Chapter 9. Ups! Sorry!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kal-el tidak mau berhenti mendengus sejak membalas teleponku.

"Gue nggak mau dan nggak bisa balik malam ini," tukasnya, ketus dan terus terang seperti biasa.

Aku menggeram diam-diam, berharap dia tidak mendengar bagaimana aku meredam emosi. Kal-el benar-benar memilih saat yang tidak tepat untuk mengembalikan panggilan. Sejak pagi aku mencoba menghubunginya, tapi tidak sekali pun dijawab. Sekarang, ketika aku tidak sendirian dan tidak bisa bebas bicara, dia justru balik mengontak. Tentu saja aku tidak menyalahkan salah timing-nya secara blak-blakan. Jika aku melakukannya, dia bisa bersikap lebih menyebalkan dari ini.

Dan kalau aku tidak kepepet, aku juga enggan mengajaknya berdiskusi. Akan tetapi, aku tidak punya pilihan lain. Hanya Kal-el yang cukup dewasa untuk diajak bekerja sama. Dia harus mau, sebab ini keluarganya juga. Adik-adiknya juga. Jika dia menolak, aku akan memaksa. Seseorang harus memberikan kontribusi, tidak hanya aku.

"Aku perlu membahas mengenai Kanaya dan Kefan, Kal!" desakku setengah berbisik. Suaraku terdengar aneh karena harus menjepit ponsel dengan bahu dan telinga, sementara tanganku sibuk memotong sosis.

Aku sedang memasak makan siang untuk Kenang. Tadinya, kami berencana membeli makanan di luar, tapi tiba-tiba memutuskan untuk memasak berdua. Waktuku hanya satu jam karena harus menjemput Kefan pulang dari les vokal.

Namun, sepertinya Kal-el tidak terlalu peduli pada perbedaan nada bicaraku. Jelas-jelas aku mencoba menyiratkan bahwa aku sedang sembunyi-sembunyi, atau bahwa permasalahan yang ingin kubicarakan ini satu hal yang cukup genting, dia malah terus mengajakku berdebat.

"Lo tahu nggak sih jarak rumah sama apartemen gue? Hampir satu jam perjalanan. Gue ada urusan yang jauh lebih penting, nggak bisa ditunda. Kita bisa bicarain apa pun itu kapan-kapan."

"Ini sama pentingnya," kataku. Ya Tuhan, bagaimana adik-adikku hidup selama ini jika satu-satunya orang dewasa yang bisa mereka keluhi se-ignorant Kal-el?

"Oke. Kalau memang penting, bicara saja sekarang. Buat apa menunggu?" sahut Kal-el tak acuh. Aku tahu dia masih kesal gara-gara perseteruan kami semalam, tapi aku tidak menyangka dia akan bersikap seperti anak-anak bahkan setelah hari berganti.

"Aku nggak akan menyuruhmu pulang kalau hal ini bisa dibicarakan di telepon!" kataku gemas, masih sambil berusaha menyembunyikan wajah panikku dari Kenang. Mungkin sebaiknya aku mengiriminya pesan petunjuk, supaya dia mengerti betapa resah hatiku sekarang ini. Dengan begitu, aku tidak perlu saling ngotot dengan Kal, sementara aku tidak ingin Kenang mendengar apa yang kutuntut dari abangnya yang satu lagi.

"Sudahlah, Ken!" kibasnya setelah menghela napas panjang.

"Sudahlah gimana maksudmu?"

"Denger, ya? Kami bertahan hidup selama ini, dengan atau tanpa lo. Nggak usah tiba-tiba bersikap peduli cuma karena lo memutuskan balik ke sini. Apa perlu gue jelasin kesibukan gue buat ngejar beasiswa supaya gue nggak perlu ngebiayain semester ini dari duit ayah, atau duit gue sendiri? Gue sibuk."

Kemudian terdengar nada sambung terputus yang membuatku spontan memaki dan meletakkan ponsel secara kasar ke meja dapur. Kenang tampak menoleh dari panci sup yang diaduknya ke arahku, tapi tidak bertanya apa-apa. Saat menerima irisan sosis dariku, dia tetap diam, memberiku waktu untuk meredakan emosi.

Aku tidak bisa berhenti bertanya-tanya setelah mendengar pembicaraan Kanaya di telepon tadi pagi. Apa maksudnya? Aku ingin tahu bagaimana pergaulan gadis itu selama aku tidak ada di rumah, tapi aku tidak ingin membicarakannya dengan Kenang sebelum kecurigaanku terbukti. Ya. Aku curiga dia hamil, atau berpikir dia sedang hamil.

Hamil atau tidak, kemungkinan besar Kanaya sudah terlibat pergaulan bebas kalau dia mencurigai dirinya sendiri hamil. Apalagi maksud bahasannya tentang pembalut, kecuali dia sedang hamil? Terlebih, dia tidak ingin membicarakannya dengan Kal-el, atau denganku.

Kalau Kal-el bersedia memberi tahuku dengan siapa Kanaya bergaul selama ini, aku bisa menyelidiki sejauh mana mereka menjalin hubungan. Kalau dia sampai hamil, aku tidak ingin dia melakukan tindakan bodoh seperti aborsi. Itu membahayakan nyawanya.

Aku tahu, seharusnya aku langsung bertanya pada Kanaya. Menyelidikinya diam-diam hanya akan membuatnya semakin tidak menyukaiku jika ketahuan. Akan tetapi, aku tidak punya cara lain. Kalau aku menanyakan langsung, keadaannya toh tetap akan sama. Dia bakal membenciku jauh lebih parah dari sebelumnya, karena merasa aku terlalu jauh mencampuri urusannya.

"Masih khawatir soal Kefan?" Kenang bertanya, sambil perlahan mencemplungkan irisan sosis dalam didihan kaldu ayam untuk kuah sup.

Aku menggeleng. "Yah ... masih, tapi bukan itu yang mengganggu pikiranku sekarang."

"Kanaya?" Kenang menebak.

"Ya," jawabku sambil memijat pelipis.

"Coba tanya ke gue," sambil terus mengaduk, Kenang menawarkan bantuan. Aku memandanginya yang siang ini hanya mengenakan kaus santai dan celana pendek. "Mungkin gue bisa bantu. Kakak khawatir karena penampilannya?"

Tanpa pikir panjang, aku membenarkan pertanyaannya. Berpikir mungkin jika Kenang terus bicara, kami akan sampai pada topik yang ingin kuketahui. Sambil duduk, kuputuskan untuk memancing informasi darinya. "Sejak kapan dia berpenampilan seperti itu? Atau merokok? Apa dia mabuk, atau memakai narkoba?"

"Sejak semester dua kelas sepuluh," tukas Kenang, melirikku sambil tersenyum. "Sebenarnya sejak Kakak pergi, Kanaya sudah menunjukkan banyak reaksi pemberontakan. Salah satunya dengan tidak mengajak ayah bicara, atau dengan mengecat rambut saat liburan, dan merokok diam-diam. Tapi sejak kami SMA dan Kak Kal ikut pindah, Kanaya semakin marah."

"Apa Kal tidak pernah mengingatkannya? Atau ayah memperingatkannya?"

"Nggak ada yang bisa menang berdebat dengan Kanaya. Dia keras kepala. Bebal. Dia melakukannya karena gue juga melakukannya. Gue juga mengganti-ganti warna rambut, memasang piercing, dan merokok, meski akhir-akhir ini gue berhenti. Kanaya nggak ingin dibedain dari gue, nggak mau dihentikan hanya karena dia anak perempuan dan gue laki-laki. Untuk itu, Kak Kal-el meminta gue memberinya contoh yang baik, tentu saja gue menolak."

"Kenapa kamu menolak? Kamu nggak ingin Kanaya bersikap seperti gadis SMA lain sesuai dengan usianya?"

Kenang tersenyum miring. "Keluarga ini aneh, atau mungkin semua keluarga seperti ini? Baik ayah, Kak Kal-el, atau kakak sebagai sulung, hanya menunjukkan bagaimana caranya menjadi seseorang yang egois, tapi berharap kami menjadi orang-orang yang toleran. Gue nggak pernah ingin apa yang terjadi dalam hidup gue menjadi contoh buat hidup orang lain, tapi gue lebih nggak bisa terima orang lain menentukan bagaimana gue hidup."

Aku beranjak dari kursi karena mendengar air kaldu mendidih. Kusingkirkan tubuh Kenang ke tepi dan kuangkat panci sup itu sendiri. Sebagai gantinya, aku memintanya menata piring di meja makan.

"Anak-anak tidak mendengarkanmu, mereka melihatmu melakukannya, dan mengimitasi perbuatanmu,"—aku yakin aku pernah mendengarnya suatu hari di masa lalu, saat aku sering menghabiskan waktu menemani mama menonton video-video parenting. Kelihatannya, hal itulah yang sedang diperlihatkan oleh adikku yang berusia 17 tahun.

"Mmm ... apa sekolah Kanaya tidak pernah mengecek tindak tanduknya?" Aku mengambilkan sepiring nasi untuk Kenang.

Kenang menerima seporsi nasinya. "Apa maksud Kakak? Soal rambutnya?"

Aku mengangguk sambil menyiram nasi dengan sup ayam, tidak menyajikannya dalam mangkuk tersendiri. Aku mencoba menekan jumlah cucian kotor, selain itu aku harus bergegas supaya tidak terlambat menjemput Kefan.

"Kanaya nggak ada masalah di sekolah. Kami berdua nggak ada masalah di sekolah. Mungkin Kakak nggak percaya, tapi gue dan Kanaya selalu dapat peringkat baik di kelas, bahkan di sekolah secara keseluruhan. Karena itu kami diperbolehkan mengganti warna rambut. Piercing ini nggak boleh sih, tapi gue sembunyi-sembunyi. Ada peraturan sekolah yang bunyinya gini; siswa dengan ranking 1 sampai 5 dari nilai keseluruhan siswa boleh melanggar salah satu dari tiga peraturan: rambut hitam, kerapian seragam, atau sepatu warna gelap. Siswa dengan rambut berwarna berarti siswa berprestasi," katanya, menyuap nasi sambil main mata denganku. Bermaksud bercanda.

"Apa dia ... berpacaran?" Kucoba meraba lebih dekat ke inti kekhawatiranku.

Kenang mengerucutkan bibir, kemudian mengedikkan bahu. "Akhir-akhir ini kami nggak banyak bicara selain untuk bertengkar. Gue nggak pernah tahu dengan siapa dia bergaul, ke mana dia pergi usai sekolah, atau apa yang dia lakuin di luar rumah. Tapi, cukup banyak anak laki-laki membicarakannya. Dia cukup populer. Nggak banyak anak berprestasi yang memilih melanggar aturan warna rambut, sebab mereka masih harus berkompromi dengan keluarga di rumah, sedangkan Kanaya enggak. Gue enggak."

Sampai kami selesai makan, aku tidak menceritakan mengenai kecurigaanku pada Kenang. Setengah hatiku masih berharap kecurigaanku tidak benar. Jika aku salah bicara dan Kanaya mendengar, semuanya bisa berantakan. Bahkan kalaupun benar, sangat tidak bijaksana kalau Kenang tahu dariku. Kami harus segera mengadakan rapat keluarga. Paling tidak, aku tidak ingin menjadi satu-satunya orang yang menjadikannya tertuduh. Ini masalah kami bersama. Menyelesaikannya sendiri sama saja aku tidak lagi memiliki kepercayaan terhadap anggota keluarga yang lain. Aku ingin Kanaya mengetahui bahwa kami berada di pihaknya, bukan melawannya.

Setelah kutiriskan bekas peralatan makan yang Kenang cuci, aku meninggalkannya untuk menjemput Kefan. Kuminta dia menjaga rumah baik-baik selama aku pergi dan berpesan supaya dia menghangatkan sisa sup sebelum jam makan malam karena aku berniat berbelanja sebentar sebelum sampai rumah.

Sepanjang perjalanan di dalam bus menuju tempat les vokal Kefan, aku tak henti-hentinya memikirkan kemungkinan selain kehamilan, yang berkaitan erat dengan pembalut wanita dan mual-mual di pagi hari.

Mungkin aku terlalu cepat menarik kesimpulan.

Bisa saja dia mual karena sesuatu yang lain, bukan? Aku jarang melihatnya makan. Bisa jadi aku seharusnya lebih mengkhawatirkan dia terkena malnutrisi karena tubuhnya sangat kurus. Dan mengenai pembalut, mungkin maksudnya dia sedang menggantinya dengan tampon atau menstruation cup? Shizu Chan menggunakan menstruation cup, membuatku tidak pernah berhenti bertanya-tanya bagaimana mereka memasukkan benda seperti itu ke ruang sekecil lubang vagina. Para wanita Jepang sudah berhenti menggunakan pembalut sekali pakai dan beralih ke mangkuk silikon yang menurut keterangan Shizu harus diganti beberapa jam sekali. Meski setahuku, benda itu tidak baik digunakan oleh gadis-gadis yang masih perawan.

Semoga saja kekhawatiranku tidak terbukti. Namun, kalaupun benar, apa yang akan kulakukan jika adik perempuanku hamil? Dia baru menginjak masa remaja, apa dia akan berpikir untuk mengasuhnya? Aku tidak akan mengizinkan Kanaya berbuat sesuatu yang akan disesalinya seumur hidup. Mungkin daripada mencari orang tua asuh, aku bisa mengasuh bayi itu. Aku selalu suka anak-anak.

"Kiri! Kiri depan, Bang! Bang!" teriakku. Sopir angkutan yang kuteriaki baru menghentikan mobil beberapa meter setelah seisi angkutan ikut berteriak. Sambil membayar menggunakan uang pas dengan agak jengkel, aku melompat turun. Kakiku mendarat di trotoar dengan—UGH!

Aku berputar-putar sampai nyaris terpelanting ke arah berlawanan ketika seseorang menyambar tubuhku begitu turun dari angkutan. Orang pertama yang membuatku berputar seperti jemuran tertiup angin adalah seorang pria yang tampaknya kuat, tapi yang membuatku terpelanting adalah seorang gadis yang mengejar si pria sambil meneriakinya copet.

"Sorry!!!" ucapnya sambil lalu padaku, lantas lanjut berlari.

Aku tidak menyalahkannya, malah sebenarnya aku berpikir untuk membantunya mengejar penjahat, tapi tidak bisa. Kefan menungguku.

"EOWWW!!!"

Langkahku serta merta terunda karena sesuatu menahanku. Jerit kesakitan gadis itu ternyata diakibatkan oleh serumpun rambutnya yang tersangkut ritsleting jaketku. Dan oh ... dia gadis yang cukup tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro