BAB 23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Clarice menampar mulutnya sendiri. "Maksudku menyukai seseorang. Dalam artian rasa yang dimiliki cewek kepada cowok," ralatnya cepat-cepat.

Miracle terlihat berpikir sejenak sambil menggaruk dagunya—yang pasti tidak gatal. "Hmm ... seperti ada kupu-kupu dalam perutmu?"

"Aku sudah sering mendengar frasa itu di novel. Tapi aku tak dapat membayangkan serangga beterbangan dalam perutku." Clarice mengusap perutnya sambil memejamkan mata, mencoba meliarkan imajinasi. "Tetap tidak bisa. Bisakah kau pakai majas lain?"

Miracle memijat pangkal alisnya sejenak. "Pelajaran apa yang paling menakutkan menurutmu?"

"Trigonometri."

"Kalau begitu, setiap kali dia melintas di pikiranmu, jantungmu berdegup sekeras ketika ulangan Trogonometri-mu akan dibagi. Dan kalau kau bertatapan mata dengannya, itu berarti ulangan Trigonometri-mu pasti jelek."

"Oh, firasat dalam Trigonometri dapat diaplikasikan? Itu perasaan yang sangat menyiksa." Clarice menekan dadanya, berusaha merasakan sesuatu.

"Terkadang memang begitu. Tetapi aku percaya bahwa selalu ada kisah yang indah dan berharga di balik itu."

Clarice menggaruk belakang telinganya yang mendadak gatal. "Baiklah. Itu perasaan yang cukup ... aku tak tahu, tapi itu lumayan ekstrem. Apakah kau pernah merasakan godaan mengerikan ketika sedang menjalin hubungan dengan seseorang?"

"Tentu saja pernah. Itu normal," jawab Miracle cepat.

Tunggu. Normal? Apakah Miracle salah menangkap maksudnya? "Benarkah? Cowok kadang menginginkan cewek lebih dari yang cewek bersedia berikan, kau tahu maksudku. Apa kau pernah tergoda untuk memenuhi permintaan cowokmu? Yeah, aku tahu kau sudah banyak berkencan dengan berbagai macam jenis cowok. Pandanganmu pasti berbeda denganku yang belum pernah berkencan. Tetapi, yah ... kau temanku. Kau salah satu ajang referensiku."

"Ya. Dari antara tiga cowok yang pernah berhubungan badan denganku, dua di antaranya bukan karena paksaan mereka. Memang aku yang bersedia melakukannya."

Clarice langsung membeku begitu mendengar jawaban tersebut. Mengapa godaan tersebut sering muncul? Mengapa Miracle dapat terjebak dua kali? Dan ... ya Tuhan. Clarice tak dapat membayangkan apa pun. Bagaimana bisa itu terjadi? Bukankah di bawah delapan belas tahun, seks termasuk pelanggaran Undang-Undang? Dan salah satu orang terdekatnya melakukan itu? Sepertinya dunia sudah berubah.

"A ... aku ...." Clarice bingung bagaimana harus menanggapi itu, ia menggigiti bibir bawahnya gelisah. "Kupikir jatuh cinta terlalu dalam adalah hal besar yang sangat menakutkan."

Miracle mengangguk beberapa kali. "Oleh sebab itu, jangan jatuh terlalu dalam. Kita para cewek hanya dapat jatuh cinta sampai pada titik di mana kita dapat bangkit kembali. Terkadang, cowok pandai melakukan berbagai trik jitu untuk mengelabui kita. Jadi, yah ... begitulah. Tapi, sebenarnya perasaan jatuh cinta adalah hal paling berharga yang dapat kau rasakan."

Miracle menutup novel, lalu meletakkannya di samping kasur. "Omong-omong, mengapa kau bertanya panjang lebar soal ini? Bukankah dulu kau selalu jijik ketika aku bercerita tentang hubunganku dengan cowok-cowok?" goda Miracle sambil menggelitik dagu Clarice. Clarice menghela napas, lalu menepis jari telunjuk Miracle. "Kau dulu bilang bahwa hal seperti ini adalah sesuatu yang dapat dipelajari di novel, kan?" Miracle terkekeh, lalu merebahkan tubuhnya di kasur.

"Itu dulu. Tetapi, mungkin mendengar langsung dari seseorang yang kukenal membuatnya terasa lebih nyata." Clarice ikut merebahkan tubuhnya di samping Miracle.

"O, ya? Sepertinya Clarice-ku sedang merasakan sesuatu sekarang. Jadi, apa?" cecar Miracle langsung.

"Apanya yang apa?"

"Siapa cowok yang kausukai? Jefferson Royce?"

Clarice merasa hatinya tertusuk ketika mendengar nama itu. Getaran yang timbul pasca pertandingan lacrosse, itu adalah rasa cemburu pertama yang pernah dirasakannya. Tetapi, itu sama sekali tidak membuktikan bahwa ia menyukai Jefferson, kan? Tidak mungkin. Tidak tahu, tepatnya. "Tidak."

Miracle malah tertawa melengking ketika mendengar jawaban singkat itu. Clarice segera bangkit duduk kembali. "Yang benar saja. Kalau bukan karena suka, mengapa kau sangat berbaik hati padanya? Kupikir kau benar-benar menyukainya. Kalian berdua terlihat nyaman satu sama lain," ujar Miracle berapi-api. Clarice bergeming sejanak, maka Miracle cepat-cepat menambahkan. "Misalnya, aku tahu kau tidak suka berpesta, menonton pertandingan, atau datang ke acara-acara di pantai. Tetapi, kau tetap datang untuk menemaninya."

Clarice memiringkan kepalanya. Rambut cokelat selengannya tergerai hingga mencapai pinggang. "Selama ini kupikir aku hanya membalas budi baiknya saat dia menyelamatkanku dari permainan Nicole. Dan juga, aku selalu punya alasan di setiap acara yang kudatangi itu ...."

"Kau melakukan banyak hal untuk membuatnya senang," tukas Miracle. "Tidak dapat dipercaya. Apakah senyumnya menular kepadamu ketika ia sedang bahagia?"

Kenapa Miracle paling pandai menyerangnya? Itu pertanyaan paling tak terbantahkan. "Yeah ... aku tidak bisa memungkiri itu. Aku bahagia melihatnya bahagia." Clarice langsung menenggelamkan wajahnya ke dalam salah satu bantal Miracle. Oh ... wajahnya benar-benar memerah sekarang. Mengapa ia harus menjawab hal itu? Refleksi seharusnya hanya diketahui oleh dirinya sendiri.

"Well, aku lelah membaca buku. Sebaiknya kita menonton TV saja." Clarice mengangkat wajahnya dari bantal, lalu segera meraih remote di atas filling cabinet di sebelah tempat tidur. Lalu, ia menyalakan televisi dan menekan tombol Netflix di remote. "Jadi, kita nonton apa malam ini?"

"Bagaimana kalau Passion of the Christ? Sesekali, kita perlu menaikkan tingkat religius," gurau Miracle.

Clarice memutar bola matanya malas. "Tidak. Aku ingin melihat film yang menenangkan malam ini. Aku pasti akan menangis ketika lagu Via Dolorosa diputar. Stok air mataku sedang habis akhir-akhir ini," dalih Clarice.

"Huh ... benarkah?" Miracle menatap Clarice sambil memicingkan mata. "Baiklah. Kalau begitu kita menonton The Perfect Date saja. Film itu baru saja rilis bulan April. Tentang Brooks Rattigan si gigolo dan Celia Lieberman yang sarkastis." Miracle segera mengambil alih remote.

"Gigolo?"

"Yeah ... Brooks Rattigan menjadi gigolo untuk berusaha masuk ke Universitas Yale. Tapi, itu film remaja. Kupikir kau akan menyukainya. Ini tentang masa pencarian jati diri seorang Brooks," ujar Miracle, lalu ia segera memutar film tersebut di televisinya.

Kedua cewek itu pun menonton streaming hingga fajar menyingsing. Clarice hanya tidur selama empat jam sebelum harus menyiapkan diri berangkat ke gereja.

***

Clarice baru saja membuka pintu rumah Miracle ketika ia melihat sahabatnya sedang memberantakan isi tasnya. Ia baru saja pulang dari gereja, dan mampir sebentar ke Wendy's untuk membeli makan siang. Dan ... inilah hal yang menyambut pemandangannya.

Clarice segera menendang lepas sepatunya di depan pintu, lalu meletakkan fast food Wendy's secara sembarangan di meja konter berbentuk L di ruang tamu Miracle. Ia pun melangkah ke depan sahabatnya.

"Apa yang kau lakukan, Miracle? Seharusnya kau ikut saja ke gereja denganku daripada mengacau di sini." Clarice berkacak pinggang sebal. Tak ada gunanya mencegah Miracle, karena isi tasnya benar-benar dibobol habis.

"Aku tidak mau ikut ke gereja denganmu. Aku belum bisa menerima komuni. Aku tidak suka melongo selama Doa Syukur Agung," dalih Miracle sambil memperhatikan barang-barang Clarice yang tercecer di lantai.

Clarice mendegus. "Yo! Jadi apa yang kau cari di tasku?"

"Hmm ... itu. Aku heran mengenai pakaian-pakaian yang kau bawa. Apakah kau hanya membawa cardigan dalam tasmu?"

Clarice menepuk keningnya keras. "Oh my God. Aku tidak mengerti mengapa kau perlu mencari pakaian hingga memberantakkan isi tas. Sebenarnya aku membawa dress biru navy selutut dan kaus turtleneck juga. Jadi apa yang kau mau?"

"Begini. Aku ada acara nanti malam. Aku ingin mengajakmu. Tetapi, jika pakaian yang kau bawa hanya seperti ini, aku terpaksa meminjamkan beberapa pakaian bagusku." Miracle pun melangkah memasuki kamar, dan meninggalkan kekacauan yang diperbuatnya.

Clarice memandang nanar barang-barangnya yang tercecer di lantai ruang tamu. Ia mengembuskan napas kasar, lalu berjalan mengikuti Miracle memasuki kamar.

"Aku heran seorang desainer bisa memiliki selera fashion yang sangat rendah," gerutu Miracle sambil memberantakan isi lemarinya.

"Aku desainer pakaian dalam. Dan aku membuat itu untuk dipakai orang lain," sahut Clarice sambil lalu. Ia mengambil bolpoin di meja konter yang menempel di dinding kamar Miracle, lalu menambahkan aksesori di kepala poster Paul McCartney.

"Bagaimana kalau kau memakai ini?" Clarice langsung menjatuhkan bolpoin dan menoleh ke arah Miracle. Sahabatnya menunjukkan sebuah gaun koktail merah polos tanpa lengan dari kain satin panas.

Clarice berjalan mendekati Miracle sambil bersedekap. Ia mengamati pakaian tersebut tanpa menyentuhnya. "Memangnya kita akan pergi ke mana? Aku tidak suka gaun koktail seperti itu. Meskipun desainnya terbuka di bagian bahu, hanya ada tali kecil ini, tetap saja tubuhku bisa berkeringat," protes Clarice. Gadis itu merebahkan tubuhnya di kasur Miracle, lalu memeluk sebuah guling.

Miracle mendesah, melemparkan gaun koktailnya ke meja konter, lalu menarik guling yang dipeluk Clarice. "Ayolah. Momku akan pulang besok pagi. Kita masih bisa bersenang-senang hingga tengah malam ini. Ayo gunakan kesempatannya," rajuk Miracle sambil terus menarik-narik guling yang dipeluk Clarice meskipun Clarice tetap mengeratkan pelukannya.

Mendengar kata 'bersenang-senang', pikiran Clarice langsung waspada mengenai hal-hal yang berbau mencurigakan. "Bersenang-senang apanya? Kita mau ke mana?"

"Ke kelab."

"Astaga, Miracle! Aku tidak mau. Kau mengacaukan hari Minggu-ku."

***

Clarice terduduk di mobil Miracle sambil terus menggerutu. Mengapa ia harus memakai gaun koktail merah ini dan mengikuti Miracle yang ingin pergi ke kelab? Ia sudah trauma menghadiri pesta-pesta remaja seperti itu lagi. Peristiwa buruk berkelanjutan yang terjadi di pesta TGIF keluarga Patterson sudah cukup gila. Ia tidak ingin mencoba pesta yang lebih gila lagi.

"Kau tenang saja. Tidak akan ada masalah dalam kelab Analog Brooklyn. Aku sudah berkali-kali mengunjunginya. Semua orang yang datang dalam kelab ini adalah orang berkelas," ujar Miracle sambil menancapkan kunci mobilnya.

Clarice berdecak sebal. "Intinya kau akan ikut ke kelab malam ini. Aku diwajibkan oleh Anthony untuk mengundang seseorang. Dan orang itu pasti dirimu. Kau perlu lebih banyak bersenang-senang."

Lalu, ia menginjak pedal gas dan mobil pun melaju cepat menuju kelab Analog Brooklyn.

"Kau menculikku!" erang Clarice.

Footnote:

Passion of the Christ= film indie tahun 2004 yang menceritakan tentang Kisah Sengsara Yesus Kristus

Gigolo= pelacur pria

Komuni= penerimaan hosti kudus setelah Doa Syukur Agung

Doa Syukur Agung= puncak perayaan Ekaristi dalam agama Katolik, di mana umat memberi kesempatan kepada Tuhan untuk hadir dalam rupa konsekrasi tubuh dan darah Kristus

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro