Epilog

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Suasana di ruang loker sudah sangat lengang senja itu. Atmosfernya sama persis dengan kondisi ketika Clarice bertemu dengan Nicholas di ruangan ini beberapa bulan silam. Clarice terus berjalan cepat menuju loker-loker kelas Senior, sampai langkahnya tiba-tiba terhenti beberapa saat kemudian. Ia menangkap sosok Jefferson yang sedang mengenakan jaket.

"Hai, Jeff." Sial! Canggung sekali.

Jefferson segera menoleh ke arah Clarice, lalu seulas senyum lebar mengembang di wajah sempurna cowok tersebut, mempertegas guratan-guratan di antara hidung dan mulutnya. Tanpa Clarice sadari, ia juga menyunggingkan seulas senyum—entahlah, sebenarnya ini lebih mirip seperti senyum canggung—ke arah Jefferson.

"Hai, Clary. Apa yang kaulakukan di sini?" Jeff menutup pintu loker, menguncinya, lalu berjalan menghampiri Clarice.

Clarice benar-benar merasakan jantungnya yang berdebar lima kali lebih cepat ketika Jefferson mendekat ke arahnya. Satu sisi dirinya yang penuh khayalan memunculkan dorongan untuk langsung menubruk dan tenggelam dalam pelukan cowok itu. Namun, sisi lain dirinya yang realistis berkata bahwa itu tindakan gila. Tidak. Ia tidak akan mempermalukan dirinya sendiri, lagi, setelah ia tertidur di atas dada Jefferson semalam. Ia akan melakukan apa yang harus dilakukannya.

"Ehm ... Jeff, apakah kau merasa meninggalkan sesuatu ketika kau mampir ke rumahku semalam?" Jefferson mengangkat alis bingung. "Maksudku, aku menemukan barang yang bukan milikku di dekat meja konter depan pintu rumahku. Mungkin itu milikmu?"

Jefferson menggaruk tengkuknya, terlihat mengingat-ingat sesuatu. Belasan detik kemudian, ia langsung merogoh saku jaketnya dan meraba-raba sesuatu di dalam sana. "Oh, tidak. Shit," gumam Jefferson tak jelas. "Hey, Clary. Bisa kau beritahu apa yang tepatnya tertinggal di dekat meja konter rumahmu? Sepertinya aku memang kehilangan sesuatu."

Clarice mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu mendecakkan lidah. Ia pun merogoh saku sweater, lalu mengeluarkan kotak kecil tersebut. "Ini. Kotak ini milikmu, kan?"

Mata Jefferson terpaku selama beberapa saat ke arah tangan Clarice yang memegang kotak kecil tersebut. Akhirnya, ia mengangguk sekali, lalu berkata, "Ya."

"Oh, baiklah." Jadi, apa yang selanjutnya akan Clarice lakukan? Apakah ia akan langsung bertanya 'apakah ini benar-benar untukku'? Itu ... gila. Tidak, Clarice tidak akan mempertaruhkan harga dirinya sekali lagi. Mungkin akan lebih berkelas jika ia terlihat gengsi, menjaga image, atau sekadar memancing cowok itu. Jadi, akhirnya Clarice memutuskan untuk berkata, "Kalau begitu, maka kukembalikan ini padamu."

Jefferson langsung mengangkat kedua tangannya dengan cepat, mendandakan bahwa ia menolak kotak tersebut. "Scrunchie di dalam kotak itu memang untukmu—seperti yang tertulis pada secarik kertas di dalamnya. Suatu hari nanti, jika kau sudah tidak marah padaku, jika kau sudah memaafkanku, aku akan memakaikan scrunchie itu di rambutmu."

Tunggu. Kepala Clarice mendadak pusing seketika. Suatu hari nanti, jika kau sudah memaafkanku, aku akan memakaikan scrunchie itu di rambutmu. Apakah cowok itu akan menyentuh rambutnya, mengusap kepalanya, lalu memakaikan scrunchie itu? Apakah seterusnya ia akan memakai scrunchie berhiaskan permata pemberian Jefferson setiap hari? Ah, itu bayangan yang terlewat manis.

Well, karena Jefferson menolak pengembalian benda tersebut, maka dengan senang hati Clarice menyimpan kotak tersebut kembali di dalam saku sweaternya. "Kau sudah memberikan hadiah seperti ini kepada berapa cewek?" goda Clarice menyunggingkan senyum tipis.

"Beberapa mantan yang pernah kukencani juga pernah menerimanya." Senyum Clarice langsung memudar saat itu juga. Jadi, ia hanya satu dari antara banyak cewek yang menerima hadiah manis dari Jefferson? Sial! "Tapi hanya kau seorang yang menerima scrunchie berhiaskan permata," tambah Jefferson cepat-cepat. "Permata itu memang tidak terlalu besar, karena aku hanya membelinya dari gaji kerja paruh waktuku. Aku tidak menyayangkan uangnya. Aku hanya berharap kau tersenyum ketika menerima hadiah itu, karena ...." Clarice memiringkan kepalanya, menunggu jawaban sambil tersenyum lebar. "Karena kau cewek yang paling kucintai, Clary."

Cinta. Jefferson berkata, 'cinta'. Clarice tidak salah dengar, kan? Imajinasi terliarnya belum pernah membayangkan adegan seperti ini. Jantung Clarice berdebar makin lama makin keras.

"Kurasa, aku juga jatuh cinta kepadamu, Jeff," ucap Clarice dengan suara lirih.

Jefferson mengerutkan alis sambil tersenyum. "Apa? Kau bilang apa tadi?"

"Aish ... kau sudah mendengarnya. Jangan minta aku mengulanginya lagi," gerutu Clarice. Ia merasa wajahnya menghangat, sehingga ia harus menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Baiklah, baiklah. Aku juga jatuh cinta sangat dalam padamu, Clarice. Aku sudah lupa kapan pertama kali perasaan ini muncul. Tapi, aku yakin perasaan ini semakin membuncah sekarang," ujar Jefferson dengan suara baritonnya yang dalam. "I love you 3000. I'll be your Iron Man. May I?"

Clarice memejamkan mata sambil menggigit pipi bagian dalamnya, lalu ia mengangguk sekali, dengan mantap.

Maka, Jefferson pun maju mendekati Clarice hingga jarak wajah mereka tak lebih dari lima belas senti. Jefferson menangkup wajah Clarice dengan kedua tangannya, lalu ia mencium Clarice, dengan perlahan-lahan dan lembut. Clarice masih tak membalas ciuman itu, namun ia juga tak menghindari Jefferson. Tangan cowok itu menerobos melalui lengan bawah Clarice, lalu dilingkarkan di pinggang Clarice. Jefferson menarik tubuh Clarice supaya semakin mendekat ke arahnya.

Sekitar setengah menit kemudian, ketika telah beradaptasi dalam posisi itu, Clarice meletakkan salah satu tangannya di tengkuk Jefferson. Ia membalas ciuman Jefferson sebanyak dua kali. Dan dalam beberapa hitungan detik itu, bulu kuduk di tengkuk Jefferson meremang.

Pada saat itu, Clarice benar-benar percaya bahwa Jefferson memang menyukainya. Cowok itu tidak pernah main-main. Sikap agresif dan percaya diri Jefferson ketika mengejarnya adalah bagian dari kepribadian cowok itu. Sepertinya, sikap khas Jefferson itulah yang membuat Clarice juga terpikat padanya.

Jefferson memberikan kisah cinta pertamanya yang paling tak terduga, paling mendebarkan, dan paling luar biasa. Cowok itu juga memberikan rasa ciuman pertama yang sempurna.

Jika surat cinta itu datang satu persatu, mungkin dulu Clarice akan mengabaikannya. Namun, Miracle memang merencanakan ketiga surat cinta itu supaya dikirim bersamaan. Jika ia tak pernah membuka mata terhadap dunia dengan menghadiri pesta TGIF, ia tidak akan pernah sedekat ini dengan Jefferson. Jika Clarice tidak menemani Jefferson datang ke acara Summer Break, ia tidak akan mengetahui fakta bahwa Nicole menipunya dan Jefferson berusaha memberikan bukti baginya. Tetapi, nyatanya ia datang ke pesta-pesta remaja itu. Inilah jalan hidup yang Clarice pilih sendiri.

Cinta pertamanya memang timbul sedikit lebih terlambat daripada remaja perempuan lain. Ia tidak ditakdirkan untuk menjadi cewek idola yang mungkin memiliki banyak mantan. Ia tidak sesantai remaja lain yang melakukan banyak kontak fisik dengan lawan jenis. Ia masih selalu merasakan getaran hebat di hatinya setiap Jefferson menyentuhnya. Namun, itu bukan masalah bagi Clarice. Ia sama sekali tidak keberatan jika pada akhirnya ia mendapatkan hal terbaik yang telah dipersiapkan Tuhan baginya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro