BAB 24

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana di dalam kelab malam itu tidak jauh berbeda dengan suasana pesta TGIF di hotel keluarga Patterson. Musik heavy metal yang berdentum keras, lampu disco yang terus berkerlip dan berputar, bau bir dari berbagai sudut ruangan, serta puluhan remaja yang menggila di tengah-tengah koridor kelab membuat Clarice merasa terkucilkan.

Berbeda dengan Miracle, gadis itu langsung mencari beberapa sudut bagus di kelab dan mengambil foto selfie. Setelah itu, ia menghampiri meja konter yang terletak di sudut ruangan dan memesan bir kaleng. Clarice terus berusaha untuk berjalan di sisi Miracle, untuk mengantisipasi kemungkinan tersesat di tengah kelab. Namun, ia tetap tak dapat menikmati suasana ini.

"Clarice, kau ingin minum sampanye? Ini yang paling enak dan keras di seluruh Brooklyn," ujar Miracle sambil menyodorkan gelas berisi cairan keemasan.

Clarice mengernyitkan kening, lalu menggeleng cepat. Miracle yang berdiri di sebelahnya sudah mulai teler. Ia harus menjaga dirinya sendiri sekarang. Dan ... itu tidak mungkin dengan ikut meminum sampanye. Lebih baik ia meminum sesuatu yang mengandung kafein supaya tidak mengantuk.

"Aku ingin membeli coffee milk sebentar. Temani aku." Clarice pun menarik tangan Miracle menuju sebuah kios kecil bernuansa cokelat.

"Hei, kau bisa membeli sendiri, kan? Mengapa aku harus selalu bersamamu?" gerutu Miracle sambil berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Clarice.

Clarice memesan coffee milk sejenak, lalu berkata, "Karena kau yang mengajakku ke sini, maka kau harus bertanggung jawab. Sudah kubilang aku tidak suka ke kelab malam." Miracle mendengus sambil memalingkan wajahnya, namun Clarice tak peduli. Suasana hatinya sudah buruk bahkan sebelum ia memasuki Analog Brooklyn. Dan itu semua karena ulah Miracle. Clarice tak merasa bahwa ia berkewajiban menoleransi Miracle yang berkeliaran meninggalkannya kali ini.

Clarice menerima segelas coffee milk, lalu membayarkan sejumlah uang tunai. Kini, giliran Miracle yang menarik Clarice menuju tempat antah berantah—yang selalu disukai Miracle. Clarice mendesah pelan, namun ia tetap mengikuti Miracle. Setidaknya, ia sudah memiliki kesibukan sendiri jika nanti Miracle mengabaikannya—menyeruput coffee milk.

Sambil mengikuti Miracle bergabung dengan teman-teman anehnya, Clarice mengedarkan pandangan melihat kondisi koridor Analog Brooklyn yang terkesan liar. Ia melihat orang-orang menari di tengah koridor dengan koreografi tak jelas, sehimpunan gank cewek-cewek seksi yang menggoda sekumpulan cowok perokok, hingga pasangan-pasangan asusila yang berciuman—bukan ciuman biasa. Beberapa dari mereka berciuman dengan melibatkan lidah—di sudut-sudut ruangan.

"Miracle, apa mereka selalu melakukan itu?" Clarice menyentuh pundak Miracle, lalu menunjuk sepasang yang berciuman penuh hasrat di sudut ruangan dengan dagunya.

"Apa? Mana? Melakukan apa?" tanya Miracle tak jelas. Setelah memicingkan matanya selama beberapa saat, akhirnya Miracle mengangguk. "Oh ... yeah. Sepertinya begitu. Jefferson mempunyai banyak cewek di kelab. Mungkin saja ia sudah beberapa kali melakukan yang lebih dari itu."

Apa? Siapa? Pikiran Clarice seolah-olah berhenti bekerja saat itu juga. "Apa maksudmu? Jefferson siapa?" Clarice menyipitkan mata, berusaha melihat pasangan yang dimaksud Miracle. Namun, ia tetap tak dapat mengidentifikasi apapun. Hanya siluet gerak-gerik dari beberapa pasangan yang mampu tertangkap oleh pandangannya.

Ya Tuhan. Miracle itu manusia nokturnal. Seharusnya aku tidak membandingkan diriku dengannya. Aku tak akan dapat melihat rupa mereka, pikir Clarice pasrah. "Jefferson siapa yang kau maksud?" ulang Clarice dengan nada yang lebih lemah.

"Apa? Hahaha! Jefferson siapa lagi yang kaukenal? Aku tidak akan menyebut nama jika orang itu tidak dikenali oleh kita berdua." Miracle menyibakkan rambutnya yang kusut sambil tertawa. Oh tidak, tidak, tidak! Clarice mungkin akan gila jika Jefferson yang Miracle maksud adalah ....

"Tentu saja maksudku Jefferson Royce."

Tidak! Tidak mungkin. Bagaimana bisa? Jefferson Royce, cowok yang selalu mengejarnya dengan agresif selama ini adalah cowok yang sering datang ke kelab malam dan mencium banyak cewek seksi? Apakah Jefferson baru-baru saja melakukan ini? Mungkin saja ini baru dimulai sejak awal tahun Senior, karena beberapa orang mengalami puncak perubahan hidup pada masa ini. Tetapi, ya Tuhan. Ini tidak dapat dipercaya.

Clarice tahu—ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa Jefferson adalah tipe-tipe cowok yang memiliki banyak cewek penggemar. Dan dengan santai, Jefferson hanya menganggap mereka sebagai para fansnya. Tetapi, bercumbu di sudut kelab malam? Rasanya berat sekali menelaah kenyataan ini. Jika getaran yang dirasakannya kemarin pasca pertandingan lacrosse hanya terasa seperti cubitan kecil, maka kali ini rasanya jauh lebih sakit. Clarice memegang dadanya yang terasa sesak tiba-tiba. Ia memejamkan mata, lalu meremas-remas kain satin dengan gelisah. Perasaannya seperti ditusuk dari lima sisi dengan ujung tombak yang baru saja disepuh—lima sisi itu adalah kepercayaan, kesetiaan, toleransi, perhatian, dan tanggung jawab. Lima elemen utama yang mempertahankan hubungan mereka selama ini, seolah-olah langsung sirna seketika. Hanya karena kesaksian pemandangan Miracle itu.

Tunggu. Apakah itu nyata? Atau hanya Miracle teler yang mengatakannya? "Miracle, aku tidak terlalu menangkap pasangan yang kaumaksud. Bisakah kau mendekatkanku ke arah mereka?"

Suara Clarice yang berubah parau kembali memunculkan akal sehat Miracle. "Eh ... kau yakin? Itu mungkin akan mengguncangkanmu."

"Lebih baik menghadapi kenyataan daripada terus menipu diri sendiri," jawab Clarice diplomatis. Yeah, sebenarnya ia sendiri tidak yakin bahwa ia akan mampu melihat itu. Tetapi, seharusnya ini pilihan yang baik.

Miracle mengangguk skeptis, lalu memicingkan matanya supaya dapat mendekati sosok Jefferson yang benar. Ia pun mulai berjalan perlahan sambil menggenggam erat tangan Clarice, seolah mencoba menyalurkan kekuatan dalam diri sahabatnya.

"Tunggu. Aku sudah melihatnya dan aku tidak ingin dekat-dekat," ucap Clarice tiba-tiba. Miracle berhenti mendadak. Ia segera menoleh ke arah Clarice, dan tatapannya berubah prihatin. Wajah Clarice memucat, dan bibirnya sedikit bergetar. Miracle tidak pernah melihat Clarice dalam keadaan seperti ini.

"Clarice, kau tenang dulu, oke. Ini kelab, tempat semua orang bersenang-senang. Jefferson mendekati seorang cewek bukan berarti ia menyukai cewek itu. Bisa saja itu hanya bentuk pelampiasannya." Miracle menepuk bahu Clarice beberapa kali. Namun, Clarice tetap membeku di tempatnya.

Oh, baiklah. Ini masalah besar bagi Clarice, pikir Miracle sambil menghela napas. "Yah, meskipun tetap saja ia salah. Ia yang mendekatimu dulu. Seharusnya ia lebih ...." Miracle berusaha mencari kata yang pas untuk mendeskripsikan kondisinya. "Serius? Konsisten? Aku tak tahu," ujar Miracle akhirnya. "Tetapi, pemandangan ini memang biasa sekali terjadi di kelab."

"Tapi aku tidak terbiasa! Jeff tahu dengan siapa ia berurusan." Clarice menjerit tertahan, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Miracle mengacak rambutnya yang sudah berantakan bingung. "Oke, oke. Kau tenang dulu. Aku tak menyangka bahwa Jefferson akan ada di kelab ini. Namun, ini tetap saja salahku. Seharusnya aku tak pernah mengajakmu ke tempat seperti ini."

"Tidak masalah. Setidaknya sekarang aku tahu cowok macam apa ia." Clarice mengembuskan napas lelah, lalu berbalik menuju pintu luar. Ia melirik Jefferson dengan matanya yang memerah sekali lagi, lalu melenggang menuju pintu keluar kelab.

"Maaf. Aku akan memperjelas ini untukmu." Miracle berjalan cepat ke arah yang berlawanan dengan Clarice, menuju ke tempat Jefferson bercumbu dengan seorang cewek seksi.

Seolah tak melihat cewek di hadapan Jefferson, Miracle langsung meninju pelan bahu Jefferson. Jefferson dan cewek di hadapannya pun langsung menoleh ke arah Miracle.

"Apa?" Jefferson bertanya tak sabaran.

Namun, sebelum Miracle sempat menjawab apa pun, cewek di hadapan Jefferson sudah meraih baju Jefferson supaya cowok itu menunduk, lalu kembali menciumnya.

OMG! Jujur saja, ini menjijikan. Aku bahkan tidak pernah seagresif itu ketika mencium cowok. Miracle mengembuskan napas, lalu kembali meninju bahu Jefferson, kali ini sedikit keras. Jefferson dan cewek kelab itu kembali menoleh dengan pandangan sebal. Namun, sebelum cewek kelab itu mencium Jefferson lagi, Miracle buru-buru berkata, "Clarice di sini."

Jefferson segera melepaskan diri dari pelukan cewek di hadapannya. "Siapa Clarice?" tanya cewek itu dengan nada menginterogasi.

"Teman sekolahku," jawab Jefferson cepat, lalu segera berlari menyusul Clarice setelah Miracle menunjuk keberadaan Clarice dengan dagunya.

Clarice sedang berjalan gontai sambil menyilangkan lengan di bawah dadanya ketika Jefferson melihat cewek itu. Dengan hati-hati, Jefferson menyentuh lembut bahu Clarice. "Clary ...."

Clarice langsung menoleh dan terperanjat ketika melihat Jefferson. Jefferson mengangkat kedua tangannya untuk menenangkan Clarice. "Jika kau melihat ciuman tadi, sebenarnya itu ...."

"Jefferson Royce, biar kutegaskan padamu. Aku bukan cewek sembarangan. Aku bukan cewek yang dapat kaucari hanya saat kau perlu. Jika kau memang ingin mendekatiku, paling tidak kau harus bersikap serius. Bukannya memamerkan para cewek yang mengidolakanmu, atau melakukan PDA di kelab," tukas Clarice. "Ya ampun, aku tak mengerti. Tapi aku bukan mainanmu, Jeff." Clarice mengakhiri penegasannya dengan suara lirih.

"Clary, biar kujelaskan sebentar." Entah mengapa, rasanya sakit sekali ketika mendengar Jefferson memanggilnya dengan sebutan itu. Cowok itu seharusnya sudah tidak berhak memanggilnya namanya, dengan sebutan apa pun. Tetapi, Clarice hanya bergeming.

Jefferson meremas buku-buku jarinya hingga memutih, lalu segera memfokuskan seluruh dirinya ke arah Clarice. Ia memandang reaksi Clarice sejenak sebelum memutuskan berkata sesuatu. Tiba-tiba, tatapannya melunak. "Oh, Clary. Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu, please." Jefferson mengusap wajahnya lelah, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menenangkan Clarice.

"Aku tak bisa ... menatapmu dengan cara lain." Clarice merasa tenggorokannya tersendat, dan mungkin itu akan menjadi awal mula tangisan. Ia langsung menelan saliva cepat-cepat. "Jefferson Royce, aku tidak mengerti mengapa kau mengirim surat kepadaku, menerorku dengan sticky note pink sialan setiap hari, mengajakku ke berbagai pesta, bertukar nomor telepon, berdansa, berbagi keluhan tentang keluarga, atau ...." Clarice berhenti berkata. Ia mendesah, lalu menghapus air matanya cepat-cepat. Ia seharusnya tidak menangis sekarang. Tetapi, mengingat semua hal yang pernah dilakukan Jefferson dengannya, itu semua benar-benar menciptakan luka di hati.

"Aku melakukan semua itu karena aku benar-benar menyukaimu." Jefferson mengatakannya dengan hati-hati, sembari menatap Clarice secara intens. Dulu, tatapan itu akan melelehkan hatinya, mencairkan es yang membelenggu batinnya dari dunia luar. Namun, sekarang tatapan itu tidak hanya menghancurkan es pembelenggunya. Tatapan itu menghancurkan bagian utama dari hati, menarik-narik setiap unit sel dan membuatnya menjadi berantakan.

"Tidak, Jeff. Aku yakin isi hatimu tidak semulia itu. Mungkin saja kau hanya memperalatku menjadi cewek pesta supaya mengubah imagemu di depan kolega Daddymu." Clarice menggigit bibir bawahnya terlewat kencang hingga terbentuk segaris merah. Ia sudah mengucapkannya. Ucapan tak dapat ditarik kembali. Clarice sendiri tak percaya bahwa ia mampu mengatakan hal itu atau menduga kenyataan sepahit itu.

"Tidak, Clary! Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu," bantah Jefferson cepat. "Ya Tuhan. Bagaimana caranya supaya kau dapat memercayaiku?"

"Kepercayaanku kepadamu sudah hilang seluruhnya." Clarice menggigit pipi bagian dalamnya sambil menahan air mata. "Aku sendiri tidak tahu bagaimana untuk memunculkannya lagi. Seolah-olah itu sudah lama sekali karam."

"Clary, aku tidak akan berlaku sembarangan ketika berurusan dengan seorang gadis yang kusukai. Aku tidak akan mabuk bersamamu, aku tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak ingin kau lakukan, aku tidak akan memperlakukanmu seperti boneka. Karena kau bukan boneka, dan kau bukan gadis-gadis kelab itu. Kau adalah Clarice Barrack, gadis yang kusukai." Jefferson mengakhiri penjelasannya dengan erangan frustrasi. "Aku tak pernah memperlakukanmu sama seperti mereka. Dan itulah yang harus kaupercayai."

"Aku tak tahu lagi. Aku lupa bagaimana caranya." Clarice menggeleng pelan sambil menundukkan kepala dalam-dalam.

"Jika kau marah karena aku berkata aku menyukaimu tetapi aku tak pernah menciummu, sementara aku melakukannya kepada cewek-cewek lain, maka aku akan menjelaskan kepadamu. Aku sudah berkali-kali tergoda untuk menciummu."

"Aku tidak pernah mengharapkan kisah yang seperti itu." Suara Clarice berubah parau dan serak. Jefferson langsung tahu bahwa Clarice benar-benar menangis sekarang.

Astaga! Apa yang ada di kepala para cewek? Mengapa mereka kompleks sekali? Jefferson mengernyitkan kepala sambil berdecak lelah. "Maaf. Jika kau marah karena aku mencium gadis lain, sebenarnya itu adalah dinamika dari pubertas cowok. Tetapi, aku sama sekali tidak memiliki perasaan khusus terhadap mereka. Itu hanya hasrat seksual cowok remaja yang sedang meningkat drastis. Sebenarnya banyak juga cewek yang mengalami hal seperti ini, kau tahu?"

"Aku tahu. Aku tahu seharusnya aku tidak menginginkan hubungan yang lebih. Ini salahku. Aku bersalah telah membalas perasaanmu—tidak, tunggu. Aku tidak membalas perasaanmu. Aku hanya menyukaimu. Sementara kau mungkin juga sedang bermain dengan Daddymu, atau ToD seperti Nicole ...."

"Shit! Aku bukan cowok bajingan seperti Maison!"

Clarice terperanjat. Ia segera mendongak menatap Jefferson. Untuk pertama kali dalam hidupnya, isi hatinya berbeda dengan yang terlukiskan di wajahnya. Ia marah karena Jefferson masih sempat berbicara kasar ketika mereka sedang bertengkar. Namun, tatapan matanya tak dapat menggambarkan ekspresi itu. Ia menatap Jefferson dengan tatapan paling menyedihkan yang pernah ditunjukkannya. "Kurasa aku tak perlu menjelaskan apa pun sekarang." Clarice berjalan cepat keluar dari kelab malam, tanpa memedulikan suara Jefferson yang masih mencegahnya pergi. Untuk apa cowok itu masih memanggilnya? Tidak berguna.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro