BAB 26

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Lamunan Noah terpecah sejenak ketika ia mendengar suara erangan kecil Clarice. Cewek itu menggosokkan pipinya ke kaus Noah, lalu kembali tertidur pulas. Noah yang merasakan sesuatu basah di kausnya, segera menoleh ke arah Clarice. Mulut cewek itu terbuka sedikit, dan sedetik kemudian, Noah tahu bahwa sesuatu basah tadi adalah air liur Clarice. Ia terkekeh pelan, lalu mengusap liur di pipi Clarice dengan tangannya.

Sesaat kemudian, Noah masih sempat untuk menikmati wajah polos Clarice ketika tertidur dalam damai, sampai ketika punggung tangannya menyentuh rahang bawah Clarice. Terasa hangat. Apakah Clarice demam? Atau ia hanya kelelahan? Atau memang suhu tubuhnya seperti ini? Noah tak tahu. Ia jarang melakukan kontak fisik yang intens dengan Clarice, sehingga ia tak mengetahui suhu tubuh normal cewek itu. Oh ... semoga saja Clarice hanya kelelahan. Ia tak tahu apa yang harus dilakukannya jika Clarice benar-benar sakit.

Tiba-tiba, pikirannya teralihkan sementara ketika Noah mendengar pintu depan café berderit. Mata Noah menangkap sosok cowok familier yang masuk. Tunggu. Noah sepertinya pernah berkenalan dengan cowok tersebut, tapi .... Kapan tepatnya itu terjadi? Dan siapa cowok itu? Noah berusaha memutar ulang memorinya, ketika tiba-tiba barista menyapa cowok tersebut.

"Hai, Jefferson. Kau sedang apa malam-malam begini?" Cowok itu mengedikkan bahu sambil menggeleng lemas, lalu mengempaskan tubuh ke salah satu kursi. Barista itu pun mengangkat alis, lalu melanjutkan pekerjaannya sendiri.

Ah, ya. Tak salah lagi. Cowok itu pasti Jefferson Royce. Cowok yang membuat Clarice merasa sangat buruk tadi, pikir Noah sambil mengepalkan kedua tangan. Noah memindahkan posisi kepala Clarice dari dadanya ke sandaran sofa, lalu memanggil Jefferson. "Hey, Jefferson Royce!"

Jefferson spontan menoleh ke sumber suara. Lalu, tatapannya bertemu dengan Noah. Cowok itu terdiam sejenak, mungkin berusaha mengingat-ingat. "Noah Montgomery?"

"Tidak salah." Noah tersenyum sinis, lalu menoleh menatap Clarice. Jefferson otomatis mengikuti arah pandang Noah, dan ia pun melihat Clarice yang tertidur pulas di sofa café, di samping Noah.

Selama beberapa saat, naluri cowoknya muncul dan ia ingin memprotes kepada Noah. Ia tidak suka jika Clarice berdekatan dengan cowok lain kecuali dirinya. Tetapi, setelah apa yang terjadi beberapa jam lalu, Jefferson merasa bahwa ia tak berhak menanyakan apa pun tentang itu. Maka, Jefferson pun berniat membahas hal lain.

"Bagaimana kau mengetahuiku di sini?"

Pertanyaan bodoh, pikir Noah geram. "Aku di sini sejak lama."

Jefferson mengangkat sebelah alis. Sangat jelas bahwa Jefferson benar-benar tidak bermaksud menanyakan yang seperti itu. Namun, itulah yang tadi terucap dari mulutnya.

"Aku tidak suka berpura-pura tidak tahu. Jadi, dewasalah Jefferson. Dunia ini bukanlah drama, di mana aku menjadi buta dan tak dapat melihatmu memasuki café, lalu kau terus mengeluh dan menyalahkan Clarice secara sepihak. Di dunia ini, kau harus menghadapi semua masalahmu," ujar Noah sambil menatap tajam ke arah Jefferson.

Aku tidak mengeluh. Sial, bantah Jefferson dalam hati.

"Aku tidak bermaksud begitu," ketus Jefferson.

"Clarice sudah merasa bahwa kau adalah bagian dari hidupnya. Tentang masalah di kelab beberapa jam yang lalu ... mungkin itu bagian dari rasa cemburu seorang cewek yang pertama kali menyukai cowok. Aku berharap kau menghargai perasaan Clarice dengan tidak meninggalkannya begitu saja." Ucapan Noah begitu tenang namun menusuk relung hati Jefferson.

"..."

"Jangan salah paham, Royce. Clarice bersama denganku hari ini bukan karena ia berpindah hati secepat itu. Ia bercerita padaku bahwa ia merindukan waktu-waktu bersamamu. Dan, asal kau tahu saja, kau behasil membuat Clarice menyukaimu. Kurasa ia masih bersedih karena kau melakukan hal cabul seperti itu." Telinga Jefferson memerah begitu mendengar kata 'cabul'. Apa yang dilakukannya di kelab tidak sampai harus dilabel seperti itu.

Jefferson mematung sambil mengepalkan tangan. "Clarice kuserahkan padamu, Royce. Kuharap kau dapat meluruskan beberapa hal dengannya." Noah beranjak bangun setelah mengelus kepala Clarice singkat. Ia menatap tajam ke arah Jefferson, lalu berjalan keluar dari Bunny's Café.

Sejenak, Jefferson tak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang. Di hadapannya, Clarice tertidur begitu pulas. Wajahnya memerah. Jefferson tak tahu apa yang terjadi. Apakah mungkin seorang Clarice mabuk setelah patah hati karenanya? Sulit dipercaya.

Jefferson berjalan menghampiri Clarice, lalu duduk di sebelahnya, menggantikan tempat Noah. "Clary ...," panggilnya pelan. Jefferson mengulurkan tangannya untuk menarik pipi Clarice supaya wajah cewek itu menghadap ke arahnya. Tatkala menyentuh pipi Clarice, Jefferson merasa bahwa tubuh Clarice terlalu panas. Terlalu panas untuk disebut mabuk. Dengan cepat, Jefferson menoleh ke arah cangkir di atas meja, lalu melihat isinya.

Matcha. Tidak. seperti dugaannya tadi, Clarice memang tidak mabuk. Jefferson kembali menatap Clarice, lalu memperhatikan cewek itu yang mengerang tak nyaman. Jefferson menyentuhkan lagi punggung tangannya di rahang bawah Clarice. Ya Tuhan, ini sungguh panas. Apakah Clarice demam sekarang?

"Clary, apakah kau baik-baik saja?"

Suara bariton Jefferson yang terdengar sangat dekat di telinga Clarice langsung membangunkan Clarice dari tidurnya. Clarice mengerjap beberapa kali, lalu membuka matanya perlahan. Ia langsung bertemu tatap dengan Jefferson yang memandangnya dengan khawatir. Satu sisi otaknya memerintah tubuhnya untuk segera memeluk Jefferson sebelum cowok itu kembali menghilang. Namun, sisi lain otaknya mengingatkan atas adegan mengerikan beberapa jam yang lalu. Jika mengingat kejadian tersebut, mungkin Clarice tak akan pernah mampu bertemu Jefferson lagi. Ia begitu takut menghadapi cowok itu sejak kejadian di Analog Brooklyn.

"Apakah kau baik-baik saja?" ulang Jefferson, dengan suara yang lebih lembut.

Clarice mematung di sofa.

"Apa kau demam?"

Tetap tidak ada jawaban. Jefferson menyentuh kening Clarice untuk mengecek ulang temperatur cewek itu. Sedikit sentuhan itu langsung mengaktifkan otot-otot dalam tubuh Clarice.

"Tidak." Akhirnya Clarice kembali menemukan suaranya. Ia mengambil tas tangannya, lalu beranjak bangun dari sofa. Sejenak, ia merasa kepalanya terlalu berat untuk diangkat. Namun, menjauh dari Jefferson lebih penting daripada memanjakan kepalanya. Ia tak tahan berada di dekat cowok itu.

"Clary, jika kejadian tadi yang membuatmu tidak ingin berbicara denganku, aku minta maaf. Tetapi, jika kau demam, tolong jangan membahayakan tubuhmu sendiri," kata Jefferson cepat. Ia menahan lengan Clarice, mencegah cewek itu pergi.

Yeah, Clarice masih merasakan getaran itu. Jantungnya masih berdebar-debar ketika Jefferson menyentuhnya. Namun, akal sehat membuatnya memutuskan untuk segera melepaskan diri dari pegangan Jefferson. "Kubilang aku tidak demam."

"Kalau begitu mengapa tubuhmu panas sekali?"

Cowok ini merepotkan, keluh Clarice. "Suhu tubuhku memang seperti ini. Tolong kau segera menjauh. Aku tidak ingin dekat-dekat denganmu."

Clarice berjalan cepat menuju pintu luar Bunny's Café, dan meninggalkan cowok itu di belakang. Sesampainya di depan café, Clarice menyandarkan tubuh di sebuah graffiti kusam. Baiklah. Jadi bagaimana ia akan pulang sekarang? Apakah ia akan naik bus tengah malam, ketika kondisi tubuhnya—jujur saja—seburuk ini? Eergh ... bagaimana bisa Noah meninggalkannya bersama Jefferson sekarang?

Clarice memijat pelipisnya, lalu memutuskan untuk terus berjalan. Setidaknya, ia harus segera menjauh dari Jefferson, kan? Sebelum cowok itu mengusiknya lagi dan ....

"Clary!"

Ya Tuhan. Clarice menepuk keningnya, namun ia segera menurunkannya kembali. Keningnya benar-benar panas. Oke, Clarice berusaha menyingkirkan masalah itu sebentar dari pikirannya. Ia berjalan semakin cepat menjauhi Jefferson. Namun, tubuh Jefferson yang jauh lebih fit berhasil menyusul Clarice dalam beberapa detik.

"Jeff, bisakah kau tidak ...."

Jefferson menarik kepala dan bahu Clarice mendekat ke arahnya, lalu mendekap erat cewek itu. Ia menyandarkan dagunya di puncak kepala Clarice, lalu memejamkan mata. "Clary, maaf untuk kejadian tadi. Tapi, aku ingin mempertegas sesuatu kepadamu. Aku menyukaimu, sangat menyukaimu."

Hatinya benar-benar kacau sekarang. Ia menyukai Jefferson, dan cowok itu menyukainya. Ini sempurna. Kondisi seperti ini seharusnya adalah adegan-adegan happy ending di film-film romance—omedy. Tetapi, aargh ... mengapa ia harus melihat kejadian di Analog Brooklyn? Mengapa Jeff melakukan hal asusila seperti itu? Mungkin Tuhan hanya sedang menunjukkan fakta kepadanya.

"Aku tidak mau. Kau melakukan ini pada banyak cewek. Aku bukan cewek-cewek seperti mereka." Clarice berusaha melepaskan diri dari pelukan Jefferson, namun cowok itu semakin mempererat pegangannya di kepala dan bahu Clarice. Dadanya kembali bersentuhan dengan dada Jefferson. Ia dapat merasakan detak jantung cowok itu. Tetapi, tidak. Ia tidak seharusnya bertahan dalam posisi ini. "Lepaskan aku, Jeff."

"Tidak!" ujar Jeff tegas. "Tidak sebelum kau mengizinkanku mengantarmu pulang." Jika situasinya bukan seperti ini, sebenarnya usulan Jefferson adalah ide bagus. Tetapi, apakah sekarang ia akan membiarkan cowok itu mengantarkannya pulang ke rumah?

"Aku tidak akan melakukan apa pun. Hanya izinkan aku mengantarmu pulang," tegas Jefferson. Cowok itu mulai mengendurkan pelukan, lalu menatap Clarice lekat-lekat. "Kau gadis perawan. Dan aku yakin kau sedang sakit sekarang. Aku tak dapat membiarkanmu naik bus tengah malam sendirian."

Itu alasan yang sangat logis. Namun, sebelum Clarice sempat memutuskan apa pun, Jefferson menariknya menuju mobil yang diparkir di samping café.

"Jeff, aku ...."

"Aku tahu kau tak bisa menolak ini." Jefferson membuka pintu mobil, lalu memaksa Clarice masuk ke mobilnya. Ia pun segera menutupnya kembali, lalu berjalan memutar untuk duduk di kursi pengemudi.

***

Mobil Jefferson pun berhenti di depan rumah Clarice—bukan rumah Miracle. Cewek di sisinya tertidur pulas bagai mayat bernapas. Bagi Jefferson, pemandangan ini adalah hal terlucu, jika saja Clarice sedang baik-baik saja. Apakah Clarice demam karena kelelahan memikirkan kejadian di kelab? Sepertinya Jefferson berharap jawabannya adalah tidak.

"Clary." Jefferson memberikan sedikit guncangan pada bahu Clarice untuk membangunkan cewek itu. Beberapa saat kemudian, Clarice mengernyitkan kening, lalu membuka matanya perlahan. Ia segera menegakkan punggungnya yang merosot di jok mobil, lalu memandang sekeliling.

"Oh, aku tidak seharusnya pulang ke sini." Jefferson mengangkat alis bingung. "Aku seharusnya sedang berpesta piama di rumah Miracle. Barang-barangku masih di rumahnya."

"Kalau begitu kau bisa mengambil barangmu besok. Kau harus segera beristirahat malam ini. Besok kau berangkat sekolah, kan?" Clarice mendengus mendengar pertanyaan itu. "Oh, kau tidak akan masuk sekolah? Atau kau tidak suka mendengar saranku?"

Clarice mengedikkan bahu, lalu mengambil tas tangannya. "Bisakah kau masuk sebentar? Aku ingin bertanya sesuatu." Tanpa menunggu jawaban, Clarice segera membuka pintu mobil lalu berjalan melewati garasi rumahnya.

Jefferson berjalan menyusul Clarice yang mencari-cari sesuatu di tas tangan. Mungkin kunci rumah? "Kau mencari kunci? Sini biar kucarikan." Jefferson meraih tas tangan Clarice, lalu membantu gadis itu mnecari kunci rumah. Mata Clarice yang biasa memerah ketika demam membuatnya tak dapat melihat dengan jelas, maka ia membiarkan Jefferson mencari kunci rumahnya.

Clarice memperhatikan setiap gestur Jefferson yang sedang merogoh tasnya. Ketika alis hitam tebal sempurna cowok itu berkerut, ketika cowok itu memicingkan mata, dan ketika cowok itu mengangkat alis ketika akhirnya mendapatkan kunci. Clarice berpikir bahwa mungkin ia memang sudah menyukai cowok itu. Namun, sekarang semuanya hanya menjadi khayalan belaka. Tidak akan ada hubungan lebih lanjut setelah pemandangan mengerikan di kelab.

Jadi, Clarice harus meluruskan semuanya sekarang. Di dalam rumahnya, malam itu juga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro