Chapter 7. Kal-El

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum aku tinggal sendiri di Jepang, aku sudah sering memasak untuk keluarga ini.

Kami tidak membedakan pekerjaan laki-laki dan perempuan di rumah. Semua anak, di atas usia tujuh tahun mendapat bagian mengurus pekerjaan rumah tangga sesuai usianya. Mengelap jendela, menghapus debu, menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju, serta bekas peralatan makan masing-masing. Namun, Mama hanya memercayakan pekerjaan dapur padaku, jika beliau sedang tidak ingin memasak.

Di Jepang, aku sering menjamu teman-temanku dengan masakan rumahan pada berbagai festival dan perayaan. Aku senang memperkenalkan pada mereka berbagai macam menu masakan Indonesia, dan gadis Jepang menyukai pria yang senang berkutat di dapur. Demikian pula Shizu-Chan, dia tergila-gila pada apa pun yang tanganku hasilkan.

Malam ini, aku mengumpulkan seluruh anggota keluarga dengan keahlianku memasak. Sebelum berbelanja bersama Kefan, aku mengirim SMS untuk menanyakan apa yang ingin mereka makan. Secara mengejutkan, baik Kanaya, Kenang, dan Kal-el, menjawab pesanku. Ternyata, mereka tidak lupa betapa lezat masakan kakak mereka. Perasaan itu membuat dadaku menghangat.

Aku sengaja mengundang semua orang berkumpul karena ingin bicara dengan Kal-el tentang banyak hal. Semula dia menolak dengan alasan sibuk, tapi saat kudesak dan kuingatkan bahwa kami belum merayakan kepulanganku di tengah keluarga, dia mengalah. Kami memang selalu merayakan segala sesuatu dengan berkumpul di meja makan. Seolah sudah menjadi kebiasaan, betapa pun kesalnya kami karena ayah jarang pulang, selalu ada makan malam mewah saat dia datang.

Kefan menyantap hidangan dengan lahap. Dia duduk di sampingku, mengoceh tentang berapa besar kemungkinan kami bisa memelihara anjing atau kucing, mengingat aku sudah kembali. Kenang menghabiskan porsi besar grilled beef caramel dan mashed potato tanpa banyak bicara. Kal-el hanya menyisakan beberapa butir kacang polong di sop iganya. Bahkan Kanaya, meski wajahnya tetap tampak masam dan makan sangat lambat, tapi tidak mengecewakanku dengan membersihkan piring nasi mentega dan ayam rica sampai tandas.

Perut mereka bahkan masih muat menghabiskan sepotong bread pudding sebagai penutup.

"Are you staying?" tanyaku pada Kal-el saat kami memberesi meja.

Dia melirik arlojinya, "Oke."

"Mandilah," suruhku. "Kusiapkan handuk dan air hangat. Let's have some beer after bath, Oke?"

Kal-el mengangguk.

"Oh. One more thing, tolong minta Kanaya supaya tidak merokok. Aku sudah terlalu banyak berselisih paham dengannya hari ini," pintaku.

"Dia merokok di luar," tukas Kal-el.

"Dia tetap tidak boleh merokok selama dia masih tinggal di rumah ini."

"Kalau lo bilang kayak gitu ke dia, dia akan keluar rumah pagi buta besok," dengusnya.

"Go talk to her, Kal, while I am preparing your bath. I'll take care of your dishes." Aku bersikeras.

Dengan malas, Kal-el mengangkat bokongnya dari kursi, kemudian berjalan keluar rumah untuk menyusul Kanaya yang merokok di teras. Beberapa saat kemudian, kudengar bantingan pintu cukup keras dan kulihat Kanaya melintasi pintu dapur dengan langkah cepat menuju kamarnya. Disusul oleh Kal yang kembali ke dapur sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Apa yang bikin dia kayak begitu, sih?" Aku mendahului komentar Kal-el.

Jawabannya sama dengan jawaban Kenang tempo pagi. "Rebellious age."

Aku hanya bisa menghela napas. Jelas aku tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Kal-el dalam membagi keterangan, mengingat betapa ignorant-nya pemuda itu. Sambil menungguku, dia kembali duduk di dapur sambil mengecek ponsel.

"Kamu nggak akan ngasih tahu dia bahaya merokok? Kalau itu memang rebellious age, berarti dia butuh perhatian, bukan?" Aku menoleh pada Kal setelah usai menyimpan perangkat makan ke dalam rak.

"Kalau itu rebellious age," kata Kal-el tanpa mengalihkan tatapan dari layar ponsel. "It will pass. Nggak usah lo ambil pusing."

"Sekarang aku bisa lihat dia dapat gen pemberontak dari siapa," keluhku. Merujuk pada bagaimana Kal tidak mau melepaskan konsentrasi pada gadget saat seseorang mengajaknya bicara.

"Lo nggak tersentuh teknologi, ya?" Kal tahu-tahu menanggapi sikapku. "Lo tinggal di Jepang, nggak punya sosial media—"

"Aku ada sosial media. Aku pakai email. Tapi aku masih bisa lebih menghargai orang lain yang mengajakku bicara."

"Lo pasti dianggap orang aneh di Jepang!" cebik Kal-el menghina.

"Orang Jepang nggak seburuk yang kamu kira. Mereka berjalan cepat, bekerja cepat, dan menghargai orang lain. Ponsel kebanyakan digunakan saat menunggu, atau saat bosan di dalam kereta."

"Gue sedang nunggu lo cuci piring, dan siapa bilang gue nggak sedang bosen?" katanya sebelum meninggalkanku sendirian di dapur, tanpa menata kembali kursi yang semua dia duduki.

Setelah memastikan si kembar berada di kamar masing-masing dan menidurkan Kefan, aku mandi begitu Kal-el selesai. Kubawa dua kaleng bir ke ruang tengah, dimana Kal-el menunggu sambil menonton televisi.

"Lo mau ngomongin soal Moza?" sambutnya sambil membuka kaleng bir.

Aku menyesap bir. Menaikkan alis. "Enggak."

"Bagus. Gue sedang nggak berminat membicarakannya sekarang. Mungkin nanti, kalo lo butuh penjelasan."

Aku tidak keberatan mendengar mengenai kisah mereka berdua, tapi tidak akan meminta Kal melakukannya jika dia enggan. Selama beberapa menit, kami hanya menyesap bir masing-masing sambil mencoba menikmati siaran teve. Beberapa menit berganti, aku merasa sudah saatnya memulai diskusi, sebelum Kal-el mendengus bosan.

"Apa kamu tahu selama ini si bungsu yang menyiapkan sarapan untuk Kanaya dan Kenang?" tanyaku hati-hati. Kulihat dengan ekor mataku, Kal-el mengangguk.

"Gue sudah mengirim beberapa orang untuk mengurus mereka, tapi Kanaya selalu bikin ulah dan membuat semua pengurus itu milih dipecat daripada ngurusin mereka. Si bungsu melakukannya dengan sukarela,kok," jelasnya santai, memerahkan telingaku.

"Apa kamu nggak berpikir betapa bahayanya anak seusia dia berurusan dengan kompor dan benda tajam?" Kucoba untuk berbicara sepelan mungkin, supaya Kal-el tidak tersinggung dengan cara bertanyaku.

"Mereka paling hanya sarapan sereal atau roti. Kenapa sih lo ngebahas ginian? Kenyataannya Kefan nggak kenapa-kenapa."

"Mereka masih dalam usia pertumbuhan dan kamu biarin begitu aja mereka sarapan sereal dan roti setiap hari? Paling enggak, kamu kan bisa minta ayah kirim uang buat jasa katering, Kal!"

"Di sekolah kan mereka bisa jajan lagi. Katering itu ngebosenin," katanya.

"Terus, apa yang mereka makan buat makan siang dan makan malam?" cecarku. Tak kusangka, cara bicaraku mulai menggebu, berkesan memojokkan.

Benar saja. Kal-el mengernyit. Menoleh. Menatapku. "Apa gue sedang dihakimi?"

"Nggak gitu," sangkalku. "Aku hanya khawatir dengan kesehatan mereka. Jadi selama lima tahun ini, mereka hanya makan roti atau sereal di pagi hari dan entah makan apa di siang dan malam hari?"

"Gue mampir setiap akhir pekan. Kalau mereka sedang nggak sibuk dengan acara masing-masing, gue ajak mereka makan. Kadang gue datang malam hari kalo lagi nggak sibuk, bawain mereka makanan."

Aku tidak tahu harus ngomong apa lagi. "Harusnya kamu nggak usah pindah dari rumah," cetusku. Tidak tahan menembak ke inti permasalahan.

"Gue nyari tempat yang nggak jauh dari kampus. Gue lagi dalam masa sangat sibuk ngurusin kuliah. Tiap saat gue harus ngurus ini dan itu. Kalo gue tinggal di sini, habis waktu di jalan."

"Tapi mereka masih anak-anak, Kal!"

"Terus gue mesti gimana? Lo sendiri dengan enaknya pergi jauh ninggalin mereka yang masih anak-anak, kenapa gue nggak bisa punya kehidupan gue sendiri kayak lo? Atau kayak ayah?" balas Kal-el pedas, tapi suaranya tetap datar.

"Aku harus kerja," aku membela diri. Lemah.

"Gue juga harus nempuh studi."

Keheningan menyelinap di antara kami. Aku ingin menyalahkan Kal-el. Menunjuk hidungnya yang seharusnya bisa lebih toleran terhadap keluarga ini. Namun kenyataannya, aku juga tidak berbeda dengan dirinya. Padahal, aku sudah tahu berharap ayah mau lebih bertanggung jawab terhadap anak-anaknya adalah tindakan sia-sia, tapi aku tetap melakukannya. Sama seperti Kal-el, waktu itu aku juga merasa, kenapa aku tidak boleh memiliki kehidupanku sendiri?

"Lo nggak harus kerja di Jepang," Kal-el sekonyong-konyong menyerang. "Lo juga ngerasa kalo seharusnya mereka bukan tanggung jawab lo, tapi tanggung jawab ayah, makanya lo pergi jauh buat alasan. Gue juga sama. Masih mending gue masih sekali-sekali ngunjungin rumah. Kapan aja mereka butuh, gue masih bisa lebih cepat datang daripada kalian berdua. Sekarang lo masih bilang kalo telantarnya keluarga ini karena gue?"

"Bukan gitu, aku—"

"Lo yang ngebuang keluarga ini, Kenan. You abandoned them. Us. Lo pergi karena lo egois. Lo pikir hanya lo yang kehilangan mama dan kesel sama ayah? Sekarang, lo kembali dan berharap keadaan akan sama kayak sebelum lo pergi?"

Aku membisu.

"Lo pikir gue nggak pernah bicara sama Kanaya? Kenang? Lo pikir mereka dengerin gue? Mereka cuma dengerin omongan lo. Dari kecil mereka lo didik buat ngedengerin dan patuh ke lo. Lo tahu apa yang mereka pikirin saat lo pergi?"

Aku masih tidak berani membuka suara.

"Mereka ngerasa terbuang. Ngerasa lo khianati. Lo bikin mereka terbiasa dan sayang sama lo, kemudian lo pergi begitu aja. Sekarang, kalo lo mau mereka balik dengerin lo lagi kayak dulu, lo harus usahain kepercayaan mereka balik ke lo. Sebab, nggak akan ada gunanya juga lo nyalahin gue, Ken. Gue sama aja kayak lo!" Kal-el menghabiskan isi dalam kaleng birnya, kemudian, berdiri. "Gue duluan."

Aku mencegahnya sebelum benar-benar melangkah pergi. "Lalu, kamu nggak akan kerja sama denganku buat ngelurusin hidup Kanaya? Atau Kenang? Kembali membangun keluarga ini seperti dulu?"

Kal-el tidak menjawab. Menengok ke arahku pun tidak. Dia hanya membawa kembali kaleng bir kosongnya untuk dibuang ke tempat sampah di dapur. Setelah itu, hanya suara langkah kakinya naik ke lantai dua yang terdengar.

Aku menghela napas panjang, merenung sejenak sambil menghabiskan bir dengan lampu yang sengaja kupadamkan. Persis seperti ketika akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan rumah ini lima tahun lalu. Bedanya, kali ini aku memikirkan bagaimana agar aku kembali bisa membuat rumah ini senyaman dulu. Ketika jarum jam di dinding menunjuk pukul sebelas malam, aku mematikan televisi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro