Bab 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kali ini, Clarice memutuskan untuk mengambil jalan memutar ke sekolah untuk menghindari pertemuan dengan anggota tim lacrosse. Mungkin Clarice memang akan berbicara lagi dengan Jefferson, tetapi yang pasti tidak sekarang. Panekuk kesukaan Clarice buatan Noah sedang menunggu di lokernya.

Sesampainya di bangunan sekolah, Clarice berjalan cepat menuju ruangan loker di lantai dua. Sambil terus berjalan, gadis itu meraba sakunya untuk mencari kunci loker. Eh ... mengapa hanya ada handphonenya di sini? Clarice pun berjalan sambil menoleh ke arah saku celananya, berharap dapat menemukan kunci lokernya secepat mungkin. Oh, ini dia. Terdesak oleh handphonenya di bawah saku.

Clarice baru saja hendak terus berjalan ketika ia melihat sebuah tas plastik tergeletak di lantai. Ia belum sempat berhenti untuk memungut atau berbelok melewatinya, lantaran ia terus berjalan dengan ritme cepat sedari tadi. Oh, tidak. Clarice menginjak tas plastik itu dan mustahil jika ia tidak terpeleset. Dan ... tentu saja itulah yang terjadi.

Genggaman Clarice pada handphone di tangannya mulai kendur dan ia nyaris tidak dapat menyeimbangkan langkahnya ketika tas plastik itu tertendang ke belakang. Tubuhnya terhuyung ke depan sementara tangannya berusaha mencari pegangan agar tidak jatuh ke lantai. Pinggangnya masih sakit, ia tidak mau terjatuh lagi. Sayangnya, ia tak lekas menemukan pegangan hingga tubuhnya pasti akan terempas ke lantai sepertiga detik lagi. Jadi ....

Bugh .... Tidak. Clarice tidak jadi jatuh. Tetapi ia menabrak seseorang, seorang cowok yang sedang membawa kamera di tangannya. Ini jauh lebih buruk dari jatuh di lantai. Kamera yang dipegang cowok itu terlempar dua meter jauhnya, sementara handphone Clarice terjatuh dengan posisi layar menghadap lantai. Ya, Tuhan. Mungkin lebih baik ia terjatuh di lantai daripada merusak kamera seorang cowok tak dikenal.

Clarice berusaha menjauhkan kepalanya dari dada cowok itu dan segera berdiri setelah menemukan keseimbangannya kembali. Ia kemudian mengambil kamera cowok itu sambil memperhatikan kondisinya.

"Maaf. Aku tidak tahu soal kamera. Tapi jika itu rusak karena terlempar tadi, kau bisa menghubungiku. Clarice Barack kelas Junior," ucap Clarice cepat sambil mengembalikan kameranya kepada cowok itu. Ia kemudian beralih mengambil handphone dan meratapi kondisi layarnya yang agak retak. Semoga masih bisa menyala. Ia akan mencobanya nanti. Clarice memasukkan handphone itu kembali ke sakunya. Eergh ... mengapa terjadi banyak hal yang tidak menyenangkan hari ini?

Clarice memperhatikan wajah cowok di hadapannya, sambil berharap-harap cemas semoga tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperbaiki kamera. Cowok itu menyunggingkan senyum tipis yang lembut sambil menatap Clarice. Hati Clarice meleleh seketika. "Kau beruntung, Clarice. Kameranya tidak rusak sama sekali. Mungkin harus lebih memperhatikan handphonemu," ucap cowok itu sambil menoleh ke bawah, berusaha melihat kondisi handphone Clarice. Namun, karena tak dapat melihat kondisi handphone tersebut, cowok itu memutuskan untuk tidak membahas handphone lebih lanjut.

"Oh, ya. Aku Nicholas Maison, kelas Senior. Cowok blasteran Amerika–Prancis. Senang bertemu denganmu, Clarice," ucap cowok itu sambil mengulurkan tangannya.

Sebentar, otak Clarice tidak langsung terhubung untuk menyambut salam cowok itu. Nicholas Maison? Cowok blasteran Amerika–Prancis? Apakah itu tidak terdengar seperti pengirim suratnya? Oh, mungkin Clarice bisa menanyakan lagi hal ini nanti. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menjabat tangan cowok itu.

Clarice tersenyum canggung ketika tangannya bersentuhan dengan Nicholas. Tangan cowok itu cukup besar dan berambut, tetapi bagian dalamnya hangat dan lembut. Clarice cepat-cepat menarik tangannya sebelum otaknya mulai memikirkan hal yang aneh-aneh. Tetapi ... Nicholas menahan tangannya sebentar.

"Kau persis sekali seperti yang digambarkan oleh Miracle." Clarice merasakan wajahnya yang menghangat ketika mendengar kalimat tersebut. Ia segera menarik tangannya dengan gestur terlalu tergesa-gesa, kemudian segera berbalik ke belakang.

Jangan bodoh. Lokermu ada di depan sana, pikir Clarice sambil berbalik perlahan-lahan. Lagipula, benarkah ia akan menemukan kesempatan untuk bertemu dengan Nicholas lagi? Cowok itu mengirimkan surat kepadanya. Ia harus mencari penjelasan dari cowok itu.

"Jadi, apakah kau cowok yang menulis surat ...." Awalnya Clarice pikir ia akan menggunakan kata 'surat cinta' supaya langsung tepat sasaran. Tetapi, mungkin itu akan terkesan terlalu agresif dan akan memalukan jika ternyata dugaannya salah. "Kau menulis surat itu?"

"Surat? Maksudmu surat yang terkirim kepadamu dalam minggu ini? Itu ...." Nicholas menggaruk tengkuknya sebentar sebelum lanjut menjawab, "ya, aku yang menulisnya."

Entah bagaimana mekanismenya, reaksi yang ditunjukkan tubuhnya setelah mendengar hal ini berbeda ketika ia mendengar dari Jefferson. Nicholas punya aura maskulinnya sendiri meskipun cowok itu terkesan lembut. Apalagi caranya mengakui fakta bahwa ia yang mengirimkannya, Clarice menyukai itu. Clarice merasa gelora semangat memenuhi tubuhnya.

"Aku ...." Tunggu, apa yang harus ia katakan untuk menanggapi pernyataan itu. "Baiklah. Terima kasih. Aku sedang terburu-buru. Kuharap aku dapat bertemu denganmu lagi nanti," ucap Clarice cepat sambil berjalan melewati Nicholas.

Seharusnya bukan itu yang ingin Clarice ucapkan, karena sebenarnya ia tidak sedang terburu-buru. Apakah keinginan mengambil panekuk termasuk hal yang dapat membuatnya tergesa-gesa? Seharusnya tidak. Tapi, ya sudahlah. Ia memang belum siap untuk berbicara lebih lama dengan Nicholas dan membahas masalah surat.

"See you later, Clarice," sahut Nicholas sambil memandang langkah Clarice. Cowok itu hendak berjalan, tetapi kemudian sepatu sneakersnya menginjak sesuatu. Kunci yang diberi gantungan warna biru bertuliskan '907'.

Clarice memutuskan untuk tidak menoleh lagi dan terus berjalan menuju lokernya yang hanya berjarak tiga meter di depannya. Namun, ketika ia merogoh sakunya untuk mencari kunci, ia tidak menemukan apapun selain handphone berlayar retak yang mengenaskan. Oh, ya. Ia sudah mengeluarkannya tadi. Jadi di mana kunci itu sekarang? Apakah ia menjatuhkannya juga bersama dengan handphone?

"Clarice, apa ini milikmu?" tanya Nicole sambil mengacungkan kunci dengan gantungan biru. Sialan, umpat Clarice dalam hati.

"Ya, terima kasih sudah menemukannya," jawab Clarice sambil berlari kecil mengambil kunci tersebut. Ia langsung berbalik menuju lokernya dan mengambil panekuk ....

Clarice membaca gantungan kertas yang diikat di plastik pembungkus panekuk tersebut. Panekuk cokelat rasa cokelat? Yeah ... mungkin ia akan mabuk cokelat sore itu.

***

Seusai mengambil piring-piring dari mesin pencuci piring dan menyusunnya di rak piring, Clarice memberi tanda koreksi pada To Do List di memo.

Mencuci piring x

Setelah itu, Clarice memutuskan untuk menghabiskan sisa malamnya di kamar dengan membaca novel, mengecek handphone, atau mungkin ... memikirkan tentang surat-suratnya—sejenis kegiatan baru dalam kehidupan Clarice.

Clarice mengambil semua suratnya dari laci meja belajar, kemudian memandangi sebuah amplop persegi bersegel hati—surat dari cowok yang sekarang diketahuinya bernama Nicole Maison. Tiba-tiba, terbersit di pikirannya untuk menanyakan sesuatu kepada Miracle. Clarice pun meraih handphone dan jemarinya mulai mengetikkan pesan.

Miracle, kau ada rekomendasi film tentang cewek yang disukai banyak cowok? Seusai mengetikkan pesan tersebut, Clarice memandangi tumpukan surat cinta di sisi tempat tidurnya. Sungguh mustahil ini terjadi padaku. Apa yang seharusnya kulakukan? pikir Clarice frustrasi. Ia masih tidak dapat menyingkirkan hal itu dari pikirannya, terutama setelah ia telah menemui semua cowok pengirim surat.

Beberapa menit kemudian, handphone Clarice menerima notifikasi yang menandakan bahwa Miracle telah membalas SMSnya. Waw ... tidak biasanya Miracle fast respon, pikir Clarice sambil tersenyum simpul. Benarkah sahabatnya benar-benar telah berubah dari kebiasaannya pergi berpesta? Jika benar, Clarice turut bahagia akan hal itu. Namun, mungkin ia akan merasa kehilangan sebagian ciri khas dari diri Miracle jika itu benar-benar terjadi. Ia sudah cukup pusing menghadapi perubahan setelah terkirimnya surat-surat ini. Tidak perlu ditambah lagi dengan perubahan drastis pada diri Miracle.

Aku agak lupa. Aku jarang menonton di Netflix sekarang. Tapi aku ada rekomendasi film tentang cewek yang menyukai banyak cowok sekaligus. Kau mau menonton?

Cewek yang menyukai banyak cowok sekaligus? Itu lebih ekstrem dari yang Clarice alami sekarang. Meskipun sama sekali berbeda dengan keadaannya, tetapi tidak ada salahnya menonton film seperti itu.

Baiklah. Sebutkan judulnya, ketik Clarice.

To All the Boys I've Loved Before (2018). Only on Netflix, balas Miracle.

Clarice segera keluar dari kamarnya menuju ke ruang TV. Ia menyalakan televisi dan menekan tombol Netflix di remotenya, kemudian mengetikkan judul film rekomendasi Miracle di televisi.

"Lana Condor, Noah Centineo, Anna Cathcart, Janel Parrish, Israel Broussard, and John Corbett," gumam Clarice membaca nama-nama aktor film tersebut. "Ini akan luar biasa. Aku tak menyangka Miracle juga mempunyai selera seperti ini."

Clarice pun langsung menekan tombol play dan menikmati film berdurasi seratus menit itu hingga pukul 10.00 p.m. Malam yang luar biasa. Ia sama sekali melupakan surat-surat dan cowok-cowok misterius yang ditemuinya tadi siang hanya dengan menonton kisah Lara Jean. This is the coolest movie.

***

"Hei." Clarice merasakan seseorang menepuk pundaknya ketika ia sedang melahap panekuk buatan Noah di kafetaria. Seorang cewek, dan Clarice tahu bahwa itu pasti Miracle.

"Kenapa kau suka datang dengan cara yang tidak menyenangkan?" gerutu Clarice. "Cepat duduk saja di sana." Clarice menunjuk bangku di seberang meja dengan dagunya.

Miracle segera duduk di seberang Clarice dan menangkupkan kedua tangannya di salah satu tangan Clarice yang tidak menggenggam panekuk. Clarice menaikkan sebelah alisnya, merasa aneh dengan tingkah sahabatnya itu. "Apa maumu?"

"Tidak ada hal khusus. Aku hanya ingin menanyakan pendapatmu tentang ...."

"Filmnya bagus sekali!" tukas Clarice cepat. "Tapi, jika aku jadi Lara Jean, aku akan lebih memilih Josh daripada Peter."

"Apa? Dan mengapa?" Miracle membelalakkan matanya tak percaya. "Kau tidak suka cowok seperti Peter Kavinsky? Dia sangat hot, OMG! Aku selalu meleleh setiap melihat mata dan senyumnya." Mata Miracle menerawang ke atas.

"Yeah ... seperti katamu, dia sangat hot. Terlalu hot. Aku lebih suka cowok berpembawaan tenang seperti Josh," sahut Clarice sambil tersenyum.

"The boy next door?" tanya Miracle.

Clarice mengangguk mantap. "Eh ... omong-omong soal the boy next door, apakah menurutmu aku akan cocok dengan cowok seperti itu? Apa, ya istilahnya? Oh, the girl next door." Ini pertama kalinya Clarice bertanya soal apakah ia akan cocok dengan seorang cowok. Clarice cukup kaget dengan pemikirannya sendiri, tetapi ... entahlah. Otak itu selalu punya cara untuk mengejutkannya. Ada sesuatu yang ajaib di balik jalan pikir para cewek remaja. Clarice percaya itu.

Footnote:

Netflix= penyedia layanan media streaming digital yang didirikan tahun 1997 oleh Reed Hasting dan Marc Randolph

The boy next door= tipe seseorang yang akrab, ramah, dan dapat diandalkan. Biasanya dalam konteks hubungan romantis.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro