Chapter 5. Let Her Go (?)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Saat mama meninggal, aku benar-benar terpukul.

Pekerjaan pertamaku di Indonesia berantakan, sampai aku mendapat surat peringatan yang membuatku frustrasi. Mulai dari kesalahan minor seperti terlambat datang, terlalu banyak izin tidak lembur karena perawat Kefan harus pulang maksimal pukul lima sore, sampai dengan kesalahan besar yang mengakibatkan kerugian.

Aku ngotot meminta ayah menarik diri dari tim liputan habitat buayanya di Australia, tapi dia terus mengulur waktu. Seminggu setelah Mama meninggal, dia kembali bekerja seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Apakah dia mengkhawatirkan siapa yang akan menjaga Kefan balita saat aku pergi bekerja? Tidak. Apakah dia peduli siapa yang akan mengajari Kanaya mengenakan pembalut untuk pertama kali? Tidak. Atau apakah dia bahkan ingat bahwa Kanaya punya saudara kembar yang mulai senang memaki layar komputer saat bermain game online? Kurasa tidak.

Dan aku kesal.

Suatu hari saat aku merasa sudah tidak tahan diperalat oleh pria seenak sendiri itu, aku duduk diam di ruang keluarga dengan lampu yang sengaja kupadamkan, aku merenung. Saat itu aku masih 23 tahun. Ambisiku masih menggebu-gebu, dan aku merasa tak lebih dari seseorang yang—selama hidupku—dipaksa mengemban tanggung jawab yang sebenarnya bukan sepenuhnya milikku.

Aku merasa tertekan. Tekanan yang tidak pernah kurasakan saat mama masih ada.

Pagi setelah malam itu kulewati tanpa memejamkan mata sedikit pun, tidak pikir panjang, aku memenuhi ajakan seorang kawan untuk bekerja di luar negeri sebagai tenaga ahli.

Aku mengirimi ayah ultimatum lewat email, jika dalam dua minggu dia tidak kembali, maka aku tidak akan bertanggung jawab jika anak-anaknya diambil dinas sosial karena aku harus bekerja di Jepang.

Dan, dengan cengiran di bibirnya, laki-laki slenge'an itu benar-benar kembali. Pada suatu pagi buta, mengenakan baju safari yang mengingatkanku kepada Steve Irwin, Sang Pemburu Buaya dari Australia, dia memencet bel pintu rumahnya sendiri, dan membangunkan seisi rumah. Saat aku bertanya kenapa dia tidak langsung masuk saja, dengan entengnya dia bilang kuncinya hilang.

Aku pikir, aku sudah melakukan tindakan yang benar, setidaknya untuk diriku sendiri. Aku pikir, aku hanya butuh lari, dan memberi pelajaran kepada ayahku. Kupikir, Moza—pacarku waktu itu—tidak akan keberatan dengan keputusan yang kuambil sepihak. Kami bisa berhubungan jarak jauh, sesederhana itu pikiranku.

Pada kenyataannya, Moza keberatan dan kami putus hubungan kekasih. Mungkin ini jalan terbaik, hanya itu yang terlintas di benakku. Aku sempat beberapa kali menghubunginya dari Tokyo, tapi sambutannya dingin. Jadi setelah beberapa bulan, aku melupakannya begitu saja. Tenggelam dalam pekerjaan dan dunia baru, berkencan dengan beberapa gadis, sampai bertemu Shizu Chan, dan berpacaran serius.

Ketika aku memutuskan kembali, aku bahkan sama sekali tidak ingat akan keberadaannya. Namun, kenangan akan seorang gadis cerdas yang memukau dan membuatku tergila-gila selama tiga tahun lamanya, kembali hadir sewaktu aku melihatnya datang ke rumah duka.

Dia masih cantik seperti dulu, hanya tampak lebih dewasa. Jika dulu aku lebih suka melihatnya berpenampilan sederhana dengan rambut panjang yang dijalin dan diikat dengan pita pink, aku tidak kalah suka dengan penampilannya dewasa ini. Lima tahun sudah berlalu, tidak ada yang lebih indah dibanding melihat seorang gadis yang telah berubah menjadi wanita. Dadaku berdegup kencang, seperti saat pertama kali melihatnya dulu ketika mata kami bertemu.

Dia mengangguk khidmat kepadaku yang duduk berjejer bersama keempat saudaraku pada upacara terakhir sebelum jasad dikremasi.

Hal pertama yang terlintas di pikiranku mengenai pertemuan kembali ini adalah takdir. Moza datang karena dia pernah menjadi bagian dari keluarga ini. Dia datang karena pernah menjadi kekasih yang kusayangi dan harapanku membumbung tinggi untuk kembali merajut kisah kasih dengannya.

Moza adalah gadis yang begitu mudah dikagumi. Aku tahu jika melihatnya, aku akan jatuh hati lagi dan lagi. Akan tetapi, tentu saja aku sadar diri. Aku sudah meninggalkannya dulu, aku tidak boleh egois dengan merangsek masuk kembali dalam kehidupannya. Perlahan aku akan memastikan lebih dulu bagaimana hidupnya setelah kepergianku. Jika dia memang masih sendiri, aku berharap bisa memenangkan hatinya sekali lagi.

Kali ini, jika kesempatan itu memang pantas kumiliki, aku tidak akan melepaskannya.

Usai upacara dan jasad dibawa ke rumah kremasi, kami mengadakan jamuan kecil untuk kawan dan sanak saudara. Tidak banyak yang datang memenuhi undangan karena sebagian besar tidak menyetujui keputusan kami untuk mengikuti wasiat Ayah.

Semasa hidup, almarhum dikenal terlalu santai dan suka bercanda. Bagi mereka, terlalu berlebihan jika kami memenuhi permintaan tak berdasar seperti itu. Namun karena Kal-el sangat yakin bahwa ayah memang sudah berpindah keyakinan ke satu aliran kepercayaan yang dia dapatkan dari petualangan terakhirnya entah dimana, aku tidak membantah.

Kanaya masih berpikir ini konyol dan terus memisahkan diri dari para tamu. Aku belum ingin mengusiknya dan lebih memusatkan perhatian pada Kefan yang menurutku masih terlalu muda untuk mengatasi kehilangan orangtua seorang diri. Meski kenyataannya, dia lebih kelihatan baik-baik saja dibanding kami berempat.

Saat tamu mulai mengundurkan diri, aku mencari-cari kesempatan untuk mendekati Moza. Dia tengah berada di kerumunan beberapa orang tamu yang tersisa, berbaur cukup akrab dengan mereka seperti tuan rumah. Padahal, aku hampir yakin selain dengan aku dan mama, Moza tidak punya alasan lain untuk berhubungan dengan keluarga ini. Melihatnya tidak canggung menghadapi tamu-tamu keluargaku menerbitkan keheranan di benakku.

Biarpun begitu, kuberanikan diri untuk menyapanya, dan kami mendapat ruang untuk berbicara berdua.

"Terima kasih sudah mau hadir, aku sangat, sangat menghargai kehadiran kamu," ucapku formal.

Moza mengerutkan alis, seakan ucapanku kurang tepat ditujukan padanya, tapi dia tersenyum juga pada akhirnya. "Nggak masalah," katanya.

"Aku nggak nyangka kita bisa bertemu lagi," kataku jujur. "It's been so long, right? Bagaimana kabarmu?"

"Baik," Moza mengangguk, meneguk minuman, kemudian mengangguk lagi. Memberiku kesan bahwa dia secanggung diriku saat ini. "So? How's Japan?"

"Awesome." Hanya itu jawaban yang bisa kuberikan, sebab otakku sibuk memikirkan pertanyaan apa yang sebaiknya kulayangkan kepadanya.

"Kapan kamu balik lagi ke sana?" tanya Moza lagi. Senyum kecil di bibirnya menampilkan lesung pipit yang membuatku teringat pada Shizu-Chan.

"Belum ada rencana," jawabku. "Aku sudah mengajukan resign saat pulang kemari, dan belum berencana kembali, karena ... kamu tahulah ... adik-adik membutuhkanku."

"Oh?" celetuk Moza, matanya membulat lucu saat bibir mungilnya melongo. "Kupikir kamu kembali karena mendengar berita ini."

"Hm? Bukan. Semuanya serba kebetulan. Aku memang berniat pulang dan tidak kembali, kupikir sudah saatnya aku berhenti bertualang." Aku menambahkan kekeh kecil di akhir kalimat, berharap Moza menerima sinyal bahwa aku berniat tinggal, dan aku akan berhenti 'bertualang'.

"Itu bagus," pujinya, yang mau tidak mau membusungkan dadaku. "Mungkin kamu lebih mampu menaklukkan Kanaya dan Kenang daripada ayah kalian dan Kal."

Huh? Bagaimana dia bisa terdengar seakrab itu menyebutkan mengenai Kanaya dan Kenang? Dan bagaimana dia tahu ayah dan Kal-el tidak cukup sanggup menaklukkan mereka berdua? Saat kami berpisah dulu, Kanaya dan Kenang sedikit pun tidak menunjukkan gejala bahwa mereka akan tumbuh menjadi berandalan.

Aku baru berniat menanyakan hal itu, tapi dari ekor mataku, kulihat Kal-el berjalan mendekat ke arah kami, sehingga aku menahan diri. Aku sama sekali tidak memikirkan kemungkinan apa pun saat Kal-el tersenyum hangat kepada Moza. Bahkan, saat mereka berdua berpelukan—dan berciuman—isi kepalaku malah terasa makin kosong.

Tatapanku menerawang hampa menyaksikan mantan kekasihku, membalas kecupan adik laki-lakiku, di depan mataku.

Apa yang terjadi? Ada apa ini?

"Kamu nggak apa-apa, kan, Sayang, aku tinggalin dulu?" Kal-el berbisik mesra di telinga Moza.

Gadis itu mengangguk, matanya melirik kikuk ke arahku yang berdiri di depan mereka seperti orang dungu. Mereka berciuman sekali lagi, lebih dalam, lebih mesra, lebih terasa menyakitkan di dadaku daripada ciuman pertama yang kusaksikan sebelumnya, kemudian Kal-el pergi. Tanpa repot-repot bicara sepatah kata pun, jangankan bicara, memandangku pun, tidak.

"Apa?" tanya Moza.

"Apa apa?" balasku.

"He didn't tell you, did he?" tanyanya lagi, kemudian dia tampak malu, menyisir rambutnya ke balik daun telinga dengan resah. "He told me that he had told you about us. He did, didn't he? He said you were fine with it. Didn't he tell you?"

Tidak. Kal-el tidak pernah membalas satu pun emailku selama lima tahun kami berpisah. There was no single chance that he was telling me. Ayahlah yang secara periodik mengabariku sedikit kabar tentang adik-adik. Bahwa Kanaya selalu nomor satu di kelas, Kenang atlit sepak bola di sekolah, Kefan anak yang baik, dan Kal-el mendapat sponsor untuk kuliah kedokterannya. Dia tidak pernah memberiku kabar buruk seperti kelakuan Kenang, kebiasaan merokok Kanaya, atau mantan kekasihku yang dipacari Kal-el.

Namun aku tidak ingin membuat Kal-el cemas, atau memberinya alasan untuk lebih membenciku.

"He did," untuk itu aku berbohong, cukup cepat sebelum Moza menyimpulkan sendiri. Supaya lebih meyakinkan, aku manambahkan, "He told me."

Moza menatapku dengan tatapan menyelidik, "Kamu nggak bohong?"

Aku menggeleng.

"Lalu kenapa kamu kelihatan sangat kaget barusan?" tanyanya.

"Aku cuma—lupa. Asal kamu tahu, Jepang sangat menuntut disiplin dan hasil kerja tinggi. Aku sangat sibuk dan mungkin aku tidak terlalu memperhatikan kabar Kal-el tentang kalian berdua. Tapi setelah kupikir-pikir, sepertinya ya, dia memang pernah memberi tahu."

"Oh ya?" Moza menyunggingkan senyuman miring. "Aku sama sekali tidak heran kalau kamu mengabaikan berita seperti itu begitu saja."

"Oh. aku nggak selalu seperti itu," sangkalku, merasa terpojok oleh kalimat Moza.

"Oh ya? Mungkin tidak selalu, tapi terhadap hal-hal yang berkaitan denganku, sepertinya kamu lebih mudah menganggapnya angin lalu. Benar, kan?"

Aku tahu dia masih sakit hati. Dari kalimatnya, jelas sekali dia masih menyimpan dendam terhadapku. Dulu, kami adalah sepasang kekasih yang manis. Hari-hariku berlalu penuh warna di sisinya. Sejujurnya, aku tidak ingat sebulat apa tekadku meninggalkan Indonesia, jika untuk itu aku sampai harus meninggalkan gadis yang sudah memenuhi hidupku dengan semerbak bunga cinta.

"Aku turut berbahagia," kataku, enggan menanggapi kalimat Moza yang terkesan menyindir dan memojokkanku.

"Semua tentang Kal-el memang selalu membuatmu lebih bahagia, bukan, Kenan?" Moza menanggapi.

Aku hanya bisa diam saat gadis itu mengiris langkahku, meninggalkan aroma manis parfumnya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro