BAB 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Now playing: Naturally by Selena Gomez

"Shit!" umpat Clarice sambil memegangi pinggangnya. Mengapa ia harus terjatuh di pinggiran bangku seperti ini? Dan ... yah, sebenarnya bola lacrosse itu tidak mengantamnya di kepala—melainkan di dadanya. Tetapi, tetap saja ia terjatuh karena berusaha menghindari bola itu. Oh ... Clarice pikir mereka para pemain lacrosse yang terkutuk.

"Coach Steve, aku ke sana sebentar!" Clarice mendengar seorang cowok dari tim penjaga berteriak kepada pelatihnya. Pelatih itu hanya mengibaskan tangannya, yang sepertinya berarti 'kau boleh pergi'. Cowok itu pun berjalan terhuyung menuju Clarice sambil melepas helmnya.

"Maaf. Kau tidak apa-apa?" tanya cowok itu sambil menggaruk tengkuknya. Clarice tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa mungkin itu adalah cowok paling keren yang pernah dilihatnya, bahkan ketika peluh menetes-netes di sekitar keningnya. "Aku ... sebenarnya agak tidak enak badan."

Clarice meniup ujung rambut yang menutupi wajahnya, kemudian berusaha berdiri sambil memijat pelan pinggangnya yang masih sakit. "Yeah ... aku tidak apa-apa. Lain kali kau harus berhati-hati supaya tidak mengenai orang lain," ucap Clarice. Cewek itu menyingkirkan rambut hitamnya lagi supaya ia dapat melihat dengan jelas.

Clarice kembali melihat wajah cowok itu. Bibirnya nyaris tak berwarna, mungkin cowok itu benar-benar tidak enak badan. "Wajahmu pucat sekali. Kau sebaiknya beristirahat." Clarice memutar tas ranselnya ke depan, kemudian mengambil botol air mineral dan memberikannya pada cowok itu. Beginikah yang dilakukan gadis-gadis ketika cowok yang mereka sukai selesai bertanding? Clarice merasa bahwa ia sudah gila karena memikirkan dan melakukan hal itu. Namun, nyatanya ia tetap menunggu reaksi cowok lacrosse itu. Siapa tahu hidupnya akan berubah seindah Cinderella setelah melakukan ini?

Cowok itu menaikkan alisnya sambil tersenyum, kemudian menerima botol yang Clarice sodorkan. "Trims," ucapnya singkat kemudian membuka segel botol. Cowok itu tersenyum sambil meminum air mineral dan memandangi Clarice. Tiba-tiba, ekspresi cowok itu berubah.

"Tunggu! Apakah kau ...." Cowok itu terlihat berusaha mengingat-ingat. Clarice cukup terkejut karena ia dipanggil secara tiba-tiba seperti itu. Apakah ia tidak tersedak? Ia baru saja minum, pikir Clarice. "Clarice Barack?" Cowok itu bertanya terlewat antusias hingga ia nyaris terlonjak dari bangku.

"Benar. Bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Clarice bingung. Rasanya, ia tidak cukup populer untuk dikenal anggota tim lacrosse.

"Aku ... Jefferson Royce," ucap cowok itu sambil mengusap keringat yang mengalir turun di dekat pipinya.

Pikiran Clarice langsung melayang-layang ke lokernya, tempat segala keanehan ini berasal. "Sticky note pink dan amplop surat warna peach?" tanya Clarice. Sedetik kemudian, ia langsung menyadari bahwa ia salah memilih diksi. Ia menciptakan kesan seolah-olah cowok itu mengirimkan mainan anak-anak paling konyol sepanjang masa.

"Yeah ... aku yang mengirimkannya," jawab Jefferson tanpa ragu.

Clarice heran. Jika ia berada di posisi Jefferson sebagai pengirim surat dan ia bertemu dengan penerima suratnya, ia pasti akan mengatakan sesuatu yang sedikit tersirat supaya orang itu tidak menganggapnya gampangan. Itu memang dari sudut pandang Clarice. Tapi, entahlah. Orang di hadapannya adalah seorang cowok, dan biar bagaimanapun standar ganda membuat pandangan orang terhadap laki-laki dan perempuan berbeda. Lagipula, ada begitu banyak jenis orang di dunia ini. Mungkin Clarice harus sering-sering bertanya pada Miracle.

Ketika kepalanya menoleh ke ujung lapangan, tiba-tiba ia teringat pada Miracle. Clarice pikir, mungkin ini bukan saat yang tepat untuk membicarakan tentang surat kepada Jefferson. Miracle bisa saja sudah menunggunya di Bunny's Café. "Baiklah. Kita akan bicara lagi nanti," ucap Clarice sambil melenggang pergi. Uh ... ternyata pinggangnya masih terasa sakit ketika ia hendak berbalik untuk mengucapkan kalimat terakhir. "Jangan lupa untuk mendaur ulang botolnya."

Clarice melihat Jefferson yang tertawa renyah. "Apa yang kau tertawakan?" tanya Clarice tegas. Ia tak yakin apakah Jefferson menertawakan peringatannya—yang bagi Clarice itu adalah sesuatu yang normal—atau menertawakan pinggangnya yang sakit.

"Sebenarnya itu salahmu karena berjalan di lapangan lacrosse." Oh ... ternyata Jefferson menertawakan pinggangnya yang sakit. Dasar!

"Aku tidak berjalan di lapangan. Aku berjalan di sekitar bangku lapangan," bantah Clarice. "Memangnya tidak ada yang pernah berjalan di dekat lapangan lacrosse? Aku sering melihat cewek-cewek berjalan di sekitar sini." Clarice berkacak pinggang sambil mengerucutkan bibir.

"Tapi mereka selalu bergerombol," terang Jefferson. Clarice bersedekap, kemudian menaikkan sebelah alisnya seolah bertanya, 'Memang apa bedanya?'. "Bergerombol lebih mencolok."

"Uhuh? Kupikir aku tidak invisible. Dan ... yah, itu salahmu karena melemparkan bola ke samping lapangan," ujar Clarice sambil berlalu pergi.

"Sudah kubilang aku sedang tidak enak badan." Jefferson terkekeh geli. "Terima kasih air mineralnya. Have a nice day. See you."

Clarice tidak menoleh ke belakang setelah salam perpisahan itu, tentu saja karena pinggangnya yang sakit. Namun, tanpa ia sadari sudut bibirnya terangkat setelah mendengar frasa 'have a nice day'—frasa yang tak pernah luput dari setiap sticky note yang dikirimkan kepadanya.

Aku tidak pernah menyangka bahwa cowok yang mengirimkan surat kepadaku adalah cowok seperti ini. Terlalu banyak hal yang tak bisa diprediksi di dunia ini.

***

Clarice meletakkan tas ranselnya di bawah kursi tinggi yang terletak di balik meja dekat kasir. Baginya, duduk di dekat barista paling menyenangkan, karena kau pasti akan lebih diperhatikan dan cepat dilayani. Miracle memang belum datang, mungkin gadis itu sedang dalam perjalanan pulang setelah hang out bersama teman-temannya. Oh ... Clarice harap Miracle tidak melupakan janji ini.

Clarice mengeluarkan handphone dari sakunya dan mengetikkan pesan kepada Miracle. Cepat datang. Aku sudah menunggu di sini.

Clarice mengambil buku kimia dari tasnya, kemudian membaca-baca catatannya sejenak. Sesekali, gadis itu memberi highlight oranye pada beberapa kalimat yang dianggapnya penting. Clarice cukup bertahan dalam posisi itu selama setengah jam, ditemani secangkir matcha hangat kesukaannya.

Ketika melirik arlojinya dan waktu telah menunjukkan pukul dua siang, Clarice sudah tidak tahan lagi menunggu Miracle. Ia merapikan buku-buku dan highlighternya ke dalam tas, kemudian mengeluarkan handphone lagi dari sakunya—kali ini untuk membatalkan janji dengan Miracle. Sahabat yang satu itu sepertinya sangat menikmati jika Clarice membuang waktu untuk hal-hal konyol.

Aku pergi sekarang. See ya.

"Huh ... mengapa gadis itu menyebalkan sekali?" gerutu Clarice sambil meletakkan tas ransel di atas bahunya. "Ms. Elly, aku bayar matcha-nya." Clarice menyerahkan uang dua dolar dan barista bernama Ms. Elly itu segera menerimanya.

"Terima kasih, Nak. Semoga harimu menyenangkan," ucap Ms. Elly ramah sambil menerima uang Clarice.

"Clarice! Clarice! Tunggu aku!" Terdengar suara histeris yang sudah sering sekali Clarice dengar. Suara yang paling sering berbicara dengannya setiap hari. "Hosh ... hosh ...." Miracle menjadikan lututnya sebagai tumpuan kedua tangannya. Napas gadis itu tersengal-sengal. Entah sudah sejauh apa ia berlari.

"Kau mau minum sesuatu, Nak? Ada kombucha kesukaanmu di sini," ucap Mrs. Elly dengan nada ramah seperti biasa, seraya menunjuk papan menu di atasnya. Miracle menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya.

"Miracle, kau minum kombucha? Rasanya seperti campuran bir dan cuka," tanya Clarice sambil bergidik tak percaya.

Miracle mulai berjalan mendekati Clarice dan menepuk bahunya. "Meskipun seleraku cukup unik di mata orang-orang, tapi aku tidak cukup gila untuk menyukai kombucha. Eh ... tapi kau juga harus tahu bahwa kombucha baik untuk pencernaan," ucap Miracle sambil mengedipkan sebelah matanya. Cewek itu menarik Clarice kembali masuk ke dalam café, lalu duduk di kursi tinggi.

"Jadi, kenapa kau terlambat?" tanya Clarice dengan nada mengintimidasi.

"Remedial bahasa Prancis, hehe ...," kekeh Miracle sembari meletakkan tas ranselnya secara sembarangan di lantai café.

Meskipun sebal, Clarice memutuskan untuk tidak menanggapi apapun soal itu. Remedial adalah sesuatu yang biasa dihadapi oleh seorang Miracle. Ia tidak perlu ikut campur. "Kalau begitu, apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Clarice langsung.

"Oh ... itu. Apakah kau sudah bertemu dengan Jefferson? Di kelas seni itu atau di tempat lain?" tanya Miracle antusias. Kedua tangannya ditumpangkan di atas meja.

"Sudah. Dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan," ucap Clarice sambil mengangkat bahu.

"Cara yang tidak menyenangkan? Bagaimana bisa? Dia cowok yang 'menyenangkan'," tegas Miracle.

"Yeah ... aku terkena bola lacrosse lemparannya, kemudian aku terjatuh di bangku lapangan dan dia menertawakanku." Tunggu. Apakah ia tidak salah memilih diksi jika berkata Jefferson menertawakannya? Awalnya cowok itu datang untuk meminta maaf. Meskipun ... pada akhirnya ia tetap ditertawakan. Oke, berarti ia tidak mengatakan kebohongan.

"Waw ... itu cara yang sangat unik untuk bertemu." Miracle bertepuk tangan.

"Jangan konyol."

"Oh, ya. Katamu kau menerima tiga surat? Satu dari Noah, satu dari Jefferson, lalu satunya dari siapa lagi?" tanya Miracle kemudian.

Tidak! Miracle berusaha mengorek semakin banyak informasi darinya. Tapi, mungkin Miracle memang satu-satunya orang yang dapat memberinya petunjuk mengenai siapa pengirim surat itu. Karena berdasarkan isi surat yang Clarice baca, cowok itu juga mengenalnya karena ia diperkenalkan oleh Miracle. Mungkin tidak akan tersebar isu jika ia memberitahu Miracle. Ia juga tidak mungkin bertemu pengirim suratnya dengan cara yang sama seperti bertemu dengan Jefferson tadi. Jadi, Miracle memang satu-satunya narasumber.

Untuk kedua kalinya, Clarice merasa jantungnya berdegup keras saat detik-detik sebelum mengatakan fakta tentang pengirim surat. "Ehm ... kali ini, mungkin sedikit sulit. Pengirim itu tidak menyebutkan nama. Tetapi, dia memberi clue bahwa dia blasteran Amerika-Prancis. Mungkin, kau tahu siapa cowok yang berdarah Amerika-Prancis?" tanya Clarice dengan suara pelan.

"Hmm ... maksudmu Jean Dujardin?" tanya Miracle sambil mengusap dagunya.

"Jean Dujardin? Siapa itu? Aku seperti pernah mendengar namanya." Clarice semakin penasaran dengan siapa cowok pengirim suratnya yang satu ini. Misterius—kata yang tepat untuk menggambarkannya. Mungkinkah cowok itu memang pernah hadir dalam kehidupan masa lalunya?

"Dia cukup terkenal di sekitar tahun 2012," ujar Miracle sambil memasang ekspresi berpikir keras. Oh, tidak! Clarice seperti merasakan aba-aba bahwa Miracle sedang melantur. 2012 artinya ketika ia masih berumur sembilan tahun. Apa yang bisa terjadi di kelas 3 SD? "Karena dia termasuk salah satu aktor Prancis yang berhasil mendapatkan piala Oscar dan mengguncang industri Hollywood ...."

"Sialan kau, Miracle. Kupikir kau sedang serius," bentak Clarice sambil menjitak puncak kepala Miracle.

"Aww ... baiklah. Aku minta maaf, Clarice, tapi aku benar-benar tidak dapat memikirkan siapapun. Kau tahu bahwa cowok itu tidak memberikan ciri spesifik tentang dirinya. Ada begitu banyak cowok blasteran Amerika-Prancis di dunia ini," ucap Miracle sambil menggeleng pasrah.

"Kau mungkin bisa mengerucutkannya ke teman sekolah kita." Clarice terus berusaha memancing Miracle untuk mengingat sesuatu.

"Tidak. Aku tidak bisa mengingat-ingat dari situ. Aku tidak terlalu akrab dengan teman sekolah. Maaf."

Clarice menunduk lemas mendengar kenyataan itu. Padahal, sebenarnya cowok ini menulis surat yang cukup mencubit hatinya. Mengapa ia harus kehilangan jejaknya? Tidak seru.

"Tunggu. Kalau aku membaca suratnya, mungkin aku dapat mengenali siapa pengirimnya," tawar Miracle antusias.

Tidak. Tidak akan. Ia tidak akan pernah menunjukkan surat-surat itu kepada Miracle. Surat-surat itu sifatnya pribadi dan ia tidak ingin siapapun mengusik hal ini. Lagi pula .... "Aku tidak membawanya."

"Yah ... baiklah kalau begitu," ujar Miracle sambil menurunkan bahunya. Yang dapat Clarice harapkan adalah bertemu cowok itu dengan cara yang sama seperti ia bertemu Jefferson. Maksudnya, bukan karena kecelakaan tak disengaja. Namun, di bagian pertemuan kejutannya.

Tiba-tiba, Clarice merasakan handphone di sakunya bergetar. SMS dari Noah.

Kau sudah makan panekuknya? Aku membuatnya spesial untukmu hari ini. Menurutmu bagaimana rasanya?

Clarice menghela napas. Ia mesti menyadari bahwa masih ada seseorang yang terus memedulikannya hingga saat ini. Ia tidak seharusnya mengabaikan eksistensi Noah demi mencari tahu keberadaan para pengirim surat kaleng yang kurang kerjaan itu.

Maaf, aku belum mencobanya. Aku akan mengambilnya di loker sekarang.

Di dunia ini, Clarice hanya memberikan kunci cadangan lokernya kepada Noah dan Miracle, karena terkadang mereka berdua membantu Clarice mengurus beberapa hal. Meskipun Miracle tidak terlalu dapat dipercaya, tetapi rasanya tidak etis jika ia tidak memercayai satu-satunya sahabat perempuan sementara ia memberikan kunci kepada Noah. Jadi, jika Noah ingin memberikan sesuatu kepada Clarice—misalnya sarapan atau kue, seperti yang biasa cowok itu lakukan di pagi hari—cowok itu tidak perlu repot-repot mencarinya. Cukup meletakkannya di loker dan Clarice pasti akan menemukannya.

"Miracle, aku harus kembali ke sekolah. Sampai jumpa besok," ujar Clarice sambil menggendong tasnya dan keluar dari Bunny's Café.

"Ya, baiklah." Miracle menyahut tanpa peduli apakah Clarice akan mendengarnya atau tidak.

"Mrs. Elly, aku ingin kombucha dua gelas. Ya, Tuhan. Tenggorokanku kering sekali."

Footnote:

Standar ganda= ukuran standar yang dikenakan secara tidak sama kepada subjek yang berada dalam satu kejadian serupa sehingga terkesan tidak adil.

Kombucha= jamur teh yang berasal dari Asia Timur yang difermentasikan, digunakan untuk mengobati berbagai macam penyakit

***

Hmm ... ampuni magerku, ya guys. Tapi, akhirnya Dear Clarice ini update lagi, ya kan? Hehe ....

O, yeah. Menurut kalian, satu cowok lagi yang ngirim surat ke Clarice itu cowok kayak apa?

Happy reading. Don't forget to voment!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro