Chapter 8. Triple Trouble

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kal-el sudah pulang pulang pagi-pagi sekali. Aku mendengar deru suara mobil dan pagar besi terbuka pukul empat dini hari, kemudian kembali tidur. Pada pukul enam, tidurku terusik oleh sebuah kecupan di bibir, yang hampir saja kubalas jika alam bawah sadarku tidak duluan memberangus sisa mimpi nyaris basah menjelang subuh.

Aku tersentak bukan main. Wajah si bungsu Kefan menggantung di puncak hidungku seperti pagi sebelumnya.

"Ohaiyoo ghozaimasu!" sapanya, matanya memejam kalau dia tersenyum. Membuatnya tampak sepuluh kali lebih menggemaskan. "Sarapan, Kak! Aku lapar!" kemudian melompat turun dari tempat tidur dengan tanpa dosa. Meninggalkan aku yang semakin merasa gagal menjadi seorang kakak laki-laki.

Gontai, aku melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka. Jelas, ini tidak boleh dibiarkan lebih lanjut. Aku harus menemukan satu cara untuk memberi tahu Kefan, tanpa melukai hatinya. Kecupan itu memang kecupan sayang. Cup! Ujung bibir dengan ujung bibir, persis seperti ketika mama mengecupku tiap pagi untuk membangunkanku, atau melepasku di sekolah saat aku masih duduk di taman kanak-kanak.

Aku tahu dia tidak punya maksud apa-apa. Itu hanya tanda bahwa dia masih menganggapku sama seperti lima tahun lalu. Tidak ada yang berubah dari Kefan, tapi itu justru lebih mengganggu pikiranku daripada sikap pembangkang Kanaya.

Setelah selesai menggosok gigi, aku langsung menuju dapur. Kenang membalas sapaan selamat pagiku dengan mengangkat alis. Sambil meraih mug dari rak perkakas dapur, kurapatkan tubuhku di sisinya. Kenang tidak menarik diri, seolah tahu aku hendak bicara berdua saja.

"Apa Kefan membangunkanmu setiap pagi?" Aku menanyainya yang sudah siap dengan seragam sekolah, dia tengah berkutat dengan bahan-bahan untuk membuat kopi dan krim.

"Iya," jawabnya tidak acuh. Aku menyambar toples kopi dari tangannya, menggantinya dengan sekotak cokelat bubuk untuk minuman dan sekaleng susu kental manis. Kenang tidak membantah, mungkin dia agak lebih baik dibanding Kal-el dalam mengendalikan diri menghadapiku, atau Kanaya. Atau bahkan Kefan, yang membuatku bergidik tiap pagi.

Masa aku harus mengunci kamar sebelum tidur? Bagaimana kalau dia justru tersinggung dan menganggap bahwa aku sedang menjaga jarak darinya? Dia masih kecil. Salah langkah sedikit, bisa-bisa aku memengaruhi cara pandangnya terhadapku seumur hidup.

"Apa yang dia lakuin buat ngebangunin kamu?" Aku melanjutkan penyelidikanku, sambil membantunya menuang air panas dari termos.

Kenang sepertinya tidak terlalu paham maksud pertanyaanku. Alisnya mengerut. Bibir monyongnya dia arahkan ke samping. Terheran-heran.

"Ya kayak apa, disiram air, diteriakin, ditampar, atau—" aku menelan ludah. "Dicium?"

"Ngapain dia nyium gue?" Sontak, Kenang mengernyit jijik, lantas menghirup susu cokelat yang baru saja diseduhnya. "Biasanya Kefan naro alarm ke kuping gue. Kalau gue bandel, dia teriakin. Kalo masih belum bangun juga, dia manggil Aya dan nyuruh dia narik gue dari kasur. Kalo masih nggak bangun, berarti gue emang lagi nggak pengen sekolah."

Huh? Aku cuma bisa geleng-geleng kepala, tapi tidak berniat membahas lebih lanjut.

Berarti si bungsu hanya melakukannya pada si sulung, yaitu aku. Terus terang aja, aku mulai agak khawatir. Aku mengecup bibir semua adikku karena Mama selalu melakukannya padaku. Usia kami yang terpaut jauh membuatku merasa pantas memperlakukan mereka seperti itu. Lain halnya dengan Kal-el. Dia tidak banyak melakukan kontak fisik dengan adik-adik. Apakah itu yang membuat Kefan hanya mengecupku?

"Dia nyium bibir kakak, ya?" tebakan Kenang membuatku tersentak. Karena terkejut, aku menelan sekeping biskuit lapis selai kacang yang belum terkunyah sempurna hingga terbatuk. Adikku menyodorkan segelas air putih sebelum aku tersedak. Untuk mendorong gumpalan makanan dari kerongkonganku, kuminum banyak air.

"Menurutmu apakah aku harus ngasih tahu supaya dia berhenti, atau dia akan berhenti sendiri?" aku membisikinya, khawatir jika Kefan yang tengah duduk menikmati segelas susu mendengar.

"Apa Kakak khawatir dia bakal jadi gay?" terkanya sekali lagi, tanpa canggung sama sekali.

"Apa?" seruku tertahan, membuat Kefan menoleh ke arahku. Aku berdeham agar dia tidak curiga. "Tentu saja enggak! Dia masih terlalu kecil buat—buat—"

Sialan. Aku bahkan nggak kepikiran sampai sejauh itu!

Kenang menahan senyumnya, seakan-akan aku baru saja mengatakan sesuatu yang bodoh. "Gue sih nggak akan kaget kalau Kefan gay. Apa kakak tahu dia banyak main sama anak cewek dan nggak seperti kebanyakan anak laki-laki, dia nggak suka sepak bola."

Mukaku seketika pias, tapi sebisa mungkin aku berkilah. "Nggak semua anak laki-laki suka main sepak bola!"

"Yah ... mungkin memang hanya karena kakak dulu terlalu manjain dia. Jadinya memori dia soal kakak berhenti di situ."

Itu mungkin ada benarnya. Aku meninggalkannya saat dia masih terlalu kecil, dan seingatku, aku memang agak berlebihan memanjakannya sampai sebelum pergi. Adik-adikku yang lain sudah cukup besar saat Kefan balita, hanya kepadanya aku menyalurkan kegemaranku memanjakan anak-anak. Bahkan, aku masih tidur bersamanya saat dia masuk taman kanak-kanak.

"Kakak sih," celetuk Kenang. "Gue sudah nggak ingat kapan kakak terakhir cium bibir buat selamat pagi, tapi mungkin kakak pergi sebelum Kefan paham kalau itu hanya dilakukan pada anak-anak. Dia nggak sempat dapat penjelasan dari siapa pun kalau itu nggak pantas dilakukan ke sesama pria dewasa."

Aku tertegun.

"Kalau gue nggak salah ingat, Kefan sempat mogok bicara sampai berminggu-minggu setelah kakak pergi. Sampai berbulan-bulan, dia masih nanya kapan kakak akan pulang, mungkin kakak cinta pertamanya."

"Jangan sembarangan ngomong kamu, Kenang!" kecamku, tapi Kenang malah tertawa kecil.

Sambil merapikan tatanan rambut anehnya yang berwarna keperakan, dia mengoles sekeping roti dengan selai kacang, "Kalau kata gue, nggak akan banyak ngebantu juga kalau kakak ngejelasin sekarang. Siapa tahu dia cuma ngelakuin itu karena sayang sama kakak, bukan karena apa-apa. Kalau kakak nanya, dia bakal tersinggung."

"Kamu yakin?"

Kenang mengangguk, menangkup roti berselai dengan cekatan, kemudian menggigit sepotong besar memenuhi mulutnya. Dengan pipi menonjol penuh kunyahan roti, dia melanjutkan bicara. "Dia mungkin kurang kasih sayang aja. Dan yang terakhir dia ingat, dia dapat kasih sayang itu dari kakak. Jangan buru-buru dicegah, deh, nanti dia syok."

Dahiku—kulihat dari pantulan teko di atas kompor—berkerut, memikirkan apakah aku pantas mendengarkan saran Kenang, atau apakah itu dilakukannya untuk mengolok-olokku. Yah ... dari penampilannya, aku harus bilang Kenang tidak tampak seperti seseorang yang paham mengenai perasaan. Dia malah kayak anak punk tukang madat. Jangan-jangan dia nyentuh barang gituan? Kalau enggak, kenapa dia tampil seperti anggota geng bermotor gitu?

"Aku punya cita-cita jadi psikolog," Kenang seakan mencoba meyakinkanku. Seketika itu juga, aku merasa bersalah sudah meremehkannya. Apa mungkin dia sudah banyak membaca buku psikologi, sehingga sanggup memberi analisis semacam itu?

"Oh ya? Itu bagus,"pujiku. "Sudah mikirin mau ngelanjutin kuliah di mana?"

"Buat apa?"

"Buat mewujudkan cita-cita kamu!"

Tanpa kuduga, Kenang malah nyaris menyemburkan susu cokelat dari mulutnya karena tidak bisa menahan tawa, bukannya menjawab pertanyaan seriusku. Dengan sigap aku mengambil selembar napkins untuk mengelap noda di mulutnya, agar tidak mengotori seragam.

"Kenapa, sih?"

"Gue cuma bercanda," katanya, ketawa. "Habis kakak kayaknya serius banget. Santai aja, kali. Gue nggak akan kuliah, apalagi jurusan psikologi. Eugh! Kanaya aja udah bikin gue sinting, ngapain harus ngurusin psikologi orang-orang, coba? Gue mau travelling setelah lulus. Keliling dunia, nyari kerja serabutan buat bertahan hidup, mendaki gunung, berlayar, gue nggak akan stay di sini. Apalagi kuliah? Give me a break!"

Aku cuma bisa diam menonton Kenang menjejalkan sisa roti ke dalam mulut, lalu menandaskan susu cokelat kayak sudah sebulan nggak minum.

"Berangkat!" pamitnya sambil melewatiku. "Jangan lupa, Kanaya belum keluar kamar! Bye!"

Aku melirik jam dinding.

"Ayaaa! Sudah jam setengah tujuh, Sayang! Turun sarapan, lalu cepat berangkat sekolah!" teriakku sambil menyiapkan sekerat sandwich, tapi sampai aku menyajikannya di meja dan membersihkan mulut Kefan yang berlepotan sereal, Kanaya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya.

Kalau tidak terpaksa, aku tidak ingin ribut-ribut dengan gadis dalam masa transisi. Sejak aku tiba sampai hari ini, kami belum pernah mengobrol sepantasnya, atau paling tidak tanpa berakhir dengan dia meninggalkanku dalam keadaan marah. Sepertinya semua hal bsa membuat Kanaya marah. Tomat di tepi nasi goreng, peringatan terhadap kebiasaan merokok, memelankan volume musik, terlalu lama berada di kamar mandi, atau kelupaan menyingkirkan celana dalam yang habis dicucinya saat mandi, bisa mengubahnya menjadi monster menakutkan.

Aku tidak tahu dia melakukannya karena masih sakit hati akan kepergianku, atau cuma karena janinnya dulu berada di sisi rahim yang sama dengan Kal-el saat mama mengandung.

"Kefan mau nyuruh Kak Aya turun sarapan nggak?" tanyaku. Siapa tahu Kefan mau mengambil alih, sehingga aku terhindar dari keributan di pagi hari.

"Nggak mau!" jawab Kefan cepat. "Kak Aya suka seram kalau pagi-pagi diingetin supaya cepat dandan!"

Aku mengekeh. "Oke. Habisin sarapannya ya, cakep. Kakak naik dulu bentar. Nggak usah dicuci piringnya."

Pada akhirnya, aku mengalah karena tidak punya pilihan. Kefan saja sudah aware dengan sindrom pagi hari gadis remaja, tapi aku tidak boleh membiarkannya terlambat, atau bolos sekolah. Dengan setengah hati, aku sampai di depan pintu kamarnya. Tanganku sudah siap mengetuk, tapi urung. Kudengar dia tengah mengobrol di dalam. Mungkin dia sedang menelepon.

"Gue nggak beli pembalut bulan ini!" Suara Kanaya terdengar sengaja dipelankan. "Nggak bisa! Gue nggak mungkin bilang ke Kal-el! Apa? Apalagi ke Kenan! No way!"

Aku menajamkan pendengaran, menempelkan telinga ke daun pintu.

"Iya, gue ngerti. Gue mual banget. Nggak, gue tahan aja. Kenan bakal bawel kalau gue nggak berangkat sekolah! Dia nggak sama kayak Kal-el. Ugh! Dia nyebelin banget orangnya, jauh lebih nyebelin dari yang terakhir kali gue inget! Ya udah ... ntar kita omongin lagi aja di sekolah. Gue juga pusing! Nggak cuma lo!"

Mual? Kenapa dia mual pagi-pagi begini? Dan apa hubungannya dengan tidak membeli pembalut bulan ini? Kutempelkan telingaku makin rapat, tapi sepertinya Kanaya sudah selesai bicara. Dia tidak lagi mengoceh dan hanya berdeham beberapa kali, memberi tanda bahwa dia mendengarkan lawan bicaranya di telepon. Cepat-cepat, aku menjauh, meski masih bisa mendengar dia berkata. "Oke. I'll see you in school. Bye!"

Sebelum Kanaya mencapai pintu, aku sudah duluan kembali berada di ujung tangga. Saat dia muncul di depan kamar, wajahnya berubah masam menemukanku berdiri di sana.

"Sarapan!" kataku, lantas kembali turun dengan kepala penuh tanda tanya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro