Chapter 10. My Girls

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku kurang suka gadis bertubuh tinggi. Selain itu, aku menghindari bentuk wajah terlalu panjang, atau dagu lancip. Jangan tersinggung. Ini hanya mengenai selera. Tidak terlalu tertarik dengan gadis berkarakter wajah kuat, seperti rahang yang tegas, hidung yang terlalu shaded, atau mata yang kelewat tajam. Biasanya aku—agak—menjaga jarak dari gadis-gadis tipe sanguinis dan lebih suka dengan yang lemah dan melankolis. Yah ... bukan lantas aku anti terhadap tipe seperti ini, tapi aku memang senang memanjakan seseorang, sementara gadis tomboi, atau yang terlalu mudah membawa diri—perfeksionis—biasanya bersikap seolah mereka tidak membutuhkan sosok laki-laki. Aku juga kurang suka gadis yang tidak memperhatikan penampilan sama sekali. Garis bawahi. Sama sekali. Bukan berarti aku suka yang berlebihan.

Sebaliknya, aku sangat suka gadis yang sedikit berdandan, berwajah imut, bermata besar, berhidung kecil, berbibir tipis, berkulit putih, bertubuh mungil, ceriwis, kalau bisa ... berpendidikan tinggi. Aku suka gadis cerdas dan mandiri, tapi memiliki satu sisi lembut dan senang dimanja.

Moza, atau Shizu-Chan, contohnya.

"Sorry, Sorry!"

Berkali-kali aku mengucapkannya, karena memang aku merasa sangat bersalah. Gara-gara rambut panjangnya tersangkut ritsleting jaketku, dia kehilangan jejak penjahat yang dikejarnya. Dia tampak sangat kesal, membuatku agak ngeri. Aku memang tidak pernah ingin berurusan dengan gadis pemarah, apalagi yang berperawakan tinggi-besar.

Jadi, sebenarnya, ini trauma masa kecil.

Saat usiaku lima tahun, seorang gadis berusia tujuh tahun mematahkan gigiku dengan tinjunya. Dia marah karena tidak mendapat potongan kue dengan hiasan stroberi yang kubagikan saat pesta ulang tahunku, padahal aku tidak sengaja. Kue-kue dibagikan sesuai urutan duduk.

Dia bernama Lucy, tapi karena tubuhnya tinggi besar dan berperangai kasar, semua orang memanggilnya Xena. Dia punya adik seusiaku, sehingga pada setiap pesta ulang tahun kawan sebayaku, Lucy pasti turut diundang. Sejak insiden pemukulan itu, aku tidak penah mau datang dalam semua pesta ulang tahun yang diadakan teman sekelas.

Yah ..., meski tidak takut secara harfiah seperti saat masih balita, tapi sepertinya alam bawah sadarku tetap tidak ingin menjalin hubungan asmara dengan gadis bertipe perkasa. Salah satunya, seperti gadis ini.

Tingginya mungkin di atas 170 cm. Aku nyaris tidak bisa melihat puncak kepalanya. Aku 183 cm, kurang lebih. Aku menginginkan gadis yang paling tidak 20 cm lebih pendek supaya bisa kudekap erat dalam dadaku. Karena tinggi badannya, dia harus membungkuk selama aku mencoba melepaskan jerat rambutnya di jaketku. Dan aku tahu itu melelahkan baginya.

"Lo bikin gue kehilangan barang dagangan!" dengusnya ketus sambil merapikan rambut menjadi gelungan tinggi dengan sebuah karet, begitu aku berhasil membebaskan serumpun yang tersangkut.

Saat gadis itu membuang muka ke arah menghilangnya pria yang dia kejar, aku melihat sekilas bagian belakang lehernya yang terpapar jelas. Tengkuknya boleh juga. Lehernya jenjang. Ini nilai tambah, tengkuk selalu bisa membuat dadaku berdebar. Jika aku ditanya bagian mana dari tubuh wanita yang membuatku bergairah, aku pasti menjawab tengkuk. Bukan betis. Bukan payu dara.

"Aku benar-benar minta maaf, berapa banyak yang dia curi?" tanyaku, tulus.

"Lupakan ajalah, cuma beberapa kotak bronis. Aku cuma mengejar untuk ngasih pelajaran. Kalau dia hanya lapar, aku mungkin bakal kasih juga ke dia," katanya, acuh tak acuh.

"Kalau beberapa kotak bronis, biar kuganti," kataku, entah mengapa aku melakukannya.

"Nggak usah! Ngapain? Bukan salah lo juga kali!" sergahnya, menolak dengan sungguh-sungguh.

Namun, aku malah bersikeras. Aku bahkan mengeluarkan dompet dan mencabut beberapa lembar uang dari dalamnya. Saat aku mengangkat wajah dari hitungan uangku, kulihat raut gadis itu mengerut tidak suka.

"Benar? Nggak apa-apa? Kamu nggak rugi?" Aku memastikan. Sungguh, aku merasa tidak enak, meski tahu itu bukan salahku. Rambutnya sendiri yang tersangkut di jaketku. Dia juga tidak menyalahkanku, atau mematahkan gigiku seperti Lucy. Aku memang tidak punya alasan kuat untuk ngotot menyalahkan diri sampai harus mengganti rugi. Akhirnya, aku menyimpan kembali uangku.

"Beneran nggak usah! Ntar gue nggak jadi dapat pahala!" tukasnya, membuatku tertawa kecil. "Gue juga yang salah udah nabrak lo."

"Aku minta maaf sekali lagi, ya?" pintaku, sampai akhirnya dia mengangguk.

"Iya. Santai aja. Ya udah, gue cabut dulu. Sorry, by the way, gue udah menunda jalan lo. Bye!"

Aku tidak mengucapkan apa-apa. Diam dan mengangguk, tertegun cukup lama menatap punggungnya. Dia berlalu sambil tertatih memegangi bahunya yang tadi sempat menabrak tubuhku.

Wow. Aku mendecap terkagum-kagum. Mengejar pencuri seorang diri pastinya membutuhkan nyali yang besar, gadis itu harus mulai mengkhawatirkan keselamatannya sendiri.

Seiring dengan menghilangnya gadis itu ditelan kerumunan, aku melanjutkan perjalanan untuk menjemput Kefan. Kulirik jam tangan, perjalananku tertunda sampai hampir sepuluh menit, tapi seharusnya kelas Kefan belum bubar saat aku sampaii sana.

Mumpung di luar, aku ingin membawa Kefan makan di restoran kesukaannya supaya kami bisa mengobrol. Siapa tahu aku bisa menyelipkan pengertian ke si bungsu agar menghentikan kebiasaan mencium itu. Tapi ... kami punya sup ayam di rumah. Lagi pula, kalau aku mengajak Kefan makan di luar, apakah Kenang dan Kanaya tidak akan berpikir aku menganakemaskan adik mereka? Soalnya, aku mendapat kesan bahwa sikap pemberontak mereka, yang kadang berimbas pada berkurangnya rasa hormat kepadaku, adalah karena perasaan cemburu. Setelah bertahun-tahun aku selalu mengedepankan kepentingan mereka, tiba-tiba aku menghilang begitu saja dan bersikap egois mengatasnamakan kepentingan pribadiku.

Tidak tertutup kemungkinan , selama ini mereka cemburu pada kepentingan pribadiku. Dapat jadi mereka akan cemburu juga jika aku tidak bersikap adil.

"Hai, Jagoan!" sapaku.

Aku datang tepat saat kelasnya dibubarkan. Kefan sedang berjalan melintasi taman sekolah saat aku tiba.

Dia tersenyum lebar menyambutku. Bukannya membalas sapa, bocah lucu itu justru memejamkan mata dan memajukan wajahnya. Seolah menantiku memberinya kecupan. Oh Tuhan ... ini agak gila. Aku paham benar alasan Kefan mungkin sama dengan apa yang dikatakan Kenang, tapi tetap saja, ini tidak akan berkesan baik jika dilihat orang.

Alih-alih mengecup bibir, aku mencium keningnya.

"Aku lapar!" katanya ceria.

Sepertinya aku memang terlalu berlebihan, dia hanya ingin menunjukkan kasih sayang dengan sentuhan, buktinya dia tidak tampak kecewa meski aku hanya memberinya sun di kening.

"Aku dan Kenang masak sup ayam," beri tahuku. Sengaja mengikutsertakan nama Kenang agar dia tahu bukan hanya aku yang bisa diandalkan dalam menyiapkan makanan.

"Nggak mungkin... Kak Kenang nggak bisa masak," kekeh Kefan jenaka.

"Tapi dia bisa motong daun bawang," candaku, dan kami tertawa bersama. "Mau makan di rumah aja? Kakak bikinin puding buat cuci mulut?"

"Puding caramel?" tanyanya dengan suara renyah yang menggemaskan. Aku menyetujui. "Pakai eskrim dan manisan cherry?"

"Asal nggak kebanyakan, ya? Berarti kita harus ke supermarket dulu buat belanja, nggak keburu lapar, kan?"

Sambil bergandengan tangan, kami berjalan menuju halte bus terdekat. Naik bus yang berhenti paling dekat dengan supermarket depan kompleks perumahan. Kefan tertidur di tengah perjalanan. Kepalanya yang mungil, serta rambutnya yang bau matahari, bersandar nyaman di lenganku. Aku membangunkannya saat kami hampir tiba.

Setelah mengambil beberapa bahan untuk membuat puding dan sekotak eskrim, kami berpencar. Aku harus membeli beberapa jenis toiletries dan persediaan bulanan, sedangkan Kefan memilih camilan. Saat sedang berdiri di depan jajaran pasta gigi dan mengingat-ingat merek apa saja yang dipakai Kenang dan Kanaya, aku berjingkat mundur untuk bersembunyi.

Dari balik rak persembunyianku, kulihat sosok gadis yang sangat kukenal berjalan memasuki supermarket. Kanaya, bersama seorang gadis yang kuduga kawan sekolahnya, sebab mereka mengenakan seragam yang sama. Bedanya, rambut gadis itu tampak rapi. Hitam mengkilap. Rambut Kanaya ... aku bahkan kesulitan menyebutkan warna apa saja yang ada di kepalanya.

"Lo yakin?" Kalau tidak salah, seperti itu pertanyaan yang membuka obrolan antara Kanaya dan kawan perempuannya.

Aku menajamkan pendengaran. Terutama ketika Kanaya menjawab pertanyaan. "Iya! Gue yakin. Gue udah browsing, lima merek ini yang paling tokcer buat ngetes kehamilan."

Jantungku mencelos, untung aku tidak menjatuhkan keranjang belanjaanku. Sambil susah payah menelan ludah dan berharap si bungsu tidak menemukanku mengendap-endap, aku mengintip memastikan apakah mereka membicarakan sesuatu sesuai dugaanku. Dan benar. Mereka berdiri di rak obat-obatan, menimang beberapa tipe test pack.

Kuasai dirimu, Kenan Lucius! Aku berbicara dalam hati. Sebelum kehilangan kesabaran dan mempermalukan adik perempuanku di tempat umum, sebaiknya aku menenangkan diri dan baru menanyakannya secara pribadi di rumah. Lututku lemas.

"Kita beli semua aja deh, ya?" Telingaku kembali tegak mendengar suara kawan Kanaya.

Sepertinya, Kanaya sedang mempertimbangkan usulan kawannya. Diam, menggumam, baru bertanya sekali lagi. "Lima merek ini? Sekaligus?"

Tidak ada sahutan, tapi kemudian Kanaya kembali angkat bicara. "Ya udah borong aja lima merek ini, kalau hasilnya positif baru kita ke dokter, ya? Gue deg-deg-an banget, tahu. Gimana dong kalau beneran jadi?"

"Yang pasti gue juga bakal stress berat!" sambar kawannya.

"Kok jadi lo yang stres?" tanya Kanaya, kelihatannya mereka berdua sudah mulai beranjak meninggalkan rak obat-obatan.

"Gimana pun juga, gue kan pasti kena imbasnya!"

"Yah ... lo kan palingan juga kena imbasnya, yang pusing sih yang ngalamin. Nggak tahu deh gue. Bakal diusir kali sama Kal-el, apalagi sama Kenan. Dia bisa-bisa keluar tanduk. Duh ... gue kenapa, ya? Seingat gue, dulu gue sayang banget sama dia. Tapi begitu dia balik, perasaan gue ke dia cuma perasaan kesal dan benci, karena dulu dia pergi begitu aja! Bawaan gue sewot melulu!"

Diam-diam, ada yang terasa begitu pedih di dalam dadaku saat mendengar seuntai kalimat yang—pastinya—jujur itu, sebab diucapkan tanpa tahu bahwa aku sedang mendengarkan.

"Bawaan orok kali!" sahut kawan Kanaya sambil terkekeh.

"Sialan lo!" balas Kanaya.

Aku masih tetap bersembunyi sampai mereka berdua selesai membayar dan keluar dari supermarket. Sekrup lututku seakan lepas, aku lemas hingga untuk tetap berdiri saja, aku harus bertumpu pada rak.

Kalau Kefan tidak muncul di hadapanku dengan dua kantung gula-gula berwarna tajam, dan menyibukkanku dengan penjelasan mengenai betapa berbahayanya pewarna berlebihan bagi tumbuh kembang otak anak, mungkin aku sudah menangisi kegagalanku sebagai seorang kakak.

Saat melanjutkan perjalanan pulang dengan berjalan kaki, aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku akan kuat menghadapi cobaan ini. Terutama Kanaya. Dia tidak boleh melakukan sesuatu yang akan disesalinya seumur hidup. Aku harus memberinya dukungan penuh, kalau perlu, aku yang akan menjadi Ayah anak itu.

Maksudku, aku akan mengadopsinya, bukan berarti aku akan menikahi Kanaya atau bagaimana.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro