BAB 15

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Clarice menaikkan kedua alisnya. "Kebiasaan apa?" ulang Clarice. Gadis itu menggigiti apple pienya sambil memandang Jefferson dengan penasaran.

Jefferson terdiam sejenak. "Bukan apa-apa," jawabnya kemudian.

Clarice yang telah menahan napas sambil menunggu jawaban itu akhirnya mendengus sebal. "Baiklah. Kau memang tidak pernah menceritakan apa pun kepadaku. Yeah ... aku terlalu polos untuk memahami konflikmu," kesal Clarice.

"Bukan begitu maksudku. Masalahnya, ini tentang masa lalu dan masaku yang sekarang. Tak seorang pun mengetahui apa yang sedang kualami," jawab Jefferson cepat.

"Aku mengerti." Tetapi Jefferson tahu bahwa Clarice tak mengerti apapun. Cowok itu hanya membiarkan Clarice menghabiskan apple pienya dengan lahap, kemudian lanjut mengambil muffin dari toples kaca besar.

Ketika Clarice menghabiskan gigitan terakhir muffinnya, tiba-tiba alunan musik dansa waltz ala Johann Strauss II berubah menjadi musik dari era romantik yang temponya lebih lambat—instrumen lagu La Donna é Mobile (Sang Wanita yang Lincah) ciptaan Giussepe Verdi.

"Ada apa ini, Jeff?" tanya Clarice sambil menepuk-nepuk tangannya beberapa kali untuk membersihkan remah-remah muffin. Puluhan pasangan dari beberapa generasi segera berkumpul di tengah aula, membentuk formasi dansa.

"Aku tak yakin, karena aku bukan pemilik acaranya. Tapi, kupikir ini pesta dansanya," jawab Jefferson sambil bersedekap tak acuh.

"Apa? Pesta dansa?" ulang Clarice tak percaya. Jefferson hanya mengedikkan bahu untuk menanggapi pertanyaan tersebut. "Hei, tapi kau tidak ...."

"Hai, anak-anak muda. Kami ingin melihat kalian berdansa," ucap Mr. Royce yang tiba-tiba muncul menghampiri Jefferson dan Clarice.

Clarice benar-benar terkejut mendengar hal itu. Tetapi, ia memutuskan untuk berpura-pura tidak mendengar apa pun dan terlihat menikmati puluhan pasangan yang berdansa di tengah koridor ruang tamu.

"Apa?" tanya Jefferson malas.

"Kau sudah berjanji pada Daddy bahwa kau akan membawa cewek untuk berdansa bersama," tuntut Mr. Royce. Sementara itu, Clarice tetap diam di tempatnya sambil membelalak bingung.

"Oh, Daddy. Clary tidak akan mau berdansa," dalih Jefferson sambil mengerang sebal.

"Tidak, tidak. Semua yang berpasangan harus berdansa," tegas Mr. Royce sambil mendorong punggung Clarice dan Jefferson menuju ke tengah ruangan.

"Tapi aku bukan pasangannya, Sir," sergah Clarice sambil berusaha kembali ke dekat meja hidangan.

Di belakang mereka, Mr. Royce mendesis sambil mengibaskan tangannya untuk menyuruh kedua remaja itu berdansa. Ketika mereka berdua telah bergabung dalam formasi dansa, barulah Mr. Royce pergi.

"Cl ... Clary ... aku ...." Ini pertama kalinya Clarice melihat Jefferson tergagap ketika berusaha bicara.

"Masalahnya adalah bahwa aku tidak tahu cara berdansa," tukas Clarice sambil berdiri kaku.

Tiba-tiba, Clarice melihat binar di mata Jefferson. Clarice bahkan tidak memercayai pandangannya sendiri, karena binar itu muncul terlalu tiba-tiba. "Oke. Aku tahu bahwa kau tidak ingin berdansa. Tapi, jika aku mengajarimu berdansa, berarti kau akan menerimanya, kan? Tadi katamu masalahnya adalah karena kau tidak bisa berdansa," simpul Jefferson sambil mengukir senyum lebar di bibirnya.

Oh, tidak. Clarice tak mengira bahwa tanggapan Jefferson akan seperti ini. "Jika kau mengajariku berdansa, itu lain lagi ceritanya."

"Shall we dance?" tanya Jefferson sambil mengulurkan tangannya tiba-tiba.

"Aku tidak bertanggung jawab jika nanti aku melukai kakimu." Clarice memperingatkan sambil menunjuk sepatu stilettonya yang memiliki high heels setinggi tiga senti.

"Tidak masalah," sahut Jefferson cepat, kemudian segera meraih tangan Clarice dan menarik gadis itu ke arahnya.

"Jeff, aku tidak bercanda. Aku benar-benar tidak bisa berdansa," tegas Clarice sambil menggigit bibir bawahnya.

"Tidak apa-apa. Berdansa tidak sesulit yang kau bayangkan di film-film romance-comedy. Kita coba saja dansa yang sederhana. Maju mundur masing-masing dua kali," ucap Jefferson sambil menggenggam tangan kanan Clarice.

Oh, please. Kumohon berikan prosedur yang spesifik. Maju mundur dua kali? Bagaimana perbedaaan kaki kanan dan kirinya? Kau menyuruhku melompat-lompat bersamaan? Ugh ... ini lebih gila dari drama mana pun yang kubayangkan, gerutu Clarice dalam hati. Ia menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kuharap kau mengatakan yang sesungguhnya," sahut Clarice pasrah.

"Ikuti saja gerakan kakiku," ujar Jefferson, kemudian meletakkan tangannya di pinggang Clarice.

Oh, jujur saja. Clarice benar-benar merasa tergelitik meskipun ia tahu bahwa tangan Jefferson sama sekali tidak bergerak. Dengan ragu, ia meletakkan lengannya di samping bahu Jefferson. Ya Tuhan, Clarice bahkan tidak tahu apakah ini posisi yang benar untuk berdansa. Ia hanya berusaha menwujudnyatakan adegan film yang berhasil diingatnya. Namun, ternyata Jefferson tidak berkomentar apapun. Mungkin posisi ini memang sudah benar.

Jefferson mulai melangkahkan kaki kanan, lalu Clarice memundurkan kaki kanannya dengan bingung. Ketika Jefferson memundurkan kaki kiri, gadis itu berusaha untuk langsung memajukan kaki kirinya. Namun, argh ... berdansa benar-benar membutuhkan konsentrasi tinggi. Clarice terus-terusan melihat ke bawah selama tiga menit pertama.

"Sebenarnya apa, sih yang kau lihat di bawah? Apa kau melihat mutiara atau berlian di sepatuku?" canda Jefferson untuk memecah keheningan.

"Jangan sombong. Aku sedang berkonsentrasi untuk berdansa dengan baik," jawab Clarice sambil memukul pelan bahu Jefferson.

"Ah ... oke. Sebenarnya kau hanya perlu melakukannya sebanyak tiga sampai lima kali. Lalu kau akan membiasakan diri dengan merasakan setiap gerakan kakimu. Bukannya terus menerus memperhatikan kakiku," sahut Jefferson sembari tersenyum menggoda.

Clarice mendengus sebal, lalu membuang pandangannya ke area di sekitar koridor. Rasanya ia ingin kembali lagi ke meja hidangan dan mencicipi setiap kue yang ada di sana.

"Karena kau sudah tidak terlalu fokus pada kaki, artinya kita bisa membuat ini lebih rileks. Mengapa kita tidak berbincang-bincang seperti biasa?" usul Jefferson.

"Menurutmu acara dansa ini akan berlangsung berapa lama?" tanya Clarice langsung.

"Kau sudah berharap ini akan segera berakhir? Padahal aku sedang menikmatinya," sahut Jefferson sambil mengerlingkan mata. Dengan ragu, Clarice menggeleng. "Hmm ... berdasarkan pengalamanku yang sudah-sudah, pesta dansa biasanya berlangsung selama dua puluh sampai tiga puluh menit."

Clarice mengangguk singkat, kemudian kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling koridor ruang tamu. Tatapannya tiba-tiba berhenti pada sosok Mr. Royce yang sedang menenggak segelas wine merah dalam hitungan detik.

"Jeff, mengapa Daddymu tidak ikut berdansa?" tanya Clarice sambil beralih menatap Jefferson.

Jefferson mengedikkan bahu singkat. "Entahlah. Mommy mungkin sedang menghadiri pesta kantornya. Aku tidak pernah tahu jadwal kedua orang tuaku," jawab Jefferson tak acuh.

"Mommymu juga wanita karir?" tanya Clarice lagi.

"Ya. Orang tuaku jarang di rumah. Daddy dan Mommyku selalu pulang malam dan berangkat pagi. Hampir sama seperti orang tuamu, tapi bedanya mereka tidak tinggal di negara bagian yang berbeda," ujar Jefferson. Menyadari bahwa Clarice tak langsung menyahut perkataannya, Jefferson segera berpaling kepada gadis di hadapannya.

Clarice sedang menunduk, kembali memperhatikan gerakan kaki seperti tadi. "Eh ... Clary. Maaf, aku tidak tahu kalau membicarakan ini membuat moodmu memburuk drastis."

Clarice tiba-tiba mengangkat kepalanya, dan matanya langsung bertemu dengan mata Jefferson. "S Okay. Sebenarnya aku ingin menganggap itu sebagai sesuatu yang normal, kau tahu? Tetapi, entahlah. Aku seperti langsung terbawa flashback ketika membahas tentang itu. Rasanya berat ketika mengingat bahwa beberapa bulan lalu Momku masih bersamaku," ucap Clarice sambil memaksakan senyumnya.

"Aku mengerti," sahut Jefferson penuh pengertian. "Ditinggalkan oleh Mom pastilah sesuatu yang besar untukmu. Kata orang, anak perempuan biasanya dekat dengan Mommy, sedangkan anak laki-laki biasanya dekat dengan Daddy."

Clarice menggeleng pelan sambil mengembungkan pipinya. "Terkadang aku iri pada Miracle. Mom dan Dadnya berada di rumah setiap malam. Tapi kau tahu? Miracle malah sering curhat padaku bahwa ia benar-benar pusing dengan keberadaan Mom yang selalu memonitor hari-harinya. Kau tahu mengapa ada orang yang seperti itu?" lirih Clarice.

Jefferson terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab. "Biasanya orang memang selalu menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Misalnya, kau menginginkan keluarga yang ribut seperti keluarga Miracle, sedangkan Miracle mengharapkan rumah yang sepi sepertimu—bukankah anak itu sering kabur dari rumah? Sugestiku bisa saja benar," jawab Jefferson sambil menatap Clarice dengan intens.

Clarice mengangguk tanda mengerti. "Omong-omong soal teorimu yang sebelumnya, sepertinya anak perempuan juga bisa sangat dekat dengan Dadnya. Ketika menonton To All the Boys I've Loved Before, aku mengetahui bahwa hubungan Lara Jean dan Dadnya sangat dekat. Contoh konkritnya, aku bisa memberitahu sedikit kebiasaan Miracle ketika di rumah," ujar Clarice sambil tersenyum. Jefferson terlihat penasaran sekali, dan raut itu membuat senyum Clarice bertambah lebar. Gadis itu berjinjit sedikit supaya dapat membisikkan sesuatu ke telinga Jefferson. "Ia hanya memakai tank top di rumah, bahkan ketika Dadnya ada di rumah."

"OMG! Anak itu benar-benar bebas, dude. Memangnya kau juga ingin memakai tank top di hadapan pria paruh baya?" tanya Jefferson sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Tidak!" Clarice menggeleng kuat-kuat. "Kau tahu bukan itu tujuannya. Maksudku, itu menggambarkan betapa mereka begitu akrab sebagai ayah-anak. Bagaimana Miracle merasa aman ketika di dekat Dadnya. Aku bahkan sudah kehilangan rasa itu. Aku seperti melihat Dadku sebagai orang asing ketika ia pulang setiap ulang tahunku," jelas Clarice. "Miracle selalu berhasil membuatku iri tentang hal-hal seperti itu."

Jefferson terdiam selama beberapa detik, berusaha menyusun kata-kata dalam kepalanya. "Kupikir, suatu hari nanti, kau pasti akan menemukan seorang cowok yang mengerti dan ada setiap kau memerlukannya."

"Ooo ... bukankah itu terdengar seperti dirimu?" canda Clarice sambil menekankan wajahnya di dada Jefferson, supaya cowok itu tidak melihat ekspresinya.

"Aku tidak bilang seperti itu, ya. Jangan terlalu percaya diri," sergah Jefferson sambil tertawa. Namun, ia tetap mengetahui bahwa hatinya bergetar ketika merasakan kepala Clarice mengangguk-angguk di dadanya. Jefferson benar-benar ingin merangkul Clarice dan membenamkan kepala gadis itu di dadanya. Tetapi, di sisi lain ia tahu bahwa Clarice pasti akan langsung lari jika ia memperlakukannya seperti itu. Mungkin posisi dansa ini sudah yang terbaik.

***

"Aww .... Clary, apa yang kau lakukan?" Jefferson mengaduh sambil menendang kakinya ke lantai.

"Ups, maaf, Jeff," ucap Clarice dengan gugup. Ya Tuhan, ini menjengkelkan sekali. Ia telah berdansa maju mundur sambil berbincang selama hampir dua puluh menit dengan Jefferson, dan selama itu tidak ada masalah yang terjadi. Mengapa setelah semuanya berjalan lancar, tiba-tiba ia menginjak kaki Jefferson?

Jefferson menggeleng pelan, kemudian menatap Clarice dengan cara tertentu yang tak dapat Clarice artikan maksudnya. "Kau manis sekali ketika sedang gugup, Clary." Jefferson pun menarik Clarice semakin mendekat ke tubuhnya, hingga tangannya hampir melingkar di pinggang Clarice.

Jika aku menciumnya sekarang, apakah ia akan langsung lari? Mungkin lebih baik begini saja? Jefferson berpikir-pikir sambil terus menatap Clarice. Jefferson benar-benar dapat merasakan jantung Clarice yang berdegup sangat keras dalam posisi seperti itu. Jefferson baru saja menghela napas, ketika tiba-tiba Clarice mendorong Jefferson menjauh.

"Maaf, Jeff. Kupikir aku sudah cukup lelah setelah dansa," ujar Clarice cepat, lalu berlari kecil menuju ke patio rumah keluarga Rothschild.

"Kau mau ke mana, Clary?" tanya Jefferson sambil berusaha menyusul langkah Clarice.

"Mencari udara segar."

***

Clarice benar-benar terlalu lelah setelah pesta homecoming tersebut. Meskipun tidak ada kejadian yang membuatnya sebal, tetapi dansa selama dua puluh menit itu benar-benar menguras tenaga dan konsentrasinya. Tanpa disadari, ia bahkan tertidur di mobil Mustang Jefferson selama perjalanan pulang.

"Clary, Clary. Kau sudah sampai di rumah," ujar Jefferson sambil memberi guncangan kecil pada bahu Clarice.

Clarice sedikit menggeliat sambil mengerang pelan, sebelum kemudian mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia menoleh ke sekeliling, dan mendapati bahwa dirinya telah sampai di depan rumah. Oh ... Clarice tak tahu apakah ini disebut kejadian memalukan atau menggelikan. Ini pertama kalinya ia tertidur di mobil seorang cowok, dan ... ugh, seharusnya ia tidak melakukan hal konyol seperti ini.

"Terima kasih untuk malam ini," ucap Clarice singkat sambil membuka pintu mobil, lalu berjalan menyusuri garasi rumahnya.

"Have a nice dream," ucap Jefferson sambil melambaikan tangan melalui jendela mobil yang terbuka. Cowok itu berdiam sebentar di mobilnya, menunggu hingga Clarice masuk ke rumah.

Ketika Clarice sedang membuka tas pestanya untuk mencari kunci rumah, tiba-tiba ia melihat handphonenya menyala—sebuah notifikasi telah masuk. Clarice mengambil handphone, lalu melihat jam sebelum kemudian mengusap layar. Siapa yang akan mengiriminya SMS pada jam sebelas malam? Clarice berbalik ke arah Jefferson yang masih menunggu di mobil, berpikir kalau-kalau isinya adalah ucapan selamat malam dari cowok itu. Tetapi, Jefferson tidak menunjukkan respons apa pun.

Clarice pun langsung membaca SMSnya. Clary, maaf. Mom hanya bisa datang tepat di hari ulang tahunmu, jadi Mom tidak bisa menyiapkan beberapa hal untuk persiapan.

Clarice menghela napas sebal, sebelum kemudian teringat sesuatu. Gadis itu berlari kecil menuju mobil Jefferson, kemudian mengetuk kaca jendelanya.

"Ada apa, Clary?" tanya Jefferson setelah menurunkan kaca jendela.

"Jika Mom dan Dadku mengizinkan, maukah kau datang ke rumahku saat hari ulang tahunku?" tanya Clarice langsung.

Jefferson tersenyum lebar mendengar ajakan tersebut. "Tanggal berapa ulang tahunmu?"

"12 Agustus," jawab Clarice. Matanya berbinar penuh harap.

"Oke. Aku datang." Jefferson mengedipkan sebelah mata, lalu memberikan kecupan udara kepada Clarice.

Footnote:

Musik era romantik= zaman romantik dalam sejarah musik Barat berlangsung dari sekitar awal 1800an sampai awal abad 20an

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro