BAB 28

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"So, what's up?" sapa Miracle ketika Clarice memasuki rumah sahabatnya itu.

Clarice melenggang memasuki rumah Miracle, menendang lepas sepatunya, lalu mengempaskan diri di sofa ruang tamu. "Tidak ada kabar apa-apa. Aku hanya ingin mengambil barang-barangku, dan ... bercerita sedikit kepadamu."

Miracle menunjukkan duckfacenya yang menggelikan. "Bercerita tentang apa? Hey, omong-omong, ke mana kau semalam? Kau tidak bermalam di café persama Noah, kan?"

Clarice menggigit bibir bawahnya sambil mendesah. Sial! Bermalam di café bersama Noah sudah buruk. Tapi yang kulakukan jauh lebih buruk dari itu. Akhirnya, Clarice memutuskan untuk menjawab, "Tentu saja tidak."

"Lalu apa yang kau lakukan?" cecar Miracle. Sahabatnya itu ikut mengempaskan diri di sofa di samping Clarice. Ia menyandarkan sikunya di atas sandaran sofa lalu menumpukan kepala di punggung tangan sambil menatap Clarice lurus-lurus.

Clarice merasa terintimidasi dengan tatapan itu. Ia mengerutkan kening seraya berdecak sebal. "Jefferson menemuiku."

"Fucking! Apakah kau melakukan sesuatu dengannya?" Tangan Miracle membentuk tanda kutip ketika mengatakan 'sesuatu'.

"Tidak! Tentu saja tidak. Apa, sih isi pikiranmu itu?" Clarice mendengus sebal sambil menepis tangan Miracle yang membentuk tanda kutip konyol. Miracle mengedikkan bahu, lalu terkekeh pelan.

Clarice pun berjalan menuju tas ranselnya yang teronggok di pinggir ruang tamu. Ia mengemasi barang-barang di sekitarnya dengan cepat, lalu masuk ke kamar Miracle. Clarice pun mengambil barang-barangnya yang diletakkan di kamar Miracle, kemudian memasukkan ke dalam tas. Setelah selesai beberes cepat, Clarice pun melemparkan tas ranselnya yang terasa bertambah berat ke depan pintu rumah Miracle. Oh, sekarang ia tidak peduli dengan itu.

"Hei, hei, hei. Kau jadi bercerita, kan? Sini. Duduklah dulu." Miracle beranjak dari sofa, lalu menarik lengan Clarice supaya kembali duduk di sofa.

Clarice pun bergerak malas menuju sofa Miracle.

"Jadi, ayo ceritakan sesuatu. Aku pendengar yang baik," ucap Miracle sambil menyibakkan rambut yang menutupi telinganya.

Awalnya, tujuan Clarice memang datang ke rumah Miracle antara lain untuk menceritakan pergulatan batinnya. Namun, Miracle yang menghancurkan moodnya tiba-tiba membuat Clarice tak tahu harus mulai bercerita dari mana.

"Aku mulai berpikir bahwa tidak seharusnya aku mencintai seseorang yang sudah dicintai banyak cewek lain. Persaingannya terlalu berat." Akhirnya, Clarice berhasil mengucapkan kalimat tersebut. Itu memang retorik, tetapi memang hal itulah yang paling ingin dibicarakannya.

"Aku belum pernah mengencani seorang cowok yang benar-benar populer. Tetapi, aku memahami perasaanmu," ujar Miracle simpatik.

Clarice mendesah. "Ini kebodohan. Aku merasa dekat dengannya, padahal ia memang dekat dengan banyak cewek. Ini menyakitkan, tapi inilah jalan yang kupilih." Bahu Clarice melesak ke bawah ketika mengatakan hal itu. Ia menundukkan kepala sambil menusuk-nusuk jarinya dengan kuku.

"Jangan salahkan cinta jika tiba-tiba kau menjadi bodoh. Cinta memang dapat membuatmu buta. Tapi itu hanya membutakan hatimu. Kau cewek pintar, Clarice. Gunakanlah matamu. Karena fakta tidak akan menipu yang firasat. Aku juga pasti akan marah jika cowok yang benar-benar kusukai berlaku seperti itu kepada cewek lain. Kau hanya boleh kembali percaya padanya, jika ia meminta maaf kepadamu secara terang-terangan. Sesuatu yang dapat kaulihat dengan mata. Terkadang, terlalu menggunakan hati membuat hidup cewek semakin menderita." Miracle menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu memejamkan mata dengan tenang.

Clarice mengangguk. Namun, sedetik kemudian ia menggeleng sambil bergidik ngeri. "Aku juga tidak tahu mengapa aku menyukainya. Kami sama sekali berbeda, dan itu menunjukkan bahwa kami tidak akan pernah cocok."

Miracle langsung menegakkan punggung secara mendadak. "Kupikir itu alasannya," kata Miracle seolah ia menemukan sebuah ide brilian. "Karena kau sama sekali berbeda dengan Jefferson. Kau menyukai hal-hal yang dimilikinya, dan ia menyukai hal-hal yang kaumiliki. Kau pastitahu bahwa kau tidak akan mendapatkan pelajaran hidup apa pun jika berkencan dengan cowok seperti Noah. Tetapi, lain jadinya jika kau berkencan dengan Jefferson. Kalian berdua mendapatkan banyak hal. Kalian bahagia dan selalu merasa baru ketika berusaha memahami hati masing-masing. Kupikir, itulah alasan mengapa kau menyukainya."

"Aku tak tahu." Clarice menggeleng lemah, lalu mengerucutkan bibir.

"Menurutku ini juga cukup bagus untukmu, Clarice. Biasanya kau terkungkung dalam sarang. Bertemu Jefferson membawamu kepada dunia yang sesungguhnya," ujar Miracle sambil mengusap puncak kepala Clarice. Untuk kali itu, ia membiarkan tangan Miracle berada di atas kepalanya.

"Tetapi, kau tahu? Cara Jefferson berciuman di kelab membuatku benar-benar takut. Aku tak mengerti mengapa ia melakukan itu sementara ia berusaha mengejarku."

"Namanya cowok memang kadang begitu. Fase patah hati pasti ada. Tapi kau bodoh jika terus mengulang hal-hal sama yang berakhir dengan patah hati. Ketika menyukai seseorang, tunjukkanlah keberhagaan eksistensimu di hadapannya. Jangan malah melakukan hal-hal bodoh atas nama cinta." Miracle menyentuh bahu Clarice. "Kau, cewek baik-baik, tidak layak mengorbankan apa pun untuk cowok yang mempermainkan perasaanmu. Masih banyak ikan di laut Clarice. Ini bukan akhir dari segalanya."

Clarice menggeram sebal. "Jika saja surat cinta itu tidak datang sekaligus. Mungkin aku akan mengabaikan semuanya."

Tiba-tiba, mata Miracle berkedut. Cewek itu menggaruk tengkuknya dengan canggung. Clarice mengangkat alis bingung tatkala melihat reaksi tersebut. "Apa?"

"Uhm ... sebenarnya, kejadian yang seperti itu tak sepenuhnya kebetulan. Aku berperan di dalamnya."

Mendengar penurutan Miracle tersebut, Clarice semakin tak mengerti dengan kondisinya. "Apa maksudmu?"

"Maksudku ... aku yang mengumpulkan suratnya sampai menjadi tiga, lalu mengirimkannya sekaligus kepadamu."

Baiklah, sebenarnya itu bukan masalah besar. Karena biar bagaimana pun, surat itu tetap saja akan terkirim. Mungkin, satu persatu. Tetapi, kenyataan ini membuat Clarice merasa dikerjai dengan cara yang tidak lucu oleh Miracle.

"Miracle, sebenarnya kau ingin membuatku merasa lebih baik atau berusaha memperburuk suasana diriku?" keluh Clarice sambil mengusap keningnya.

"Aku sedang membicarakan fakta, dude." Clarice memutar bola mata ketika mendengar jawaban tersebut. "Kau beruntung karena setidaknya kau mempunyai sahabat yang matanya terbuka di sisimu."

"Well, kalau begitu aku ingin pulang." Clarice menyambar tas ranselnya, lalu berjalan ke luar rumah Miracle.

"No problem. Silakan berefleksi, Clarice." Miracle melambaikan tangan, lalu menutup pintu rumahnya kembali.

***

Clarice menggantungkan sweaternya di gantungan dekat pintu, lalu melepas sepatu dan meletakkannya di balik meja konter dekat pintu. Ia berbalik menuju sisi lain meja konter yang menghadap ke ruang tamu untuk menaruh kunci mobil, sebelum kemudian pandangannya terpaku pada sebuah benda yang terjatuh di bawah meja konter. Benda itu jelas bukan miliknya.

Clarice meletakkan kunci mobilnya sembarangan di atas meja, lalu memungut benda tersebut. Sebuah kotak kecil merah muda bermotif polkadot. Clarice merasakan serbuan emosi yang menyeruak di dadanya. Daya khayalnya benar-benar berharap bahwa itu adalah barang Jefferson yang tertinggal, hadiah kecil yang hendak cowok itu berikan kepadanya.

Maka, Clarice pun membuka kotak kecil tersebut perlahan. Di dalamnya, terdapat sebuah scrunchie hitam polos yang kontras dengan warna rambutnya, juga secarik kertas kecil yang dilipat empat kali. Clarice mengambil kertas terlebih dahulu, lalu membuka lipatannya.

To: Clary

I Love You 3000. This scrunchie is so contras with your beautiful black hair, so I hope you'll like this scrunchie.

—Jefferson Royce.

Tanpa Clarice sadari, seulas senyum mengembang di bibirnya. Baiklah. Kalau begitu, sepertinya Jefferson memang pernah menyukainya. Yeah, setidaknya ada masa itu. Clarice meletakkan kertas tersebut di atas meja, lalu meraih scrunchie dalam kotak tersebut. Ia melihat-lihat scrunchie polos tersebut dengan seksama.

Tunggu. Tidak, scrunchie ini tidak polos. Clarice melihat sebuah batu ... ehm, apa ini? Clarice mengetuk-ngetuk batu hias tersebut dengan ujung kukunya. Oh my God, rasanya seperti sedang menyentuh permata. Scrunchie hitam berhiaskan batu permata? Sebentar. Kepala Clarice pening seketika. Permata .... Itu bukan mainan. Itu bukan perhiasan murah. Itu adalah benda berharga. Dan Jefferson membiarkan sebuah scrunchie didekorasi dengan batu permata kecil?

Oke, Clarice tahu bahwa Jefferson mungkin tidak pernah main-main dengannya. Tetapi, setelah menemukan kotak kecil ini, apa yang harus ia lakukan? Clarice meletakkan kotak dan scrunchie tersebut di atas meja, lalu mengambil handphone. Ia mengambil jepretan foto benda tersebut, lalu mengirimkannya kepada Miracle. Clarice juga menambahkan caption, Jika Jefferson memberiku benda seperti ini, menurutmu apa yang harus kulakukan?

Beberapa detik kemudian, balasan dari Miracle diterima. Sebentar. Apakah ada permata kecil di atas scrunchie itu?

Yeah, Miracle memang selalu cepat tanggap tentang hal-hal seperti ini. Cewek itu menyadari keberadaan permata dalam beberapa menit, melalui bentuk virtual. Clarice pun menjawab dengan satu kata, Ya.

Balasan selanjutnya muncul sedikit lebih lama, sekitar tiga menit kemudian. Lalu, muncullah pesan panjang dari Miracle di layar handphone Clarice.

Apa kau benar-benar bodoh? Tentu saja kejar Jeff, dumb dumb. Temui ia. Pacar terbaruku berkata bahwa tim lacrosse selesai berlatih beberapa menit lagi. Kau harus menemuinya di lapangan lacrosse. SEKARANG!!!

Clarice meremas handphonenya dengan gugup. Baiklah. Ia akan membiarkan imajinasi liarnya bekerja. Ia akan menemui Jefferson, lalu .... Oh, itu tidak penting sekarang. Clarice segera menyambar kunci mobilnya kembali, memasukkan kotak kecil tersebut ke dalam saku sweater, berjalan keluar dari rumah, lalu mengemudi dengan gugup menuju ke sekolahnya.

Sesampainya di sekolah, Clarice langsung memarkirkan mobilnya di tepi lapangan lacrosse. Ia turun dari mobil, berjalan cepat menuju ujung seberang lapangan lacrosse—tempat tim penjaga merapikan gawangnya—sambil melesakkan tangan ke dalam saku sweater. Ia memutar-mutar kotak tersebut dalam sakunya, lalu mendesah keras.

Dalam perjalanan menyusuri lapangan lacrosse, Clarice bertemu dengan beberapa teman Jefferson yang menyapanya. Clarice menyahut dengan senyum sekilas, sambil tetap berjalan menuju ujung lapangan.

Huft ... hanya sekali ini aku yang mendatanginya. Setelah itu semuanya akan baik-baik saja, gumam Clarice. Ia terus menggigiti bibir bawahnya dengan gelisah. Namun, beberapa saat kemudian, kegelisahan itu sirna seketika saat ia tiba di ujung lapangan.

Gawang lacrosse sudah disingkirkan ke pinggir lapangan, dan tidak ada orang di sana. Tidak ada Jefferson pula. Bahu Clarice melesak ke bawah. Ia tak tahu apakah ia harus merasa kesal atau lega sesaat. Mentalnya memang masih belum terlalu siap untuk bertemu Jefferson. Namun, ia sudah mempersiapkan ini semua. Clarice sangat ingin menemui cowok itu, lalu membicarakan sesuatu dengannya. Oke, baiklah. Ini tidak dapat ditunda lagi.

Clarice mengeluarkan handphone dari saku sweaternya, lalu mencari-cari nomor Jefferson di daftar kontak. Baik. Hubungi cowok itu sekarang, atau tidak akan pernah. Clarice menghela napas kasar, lalu menekan ikon telepon.

Selama beberapa detik yang mencekam, suasana hati Clarice yang gugup diiringi dengan soundtrack denging nada panggilan. Sebelah tangan Clarice yang tidak memegang handphone diusap-usapkan ke sweater dengan gelisah.

[Halo, Clary. What's up?] Clarice menghentikan seluruh gestur gelisahnya seketika tatkala mendengar suara itu. Well, ini benar-benar akan dimulai.

"Oh, ya. Hai, Jeff," ucap Clarice gugup.

[Jadi, ada masalah apa?]

"Bukan. Bukan masalah apa pun. Aku hanya ... uhm ...," Clarice menggigit bibir bawahnya sambil memikirkan kata-kata yang tepat, sebelum melanjutkan, "kau di mana? Bisakah kita bertemu?"

[Aku di ruang loker. Kapan kau akan menemuiku? Sekarang?] Terdengar kekehan kecil khas Jefferson dari seberang sana. Namun, Clarice mengabaikan suara-suara samar itu.

"Yeah, tentu. Aku akan menemuiku di ruang loker, OK!"

[Eh ... Clary, tunggu. Kupikir mungkin lebih baik jika kita bertemu di ....]

Clarice langsung memutus telepon tersebut. Senyum di bibirnya mengembang dengan pesat, sebelum kemudian raut wajahnya berubah datar kembali.

OK. Aku akan menemuinya. Dan semua ini akan menjadi jelas. Apa pun yang akan terjadi, setidaknya aku tahu apa yang sebenarnya ia rasakan terhadapku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro