BAB 18

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Really? Clarice berani bertaruh bahwa jawaban Jefferson kira-kira seperti: "Ya. Tidak apa-apa." Cowok itu memang hampir tidak pernah menceritakan masalah pribadi apa pun padanya.

Yash. Everything's OK. Sudah terduga. Clarice meletakkan handphonenya kembali dengan malas, lalu meraih kardus paket dari Jefferson yang dikirimkan oleh GFD Courier. Ia mengeluarkan pensil warna sketsa merek Top Model dan satu set pensel sketsa dari tipe H, HB, sampai B dari dalam kardus tersebut. Kemudian, Clarice menarik buku sketsa dari rak bukunya. Gadis itu mengambil pensil HB, lalu mulai membiarkan tangannya membentuk goresan-goresan di atas kertas.

Beberapa menit kemudian, handphone yang diletakkan Clarice di sisi meja bergetar. Pesan dari Jefferson. Hei, apakah kau ada waktu nanti siang? Aku ingin membicarakan sesuatu.

Clarice melirik To Do List yang tertempel di kulkas dari jendela kamar. Ia teringat sesuatu. Bagaimana dengan sore, pukul 05.00 p.m? Aku harus mengantar orang tuaku ke Airport Lost and Found dulu.

NP. Temui aku di Bunny's Café.

***

"Bisakah kau menemaniku menghadiri acara Summer Holiday?" Itu adalah pertanyaan paling gila yang pernah Clarice dengar. Seharusnya Jefferson tahu bahwa Clarice tidak akan pernah menghadiri acara seperti itu. Atau Jefferson pikir, dengan pesonanya ia bisa membujuk dan mengubah prinsip hidup Clarice? Tidak akan, dude.

"Kau pikir aku sejenis cewek yang berkeliaran di pantai dengan bra tipis dan celana dalam kurang bahan?" sindir Clarice. Clarice pikir, Jefferson akan langsung menyanggah dan menuturkan argument-argumen untuk membujuk Clarice. Namun, ternyata tidak. Jefferson bergeming. "Lagipula mengapa kau suka sekali mengajakku pergi ke acara-acara liar seperti itu? Aku tidak menyukai suasananya, Jeff. Aku bahkan tidak pernah menonton parade Pride Day. Kau tahu bahwa aku tidak mungkin datang." Clarice mengedikkan bahu sambil menggelengkan kepala.

"Maaf, seharusnya aku tahu." Ketika Jefferson melirihkan kalimat tersebut dengan suara parau, Clarice dapat memperhatikan gerak bibir Jefferson. Tunggu, sepertinya ada yang berbeda dengan bibir cowok itu.

Clarice turun dari kursi kafe, kemudian berjalan untuk mengamati Jefferson dari dekat. "Bekas luka di bibirmu ...." Clarice menunjuk sudut bibir Jefferson. "Kau terluka? Kau berkelahi?" tebak Clarice.

"Tidak. Aku tidak berkelahi dengan siapa pun. Aku hanya membenturkan kepalaku ke meja secara tidak sengaja," jawab Jefferson sambil meringis.

Clarice bersedekap sambil mendengus sebal. "Aku tahu kau tidak setolol itu. Pasti terjadi sesuatu. Dan kau tidak mau menceritakannya kepadaku?" Clarice mulai mengintimidasi, berharap mendapat jawaban yang memuaskan dari Jefferson. Tetapi, cowok itu hanya membuang pandangan. "Lupakan. Aku tahu kau tidak pernah menceritakan apa pun."

"Tidak seperti itu, Clary. Bukannya aku tidak ingin berbicara apa pun, hanya saja aku belum siap menceritakannya. Aku sudah pernah bercerita tentang rutinitas kerja orang tuaku, dan itu hal yang cukup besar bagiku," bantah Jefferson dengan napas terengah-engah. Clarice benar-benar tidak menyangka bahwa reaksi Jefferson akan seperti itu. Ia pun kembali duduk ke tempatnya dan menyeruput caffé Americano cepat-cepat.

"Aku bermasalah dengan Daddyku," ucap Jefferson akhirnya. Clarice terdiam dan berhenti menyeruput Americano.

"Dan Mr. Royce memukulmu?" tanya Clarice dengan lirih. Jefferson sedikit mengangguk. "Aku tahu bahwa luka terbesarmu bukan pada bibirmu." Dan sekali lagi Jefferson mengangguk.

Jefferson turun dari kursi café dan berjalan mendekati Clarice. Cowok itu melingkarkan tangannya di pinggang Clarice, kemudian menariknya turun. Kemudian, Jefferson segera merengkuh erat Clarice dalam pelukannya.

Clarice terdiam. Telinga dan matanya seolah tertutup terhadap dunia luar ketika kepalanya menempel pada dada Jefferson. Ia bisa merasakan bunyi jantungnya dan bunyi jantung Jefferson yang beradu. Clarice benar-benar tak mengerti perasaannya yang kompleks sekarang. Ia merasa jantungnya melonjak kegirangan, tetapi akal sehatnya berkata bahwa ini menakutkan. Tentu saja ini menakutkan, ia bahkan belum siap mental untuk berhubungan dengan cowok mana pun. Atau mungkin, Jefferson melakukan hal seperti ini pada banyak cewek? Jefferson adalah cowok populer dari tim lacrosse, mungkin saja ia dekat dengan banyak cewek.

Namun, sepertinya dorongan hati berhasil menaklukannya. Clarice membalas pelukan Jefferson, lalu memejamkan matanya. Beberapa saat kemudian, Jefferson mengendurkan pelukannya. Lengan cowok itu masih melingkar di pinggang Clarice, dan Jefferson menatap mata Clarice lekat-lekat. Tiba-tiba, Jefferson mendekatkan wajahnya ke arah Clarice.

Apa ini? Apakah ini akan menjadi sebuah ciuman? Apakah aku akan membalas ciumannya? Aku belum pernah berciuman dengan siapa pun. Apakah ciuman pertamaku jatuh pada seorang cowok tampan yang bukan pacarku? Clarice benar-benar bingung.

"Tunggu. Aku tidak akan pernah bersedia terjerat masalah PDA. Ada barista di sana." Tiba-tiba, Clarice mendorong tubuh Jefferson menjauh darinya. Jefferson sedikit kaget karena reaksi tersebut.

"Mrs. Elly sedang membuat kopi. Memangnya barista akan memperhatikan kita? Barangkali mereka juga melakukan PDA saat masih muda. Lagipula, pemandangan seperti ini sudah biasa terjadi di café," sahut Jefferson bingung.

"Tetap saja aku tak terbiasa melakukannya." Clarice menghela napas, kemudian meraih gelas plastiknya yang berisi Americano. Clarice menghabiskan minuman itu dalam sekali teguk, kemudian menyerahkan uang kepada Mrs. Elly. Gadis itu pun berjalan menuju pintu keluar.

"Hei, Clarice. Kita belum membicarakan apa pun tentang acara Summer Holiday," sergah Jefferson sambil mengejar Clarice.

"Kau sudah membicarakannya tadi, dan aku sudah menolaknya. Aku mau pulang, bye," sahut Clarice cepat sambil berjalan menuju sepedanya yang disandarkan di dekat drive-thru.

Aku tak percaya aku tak berhasil meyakinkannya. Perlu dicoba sekali lagi, pikir Jefferson sambil menyusul langkah Clarice.

"Clary, ini sudah gelap. Biarkan aku mengantarmu pulang," ucap Jefferson sambil menahan sepeda Clarice.

"Aku tahu kau tidak buta. Aku bawa sepeda."

"Masukkan ke bagasi."

***

Perjalanan selama di mobil didominasi suara Jefferson yang berusaha mempersuasi Clarice. Entah sudah berapa kali Clarice berkata bahwa ia tidak akan menyukai acara itu. Seharusnya Jefferson mempunyai banyak cewek lain untuk menemaninya menghadiri acara Summer Holiday, kan? Maka, ketika mobil Jefferson telah berhenti di depan rumah Clarice, gadis itu segera mengembuskan napas lega.

"Terima kasih atas tumpangannya, bye," ucap Clarice cepat sambil melepaskan sabuk pengaman.

"Clary, jadi kau akan datang, kan? Kau tidak boleh melewatkan kentang goreng mayonnaise, cokelat Cadbury leleh, dan minuman ginseng. Di kafetaria juga ada kimchi dan bulgogi Korea. Ikan bakar dan ayam panggang. Aku akan membayar apa pun yang kau makan di kafetaria pantai," bujuk Jefferson sambil melenguh.

"Di kafetaria pun, aku tetap akan menyaksikan kalian yang bermain-main di pantai, kan?" Oh, bagaimana caranya untuk menolak cowok itu? Ia sudah mengatakan "tidak" berkali-kali. Kapan Jefferson akan menyerah? "Aku tidak ingin berada di tempat itu, Jeff. Tempat itu pasti lebih mengerikan dari rumah hantu mana pun yang pernah kumasuki." Clarice menggeleng pasrah.

"Clary, katakan padaku kau akan datang, please. Dalam hal ini, aku benar-benar tak dapat mengajak gadis lain," rajuk Jefferson sambil tetap memegangi tangan Clarice. Cowok itu mengusap wajahnya lelah.

"Kau tidak akan melepaskan tanganku sampai aku menjawab 'ya'?" tanya Clarice bingung.

"Akan kujelaskan alasannya," ucap Jefferson sambil menghela napas. Cowok itu mengingat semua dialog yang dilakukan dengan Daddynya selama seminggu terakhir.

12 Agustus, 09.00 a.m ....

"Clary sangat polos, Daddy. Aku tak ingin mengacaukan prinsipnya dengan hal-hal seperti itu. Lagipula mengapa Daddy terus memaksaku untuk mengencani Clary melalui kegiatan-kegiatan itu?" Jefferson mengepalkan tangannya sebal.

"Kau perlu mengubah imagemu di hadapan umum, terutama teman-teman Daddy. Dan Clarice dapat membantu mengubah imagemu itu. Justru karena cewek itu sangat polos, semua orang juga akan berpikir bahwa kau cowok baik-baik, sebab kau mengencani cewek polos itu," jawab Mr. Royce santai.

"Aku bisa pura-pura berkencan dengan Maggie Rutherford—cewek dari klub Romance Bookish—jika hanya itu motif Daddy. Mengapa harus Clary yang kugunakan?"

"Maggie Rutherford? Kau tidak punya otak? Cewek seperti itu malah membuat imagemu semakin hancur, Jeff. Orang-orang akan berpikir bahwa kau tidak punya selera, berkencan dengan semua gadis tanpa memedulikan rupa mereka."

"Kalau begitu Daddy bisa pilihkan orangnya, asalkan bukan Clary," ujar Jefferson pasrah.

"Kau sudah jelas-jelas menyukai Clarice. Mengapa kau tidak langsung mengejarnya saja? Aku mendukungmu, Jeff." Mr. Royce menepuk bahu Jefferson, kemudian lanjut mengisap rokoknya.

"Aku hanya akan merusaknya jika mengajaknya menghadiri acara Summer Holiday. Aku tidak ingin Daddy memperalatku seperti ini!" bentak Jefferson. Ia benar-benar tak tahan lagi meredam emosinya.

Bugh .... Tiba-tiba, kepalan tangan Mr. Royce mendarat dengan sempurna di pinggir bibir Jefferson. "Bagaimana aku bisa membesarkan anak sepertimu? Aku hanya berusaha membentukmu menjadi orang baik-baik, Jeff."

"Aku bisa membentuk diriku sendiri, Daddy. Jika teman-teman Daddy punya image yang buruk tentangku, itu salah mereka," sahut Jefferson sambil berusaha berdiri.

"Aku tidak peduli. Kau harus berhasil mendapatkan Clarice untuk mengunjungi semua pesta, atau aku akan meminta Coach Steve mencabut keanggotaanmu dalam lacrosse. Dan aku akan memindahkanmu ke asrama," tegas Mr. Royce sambil berlalu. Pria itu masuk ke kamarnya, lalu membanting pintu.

"Clary, kau tahu lacrosse penting sekali bagiku. Aku bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana diriku jika aku tinggal di asrama. Mungkin aku akan semakin hancur diam-diam." Jefferson mengakhiri ceritanya dengan menurunkan bahu pasrah. "Dan ... ketika pesta ulang tahunmu itu, maaf. Aku tidak dapat datang karena luka di bibir itu. Aku tidak suka orang-orang memandang kasihan kepadaku."

"A ... aku tidak tahu kalau keseharianmu di rumah seperti itu. Pasalnya, kau terlihat berbeda sekali di sekolah dan pesta." Clarice masih berusaha mencerna cerita Jefferson dalam kepalanya.

"Ralat, di pesta yang tidak dihadiri Daddyku." Clarice mengangguk dengan raut bersalah. "S okay. Ini ... biasanya aku tidak bercerita kepada siapa pun."

Clarice menghela napas, kemudian berkata, "Baiklah. Aku akan mengusahakan untuk pergi. Tapi aku tetap di kafetaria."

"Yesss!" Jefferson berseru kegirangan. "Terima kasih, Clary." Jefferson menangkupkan tangannya di samping kepala Clarice, lalu mengecup kening gadis itu.

Tangan Clarice cepat-cepat bergerak membuka pintu mobil, kemudian melepaskan kepalanya dari pegangan Jefferson. "Okay. Bye, Jeff."

Jefferson memperhatikan Clarice yang berlari menuju garasi rumah dengan gestur salah tingkah. Cowok itu berharap Clarice cepat-cepat berbalik dan berkata ....

"Jeff, tolong bukakan bagasinya. Aku lupa mengambil sepedaku," seru Clarice sambil berlari menuju bagasi mobil Jefferson.

***

"Really?" Jefferson mengernyitkan kening melihat penampilan Clarice yang telah masuk ke mobilnya. Clarice mengangguk mantap, dan tulang pipinya terlihat naik. Jefferson tahu bahwa Clarice tersenyum, maka ia pun terkekeh geli. "Selera fashionmu benar-benar aneh, Clary. Apakah itu semua benar-benar perlu?"

"Tentu saja. Ini sangat cocok dengan summer fashion cewek Kanada. Kaca mata hitam untuk menghindari paparan sinar matahari langsung, karena pastinya aku tidak ingin terkena katarak di usia muda. Masker ini supaya aku tidak terlalu pusing mencium bau bir. Dan jaketnya, ini supaya kulitku tidak rusak." Clarice menjelaskan detail fashionnya.

"Benarkah? Semua orang ingin berjemur saat musim panas," sahut Jeff sambil mengernyitkan kening. Kedua alis tebalnya yang sempurna menyatu membentuk perbukitan beruntun.

"Kulit orang Kanada sesempurna kulit orang Asia. Tidak seperti kulit orang Amerika yang putih pucat. Aku harus merawatnya dengan baik," ujar Clarice sambil memanjangkan lengan jaketnya.

"Terserah.Bilang saja bahwa kau ingin invisible,"ucap Jefferson sambil tertawa. Cowok itu pun menginjak pedal gas, dan mobilMustang pun melaju menuju Brighton Beach.

Footnote:

Pride Day= hari kejayaan para lesbian dan gay. Dimeriahkan dengan parade berkeliling kota pada tanggal 30 Juni.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro