BAB 27

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Clarice menerima kunci dari tangan Jefferson, lalu membuka pintu rumahnya. Ia mempersilakan Jefferson masuk, lalu menutup pintu. Kemudian, Clarice merebahkan tubuhnya di sofa ruang tamu.

"Jeff, bisakah kau mengambil kotak obat di atas meja konter dapur? Juga segelas air putih. Dapur di sebelah sana." Clarice menunjuk ke belakang bahunya, lalu memejamkan mata dan meregangkan tubuhnya di sofa.

"Kau benar-benar sakit. Mengapa kau masih berlagak kuat?" Jefferson melepaskan jaket, lalu meletakkan kunci mobil bersama dengan jaketnya di atas meja konter terdekat, yaitu di dekat pintu depan. Cowok itu tetap memandang Clarice dengan tatapan menyelidik.

Bagi Clarice, itu pertanyaan retorik. Tidak perlu jawaban. Maka, Clarice tetap bergeming. Sementara Jefferson berjalan menuju dapur, Clarice melirik melalui belakang bahunya. Sekali lagi, Clarice memperhatikan setiap gerak-gerik cowok itu. Ia benar-benar bimbang sekarang. Apa yang akan dibicarakannya dengan Jefferson setelah cowok itu kembali di hadapannya lagi nanti? Apakah ia akan langsung meminta putus hubungan sama sekali, atau ia akan mencoba memahami penjelasan Jefferson? Ia tidak tahu.

Tak lama, Jefferson pun kembali sambil membawa sekotak obat Addaprin dan segelas air mineral dari dispenser. "Maksudmu kau ingin mengambil ini, kan?"

Clarice mengangguk kecil, lalu menerima kedua benda itu. Ia membuka kotak obat Addaprin, menyobek bungkusan obat, lalu memasukkan kaplet ke mulutnya. Kemudian, Clarice meminum beberapa tegukan air sebelum mendesah lega.

Jefferson menerima uluran gelas dan kotak obat Addaprin, lalu meletakkannya di salah satu meja konter terdekat. Lalu, cowok itu duduk menjajari Clarice di sofa.

"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" Jefferson menyandarkan kedua sikunya di atas sandaran sofa sambil menatap Clarice lurus-lurus.

Clarice terdiam sejenak, menelan saliva. Ia meraba lehernya sekali, barangkali kaplet Addaprin masih tersangkut di tenggorokannya. Oh, tentu saja tidak. Tetapi, mengapa tenggorokan Clarice terasa tercekat ketika hendak mengatakan hal ini? Rasanya sulit sekali.

Chat bisa ditarik. Tetapi perkataan tidak bisa ditarik kembali. Apakah seharusnya aku membicarakan ini lewat SMS saja? Aargh ... mengapa jadi begitu membingungkan seperti ini? Clarice terus-terusan mengingatkan dirinya sendiri tentang hal ini. Kalau begitu, bagaimana ia harus menyusun kata-katanya?

"Jefferson Royce, apa kau masih berpikir bahwa hubungan kita akan baik-baik saja setelah apa yang kaulakukan dan kulihat di Analog Brooklyn?" Oke. Bagus sekali, Clarice. Lanjutkan. Itu pertanyaan pembuka paling salah yang pernah terucapkan lewat lidahnya. Sial.

"Aku ...." Sepertinya Jefferson sedang mencoba untuk menjawab. Baiklah, Clarice sudah menanyakannya. Jadi Clarice memiringkan kepala sambil menunggu jawaban Jefferson. "Bisakah kau mendengar argumenku?" tanya cowok itu akhirnya.

Clarice mengangguk kecil. "Aku memang mengajakmu berbicara di sini karena ingin mendengar penjelasan menurutmu."

Jefferson menghela napas, lalu memulai pembicaraannya. "Kuakui, aku bukan cowok religius, baik, kalem, the boy next door, atau apa pun yang dapat mendeskripsikan tentang cowok calon pendeta. Aku adalah cowok remaja yang nakal, suka bermain, dan disukai banyak cewek. Aku yakin kau sudah mengetahui fakta itu sejak awal. Aku memang sering pergi ke kelab malam, dan berinteraksi dengan cewek-cewek malam. Yeah, aku benar-benar jujur sekarang. Tetapi, lambat laun, kebiasaan itu mulai luntur sejak aku bertemu denganmu, sejak aku berniat mengejarmu, dan sejak kita menjadi dekat. Aku menyukai waktu-waktu bersamamu, dan mulai saat itu, aku benar-benar ingin mendapatkan hatimu. Oke, kau masih mendengarku?"

Jefferson menghentikan penjelasannya ketika ia menyadari Clarice sedang duduk merosot di sofa sambil memejamkan mata. Namun, kemudian terdengar suara kecil Clarice. "Ya, lanjutkan."

"Lalu, ada pertandingan lacrosse kemarin. Itu pertama kalinya setelah beberapa bulan sejak aku bertemu denganmu, ketika aku dikerubung banyak cewek-cewek pemandu sorak dan pengagum olahraga lacrosse. Jadi, ehm ... itu tidak menutup kemungkinan bahwa ada cewek yang menyentuh ... aish. Aku tidak tahu cewek itu sengaja atau tidak. Tetapi, kau mengerti arah pembicaraanku, kan?" Clarice mengangguk kecil. "Ya. Jadi, setelah itu, sebagai remaja cowok yang mengalami masa pubertas, hasrat sensual itu bangkit kembali."

Aku baru tahu jika reaksinya sedahsyat itu, pikir Clarice sambil mengeryitkan kening.

"Kau masih dapat memahamiku sampai di sini?"

"Aku sedang mencoba memahamimu. Baik, lanjutkan." Clarice mengibaskan tangannya sekilas.

"Oke, jadi sepulang pertandingan itu, aku tergoda untuk melakukan sesuatu seperti itu lagi. Awalnya, aku benar-benar ingin melakukannya denganmu, ketika mengantarmu pulang. Tetapi, aku tahu bahwa kau tidak akan mau melakukannya. Jangan khawatir, Clary. Aku tahu batas-batasku."

Clarice menusuk-nusuk jarinya dengan gelisah, berusaha menahan tangannya untuk tidak meninju Jefferson. Ia memaksa kepalanya untuk mengangguk. Ia hanya ingin pembicaraan ini berlangsung dengan baik.

"Sabtu itu, kebetulan ketika Analog Brooklyn sedang tutup. Jadi, aku datang ke kelab di hari Minggu. Lalu, Karen Barnum mendekatiku ketika aku sedang bermain bersama-sama dengan beberapa teman. Aku benar-benar tak mengerti apa yang terjadi dengannya sebelum itu, karena tiba-tiba saja ia langsung menciumku dan menarikku ke sudut ruangan—mungkin ia mabuk. Yeah ... itu kesalahanku karena aku tidak mengelaknya. Aku menikmati ciuman dengan Karen. Tapi, tidak! Aku sama sekali tidak menyukainya, apalagi mencintainya. Aku hanya sedang melampiaskan hasratku pada cewek-cewek malam. Hingga tiba-tiba Miracle memanggilku untuk menemuimu. Dan saat itu juga, aku menyadari bahwa aku melakukan kesalahan besar. Kau mungkin saja ada di mana-mana, karena kau adalah teman Miracle. Aku menyukaimu, sungguh. Jadi, seharusnya aku tidak melakukan sesuatu seperti itu lagi. Aku seharusnya memang serius mengejarmu." Jefferson mengembuskan napas lega setelah mengatakan semuanya. Ia mengusap wajahnya sambil memejamkan mata, lalu berkata, "Sekali lagi, aku minta maaf."

Tidak ada jawaban. Jefferson membuka matanya satu persatu. Ehm ... apakah Clarice mendengarnya? Cewek itu duduk merosot di sofa, matanya terpejam dan ia tidak bergerak sama sekali untuk menanggapi penjelasan Jefferson. Sial, ungkin Jefferson tidak akan punya keberanian untuk menjelaskan semua ini sekali lagi. Jadi apa gunanya tadi ia menjelaskan itu semua tadi? Oh, sepertinya perasaannya semakin lega

"Clary, kau mendengarku?"

Tidak ada jawaban.

Jefferson melambai-lambaikan tangan di depan wajah Clarice, lalu mencoba memanggil lagi, "Clary."

Tetap tidak ada jawaban.

"Clary, apa kau mendengarku? Kau tertidur?" Jefferson mengeraskan suaranya kali ini.

Clarice pun mengeluarkan suara erangan kecil, lalu mengernyitkan kening. Ia menggeliat pelan, lalu kembali tertidur. Jefferson mengembuskan napas kasar. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh rahang bawah Clarice, mencoba mengecek ulang temperatur tubuh Clarice. Namun, belum sampai Jefferson menyentuh Clarice, cewek itu sudah menepis tangannya. Kemudian, Clarice menarik lengan Jefferson, beringsut mendekat ke arah cowok itu, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Jefferson.

"Clary ...," Jefferson mengembuskan napas untuk menetralisir debar jantungnya, "kau yakin? Kau tidak apa-apa?"

Clarice menggeleng kecil. Ia mengusapkan pipinya sekali di bahu Jefferson, lalu terus bergeming setelah itu. Sementara menikmati posisi tersebut dengan Clarice, Jefferson menyingkirkan untaian-untaian rambut yang menutupi wajah Clarice. Kemudian, cowok itu menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu memejamkan mata sambil tersenyum tipis.

***

Sinar matahari pagi menerobos melalui jendela rumah Clarice, menyiramkan cahaya sepenjuru ruang tamu. Clarice mengerjapkan mata beberapa kali ketika seberkas cahaya masuk melewati pupil matanya yang sedikit terbuka. Ia menggeliat, sebelum kemudian merasakan bahwa ia tidur di atas sesuatu yang ganjil—bukan spring bed, ia tak seharusnya tidur di atas sini. Clarice meraba-raba alas tidurnya, masih sambil menyipitkan mata dengan enggan.

Shit, apa ini? Mengapa terasa seperti kaus? Sebelum Clarice sempat mengangkat kepalanya untuk melihat alas tidurnya dengan jelas, sesuatu itu bergerak. Sesuatu itu bergerak terlalu cepat, sehingga Clarice terjatuh dari atasnya menuju ... tunggu, apa ini? Sofa. Kepala Clarice terjatuh menuju sofa. Jadi, sebelumnya ia meniduri apa?

"Clar ... Clary ... maaf. Aku tidak bermaksud apa pun ...." Clarice langsung membelalakkan matanya ketika mendengar suara gagap tersebut.

Jefferson? Apa? Jefferson? Apa yang kulakukan? Apa yang kaulakukan? Clarice merasa kepalanya kembali pening.

"Clary, maaf. Aku tidak bermaksud melakukan apa pun. Setelah aku berbicara panjang lebar denganmu, kau beringsut ke arahku. Lalu aku membiarkan kita dalam posisi seperti itu, sampai tak sadar aku pun tertidur. Tapi, tenang saja. Aku tak melakukan apa pun." Jefferson berbicara terlewat cepat sambil mengangkat kedua tangannya dengan panik.

Clarice tak mengatakan apa pun. Ia menggaruk puncak kepalanya yang mendadak gatal, sambil memandang bingung ke arah cowok di hadapannya. Apa yang sebenarnya terjadi semalam? Ia beringsut ke arah Jefferson? Ia tidak menyadari bahwa ia pernah melakukan itu. Sejak kapan reflek tubuhnya berubah menjadi segila ini?

"Oke. Baiklah, Clary. Aku harus pulang dulu. Aku harus langsung bersiap-siap. Sampai jumpa," ujar Jefferson cepat, lalu meraih jaket dan kunci mobilnya di meja konter dekat pintu. Ia membalik lengan jaketnya, lalu memakai jaket hitam kulit vintage tersebut dengan terburu-buru, sebelum kemudian memutar anak kunci yang tertancap di pintu. Cowok itu keluar dari rumahnya secepat kilat, tanpa memberikan pencerahan apa pun kepada otak Clarice yang sedang tidak berfungsi optimal.

Clarice menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengerjapkan mata, berusaha menyadarkan diri secepat mungkin. Ia langsung melirik jam dinding di atasnya ketika sudah dapat melihat dengan jelas, dan ... sial!

Jam 07.30 a.m. Shit, ia akan terlambat. Senin yang menyebalkan, pertanda minggu yang buruk. Oke. Tidak ada waktu untuk mandi. Clarice segera berlari ke kamarnya untuk mencuci muka dan berganti pakaian. Demam yang dirasakannya semalam seolah sudah hilang sekarang, ketika tubuhnya dituntut untuk bekerja sangat gesit.

***

Oke, uhm ... hari Senin Clarice memang berlangsung dengan sangat buruk. Ia sama sekali tak dapat membuat sketsa desain produk kemasan snack di pelajaran Digital Art. Imajinasi dan kreativitas dalam otaknya sama sekali tidak berfungsi hari itu. Pelajaran Aljabar bersama Dr. Martinez juga tidak dapat dipahami oleh Clarice.

Ketika waktu istirahat tiba dan Clarice hendak menukar buku-bukunya di loker, ia merasakan kehampaan ketika pintu lokernya masih polos. Beberapa bulan yang lalu, pintu lokernya hampir selalu dihiasi dengan sticky note dari Jefferson. Pada saat-saat tertentu, Clarice merasa bahwa mungkin hubungan khayal sebatas surat menyurat dan teror sticky note adalah masa terindah. Ia tidak harus bertemu dengan Jefferson. Ia hanya perlu menikmati surat-surat dan catatan manis itu, lalu menyimpannya di laci meja belajar di kamar. Namun, rupanya alam mewujudnyatakan semua itu baginya. Hubungannya dengan Jefferson dan Nicholas menjadi sesuatu yang harus selalu siap dihadapinya. Setiap getaran, hambatan, dan kenyataan pahit harus dialaminya. Clarice pikir, mungkin itu memang terlalu berat untuk dihadapinya. Ia tak harus menjadi remaja emosional cinta karena tiga pucuk surat cinta sialan itu.

Baiklah. Clarice sudah menghabiskan cukup banyak waktu untuk merenung di depan pintu loker. Ia menukar buku-bukunya dengan cepat, lalu berjalan menuju kafetaria untuk makan sendirian. Sepulang sekolah nanti, ia masih harus menuju ke rumah Miracle untuk membereskan barang-barangnya yang tertinggal di sana.

Footnote:

Addaprin= salah satu merek obat demam

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro