dan pekerja keras.

Pekerjaan apapun, ia akan dengan senang hati melakukannya, tanpa perlu disuruh dua kali.

°°°

"Haru!"

Aku mendongak. Mengalihkan sejenak perhatianku dari buku di atas meja ke arah gadis tinggi semampai yang kini berdusal di sisiku.

Seperti biasa, Vey tampil cantik dan wangi. Dengan penampilannya yang bak model remaja, pantas saja jika ia jadi siswi paling populer di sekolah kami.

"Apa?" tanyaku bingung.

"Kenapa, sih, Alta makin kelihatan ganteng?" puji Vey.

"Hm." Aku menyahut pendek.

"Makin hari dia makin mirip Si Tae," ucap Vey lagi. Ini bukan pertama kalinya Vey memuji kegantengan Alta. Dia bilang, wajah Alta mirip Taeyong, salah satu anggota boyband asal Korea Selatan bernama NCT. Rahangnya yang kokoh, hidungnya yang lancip, kulitnya yang bersih, serta tatapan matanya yang teduh. Setelah menunjukkan gambarnya padaku, harus ku akui bahwa ternyata Vey benar.

Cakep, mirip Alta.

"Sepertinya aku jatuh cinta dengan adikmu." Vey menjawab enteng.

Uhukk, aku terbatuk. "Hah?" Aku bengong dan juga kaget. Alta memang tampan, tapi ia bukan jajaran cowok populer di sekolah. Jadi ya, well, wajar kalau aku merasa heran. Terlebih, ini si Vey yang bicara.

"Vey, apa kamu salah makan hari ini?" tanyaku.

Vey yang tahun ini tidak berada satu kelas denganku mencebikkan bibir.

"Sepertinya begitu. Lama berpikir, ternyata benar, aku sudah jatuh cinta dengan adikmu. Astaga, dia cakep banget," jawabnya menggebu. Walau sekarang aku dan Vey berbeda kelas, hubungan persahabatan kami tetap baik.

"Beberapa waktu yang lalu kamu bilang Mark yang tampan, lalu kau memuji Yoga lebih tampan, kemudian kamu bilang Sean paling tampan. Dan sekarang?"

"Haru, Alta yang paling tampan. Suerrr ...." Ia merajuk.

Aku menggeleng. "Nggak. Aku Nggak akan membiarkanmu mendekati adikku. Kamu kan terkenal gonti ganti cowok. Nggak akan kubiarkan kamu memangsa adikku."

"Adik? Semua orang juga tahu kalau dia hanya adik angkatmu."

"Hei, tetap saja dia adikku." Kali ini aku sewot.

Vey mendengus. "Pokoknya coba dulu ya? Coba bantu aku agar lebih dekat dengan Al, please." Gadis itu bergelayut erat di lenganku. Aku bahkan harus berusaha melepaskan diri.

"Pokoknya kalau enggak ya enggak," bantahku. Vey mencebik kesal. "Dasar pohon! Kaku! Nggak peka!" teriaknya.

Kalau sedang kesal, Vey memang sering meneriakiku 'pohon', merujuk pada nama lengkapku, Gaharu.

Gaharu merupakan jenis kayu yang berasal dari beberapa spesies pohon dari genus Aquilaria, khususnya jenis A. malaccensis. Jenis kayu satu ini umumnya memiliki warna kehitaman pekat yang khas dan juga mengandung kandungan resin pada bagian gubalnya.

Kandungan resin yang terdapat pada bagian gubal kayu gaharu ini juga terkenal sebagai bahan pelengkap wangi-wangian karena memiliki aroma harum yang sangat khas. Aroma ini juga dipercaya mampu menjadi aromaterapi anti-stres yang cukup ampuh.

Ayah yang memberi nama itu, entah apa maksudnya. Sungguh nama yang aneh. Berkali-kali, aku bahkan sempat berpikir untuk ganti nama saja.

"Haru, please. Tolong biarkan aku dekat dengan adikmu, ya ...." Vey kembali merajuk. Aku buru-buru menghindar, menghalau lengan Vey yang terentang untuk kemudian berdusal di sisiku.

Ketika kami tengah ribut, tanpa sengaja dari balik jendela kelas, aku menangkap sosok Alta yang tengah duduk-duduk santai di bawah pohon, di dekat lapangan. Earphone terpasang di kedua telinga dan ia tampak acuh tak acuh dengan sekeliling.

Sejenak aku membenarkan kata-kata Vey.

Ya, Alta memang makin tampan.

°°°

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro