BAB 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Almost Love by Sabrina Carpenter

Titrasi menggunakan phenolphthalein. Ketika di larutan asam tidak berwarna, sedangkan di larutan basa menjadi merah muda.

Clarice memberi highlight dua kalimat tersebut, kemudian menutup buku catatan kimianya yang bersampul biru navy. Pelajaran hari itu bersama Mr. Robin akan selesai dalam sepuluh menit lagi. Ia sudah tidak sabar untuk mengambil panekuk blueberry yang disiapkan Noah di lokernya saat istirahat nanti.

"Clarice, kau mengerti fungsi indikator-indikatornya? Aku tak paham sama sekali," gerutu Miracle sambil menyingkirkan botol Erlenmeyer-nya ke pinggir meja.

"Entahlah. Prakteknya masih minggu depan. Masih ada banyak waktu untuk memikirkannya," sahut Clarice tak peduli sambil merapikan botol-botolnya.

"Aku merasa kita selalu dituntut untuk membuat 'mukjizat' setiap pelajaran kimia." Miracle mendengus sebal.

"Kalau begitu buatlah catatan setiap pelajaran kimia. Jika percobaanmu tidak berhasil, maka kau bisa menuntut Mr. Robin dan meminta pertanggungjawaban darinya," ujar Clarice asal, kemudian membawa rak tabungnya ke lemari di pinggir kelas kimia.

Sementara itu, Miracle memasukkan buku-buku dan alat tulisnya ke dalam tas dan membiarkan botol-botolnya tergeletak di mejanya. "Kau sama sekali tidak berniat untuk membereskannya?" Clarice menaikkan alis kanannya.

"Regu piket tidak akan berfungsi jika semua murid harus membersihkan semuanya sendiri," jawab Miracle diplomatis. "Baiklah. Bye, Clarice. Aku mungkin akan bolos kelas selanjutnya." Miracle pun berjalan dengan semangat keluar dari ruang laboratorium tepat ketika bel istirahat berbunyi.

Clarice hanya menghela napas pasrah melihat tas ransel Miracle yang memantul-mantul di bahu. Tasnya terlihat ringan sekali. Apa yang dibawanya setiap hari? Entah mengapa, tiba-tiba pikiran menggelikan itu muncul.

Yeah ... Miracle memang seorang cewek yang terlalu sering bersenang-senang. Tak ada seorang pun yang dapat membantah fakta ini. Ia mempunyai banyak teman dengan berbagai jenis kelamin—entah laki-laki, perempuan, bahkan samai LGBT. Cewek itu membaur dengan semua orang, sangat berbeda dengan Clarice yang tertutup dan selektif.

Terkadang, Clarice merasa prihatin dengan nilai-nilai Miracle yang hancur-hancuran. Pasalnya, gadis bermata biru hazel itu juga memasang wajah memelas ketika melihat nilai '30' tertera di kertas ulangannya yang nyaris putih bersih tak terjamah.

"Biar bagaimanapun, sebagian besar itu karena kesalahanmu sendiri. Lihat saja, di ulangan kali ini kau hanya menjawab dua puluh soal dari lima puluh lima soal. Itu pun tidak semuanya benar, kan?" Seringkali pertanyaan seperti itulah yang Clarice ucapkan. Tujuannya hanya untuk membangun motivasi dalam diri sahabatnya. Sayangnya, seperti kertas ulangan yang tak terjamah, jiwa Miracle juga tak tersentuh.

"Mau bagaimana lagi? Aku dan sains tidak saling memahami. Hidup ini hanya sekali, honey. Kau tahu hidupku terlalu berharga untuk dihabiskan dengan belajar fisika, kimia, dan geometri," dalih Miracle.

Clarice dan Miracle hampir tidak pernah sepemikiran. Namun, Clarice tidak mempermasalahkan hubungannya dengan Miracle karena itu. Cewek seperti Miracle malah sangat setia kawan dan anti posesif, tidak seperti sahabat-sahabat cewek lain pada umumnya.

***

Clarice berjalan menuju ruang loker siswa Junior yang terletak di dekat toilet lantai dua. Sesampainya di depan loker bernomor 907, ia mengeluarkan kunci dari sakunya dan menancapkannya ke lubang kunci. Namun, sebelum Clarice sempat membuka pintu lokernya, tiba-tiba handphone di sakunya bergetar.

<Clarice, maaf aku tidak jadi memberikan panekuk blueberrynya. Tadi pagi aku harus membantu ibuku mengantar pesanan ke pelanggan. Panekuknya belum sempat kupanggang.>

Clarice mendengus sebal. Mengapa hal-hal yang dapat menghibur kepenatannya setelah pelajaran kimia selalu hilang di saat yang tepat? Dulu Miracle pernah berjanji memberikan liptint baru berwarna peach untuk hadiah kemenangan Clarice dalam kompetisi desain, yang bertepatan dengan ujian praktek kimia. Nyatanya cewek itu juga tidak jadi masuk sekolah karena kepalanya masih pusing sejak mabuk di pesta resital temannya malam sebelumnya. Sebelum ini, Noah juga sudah pernah menjanjikan cupcake selai mustard untuk dimakan bersama di bangku lapangan saat istirahat. Dan lagi-lagi cowok itu beralasan bahwa guru bahasa Prancis menahannya untuk mengerjakan remedial.

<Dasar penebar janji palsu!> Clarice mengetikkan kalimat itu sambil tersenyum puas. Senang rasanya bisa melampiaskan kekesalan pada seseorang.

<Uh... biasanya kau tidak kolot, Clarice. Maafkan aku. Aku benar-benar baru menyiapkan adonan ketika ibuku menyuruh mengantarkan pesanan pelanggan.> Noah segera mengirimkan balasan itu beberapa detik kemudian.

<Jadi?>

<Ayolah. Aku akan membuatkan panekuk blueberry dan cupcake red velvet besok. Jangan marah, please.>

Melihat jawaban Noah yang sepertinya benar-benar tertekan keadaan, akhirnya Clarice memutuskan untuk tidak membahas lebih lanjut.

<Okay. Forgiven.>

Clarice pun memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana denim. Ia membuka lokernya untuk menukar buku-buku kimianya dari dalam tas dengan buku untuk mata pelajaran selanjutnya. Namun, tiba-tiba gerakannya terhenti ketika ia menarik buku novel Emma dan menjatuhkan tiga amplop berwarna pink.

Clarice tak langsung memungutnya. Ia memandangi amplop-amplop itu dengan tatapan bingung. Seingatku, aku tidak pernah menyimpan barang seperti ini sebelumnya. Aku hampir tidak pernah melupakan apapun yang pernah kulakukan. Bagaimana ini bisa berada di lokerku? Kemustahilan terjadi di sini, pikir Clarice.

Ia menutup ritsleting tasnya, kemudian dengan ragu mengambil tiga amplop itu. Amplop pertama berwarna peach yang terbuat dari kertas scrapbook tebal. Yang kedua berbentuk persegi dengan segel hati di tengahnya. Dan yang ketiga berwarna dasar putih, namun tepinya dikelilingi bingkai warna merah marun dan pink—seperti desain amplop London. Ketiganya dilengkapi dengan tulisan addressee 'Clarice Barack, locker 907'.

"Ya, Tuhan. Apa ini?" Clarice mengerang sambil mengentakkan kakinya ke lantai. Beberapa orang di sekitar situ mulai menoleh dan memandang aneh ke arahnya. Akhirnya ia memasang senyum canggung, kemudian mengunci kembali lokernya dan berjalan cepat keluar dari ruangan loker untuk melepas penat.

Kau tahu betapa menyebalkannya menerima benda-benda aneh dari seseorang yang tidak kau kenal? Itu mungkin dapat membuatmu gelisah sepanjang hari. Kau berusaha mencari seseorang yang mengirimkannya, dan menemukan maksud dari 'keanehan' yang tersirat dalam benda tersebut.

Clarice merasakannya sekarang.

Takut membuat seluruh moodnya memburuk selama pelajaran selanjutnya, Clarice berpikir untuk menyimpan kembali surat-surat tersebut dalam tas ranselnya. Bukan keputusan tepat untuk membuka surat-surat ini di sekolah. Ia tak tahu reaksi apa yang akan ditunjukannya ketika membaca isi surat itu, jadi lebih baik untuk tidak melakukannya di tempat ramai.

***

Brum ... brum ... Clarice menstarter mobilnya dan kemudian melajukan kendaraannya keluar dari lapangan parkir sekolah—sebenarnya lapangan lacrosse, namun karena lapangan itu sangat besar kadang-kadang sekolah mereka menjadikannya sebagai lapangan parkir.

Tiba-tiba, sebelum mobil Clarice benar-benar keluar dari gerbang sekolah, seseorang memukul-mukul bagian belakang mobilnya. Clarice memutar bola mata sebal, kemudian melihat ke belakang melalui kaca spion.

"Clarice, bolehkah aku menumpang di mobilmu?" tanya Miracle setelah mobil Clarice benar-benar berhenti.

Clarice menurunkan jendela mobilnya, kemudian memasang wajah ramah kepada Miracle. "Hehe ... kau pasti akan memberiku tumpangan, kan?" kekeh Miracle.

"Kau bahkan sudah tidak menemaniku setelah pelajaran kimia. Padahal pelajaran bahasa Prancis selanjutnya kelas kita masih bersama," tuntut Clarice sambil menaikkan kedua sudut bibirnya.

"Ayolah. Aku tidak akan tahan mengikuti pelajaran bahasa Prancis setelah kimia bersama Mr. Robin. Kau tahu aku hanya bisa mengatakan je t'aime, bonjour, dan au revoir. Sekolah ini membunuhku, Clarice." Miracle merajuk di samping pintu mobil Clarice.

"Hmm ... jadi pastinya kau sudah bergabung dengan teman-temanmu untuk hang out, ya? Ini sungguh 'miracle' bahwa kau tidak ikut pulang bersama teman-temanmu yang itu," sindir Clarice sembari memicingkan matanya.

"Kejam!" seru Miracle sambil mengentakkan kakinya ke aspal.

"Maaf, Miracle. Tapi aku benar-benar harus langsung pulang ke rumah hari ini. Ada sesuatu yang harus kukerjakan secepatnya," dalih Clarice. Tiba-tiba. tiga surat cinta di loker itu mengingatkannya bahwa ia tidak mungkin menemani Miracle dan melakukan kegiatannya yang menghabiskan waktu.

"Aku bisa mampir ke rumahmu dulu. Nanti Dad akan menjemputku. Bagaimana? Boleh, ya?" tanya Miracle setengah memaksa.

Oh, tidak! Dia tidak boleh ke rumahku hari ini! "Kau bisa naik bus, Miracle. Seperti biasa."

"Oh my gosh! Aku selalu naik bus beramai-ramai. Sekarang mereka sedang melanjutkan jalan-jalannya ke Brighton Beach. Aku tidak ikut karena ada tugas esai Bahasa Inggris sebanyak lima ribu kata yang belum kusentuh sama sekali. Jadi, aku tidak ikut dengan mereka," jelas Miracle. Gadis itu berbicara dengan menggebu-gebu seolah ia yakin Clarice akan membiarkannya menumpang di mobil.

"Lalu apa hubungannya semua itu dengan tidak naik bus?" Clarice masih tak paham penjelasan sahabatnya yang absurd itu. Oh ... Clarice pikir ia sudah cukup sabar untuk menghadapi Miracle yang memiliki emosi tak menentu. Bahkan banyak orang lain yang berkata bahwa Miracle mengidap bipolar. Sebenarnya gadis itu cukup menyenangkan untuk berteman akrab. Hanya saja ... terkadang agak merepotkan untuk memahaminya.

"Kau tahu aku tidak mempunyai Metro Card. Aku akan langsung terusir dari bus, Clarice." Miracle masih terus membujuk Clarice sambil memasang wajahnya yang paling memelas.

"Aku akan meminjamkan Metro Card-ku. Hanya untuk hari ini. Pastikan besok kau masuk sekolah dan memberikannya," ucap Clarice cepat sambil mengeluarkan kartu Metro Card dari dompetnya. Kemudian, ia menginjak pedal gasnya sesegera mungkin sebelum Miracle sempat menghujaninya dengan berbagai kata-kata lain.

***

[Good night, dear.] Itu perkataan terakhir yang Mom ucapkan dari seberang telepon.

"Good night, Mom." Clarice membeo dengan suara lirih. Setelah itu, sambungan telepon terputus.

Clarice menghela napas berat, kemudian menutup aplikasi Skype di laptopnya. Ketidakhadiran Mom sejak dua bulan yang lalu sepertinya masih belum menjadi rutinitas dalam diri Clarice. Dad sudah selalu bekerja di Kanada di perusahaan kolega keluarganya sejak tiga tahun yang lalu, Clarice sudah cukup terbiasa dengan hal itu. Namun, ia tak pernah mengira bahwa Mom juga memilih untuk pergi ke San Fransisco setelah mendapat jabatan yang lebih tinggi. Kini, rumahnya hampir selalu terasa hampa. Bangun tidur tanpa seorang pun yang memasak sarapan untuknya, pulang sekolah tanpa seorang pun menyambutnya, dan tidur tanpa seorang pun mengucapkan salam—hanya kadang-kadang saja Mom meneleponnya pada malam hari.

Gadis itu pun menutup laptopnya, kemudian meletakkannya di meja belajar putih di samping tempat tidur. Ia keluar menuju dapur kemudian menyeduh matcha instan, sebelum tiba-tiba handphone di meja ruang tamunya bergetar.

Sembari menyeruput matcha hangatnya, Clarice berjalan menuju meja ruang tamu dan melihat pesan yang masuk.

<Clarice, maaf, ya. Besok aku tidak jadi masuk sekolah karena esai Inggris-ku belum selesai. Aku tidak mau mencari gara-gara dengan Mrs. Rose.>

"Tidak tanggung jawab," umpat Clarice sebal. Ia meletakkan cangkir, kemudian mengetikkan pesan balasan.

<Sialan kau, Miracle.>

Clarice meletakkan handphonenya kembali. Awalnya, ia hendak berjalan kembali ke dapur, tetapi sesuatu mengalihkannya.

Apa yang tadi membuatku tidak jadi membiarkan Miracle menumpang? Oh, yeah! Tiga surat aneh itu. Sialan, pikir Clarice sambil berbalik menuju kamarnya dan mengambil surat-surat dari tas ransel.

Clarice duduk di pinggir spring bednya, sambil membuka amplop-amplop itu perlahan-lahan. Clarice membuka amplop pertama yang berwarna peach, dikirim oleh seorang cowok yang tak pernah dikenal olehnya bernama Jefferson Royce. Ia membaca dengan hati-hati dan teliti, takut salah menangkap maksud surat tersebut. Karena surat itu agak terlihat seperti ....

Surat cinta?

Clarice belum pernah mendapat yang seperti ini sebelumnya.

LGBT= singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender

Pesta resital= pesta pertunjukan musik (biasanya menggunakan piano)

Lacrosse adalah suatu olahraga tim menggunakan bola dan tongkat berjaring yang banyak dimainkan di Amerika. Dimainkan oleh dua tim yang beranggota 10 orang.

Metro Card adalah kartu yang biasa dipakai untuk naik transportasi umum di New York City.

***

Menurut kalian, cewek kayak Clarice bakal dapet surat cinta dari cowok kayak apa, nih?

Thanks for reading. Jangan lupa vote dan comment-nya, yaa.

BAB 2 diupload besok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro