Chapter 4. Astaga ...!

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Menurut gue sih jangan!"

Aku—entah sudah yang keberapa kalinya hari ini—terperangah. Kanaya mengisap rokok yang terselip di bibirnya, siapa yang mengizinkannya bersikap seperti berandalan di dalam rumah? Dan sejak kapan dia bersikap seperti itu?

"Aya, jangan ngerokok di dalam rumah!" Kal-el menghardik.

Jangan merokok di dalam rumah? Jangan merokok sama sekali. Dan apa yang terjadi dengan rambutnya? Kanayaku yang manis dan cengeng, apa yang sudah merasukinya sampai dia berubah menjadi anak punk begitu? Mulutku masih menganga, aku benar-benar tidak mampu memprediksi apa yang terjadi selama aku tidak ada.

"Apa yang terjadi pada rambutmu?" tanyaku, meluncur begitu saja, mengabaikan suasana berduka yang menyelimuti kami berlima.

Yang—sebenarnya—tidak terasa tengah berduka sama sekali. Ayah ada atau tidak ada sepertinya tidak membuat mereka mengendurkan urat syaraf. Awalnya aku trenyuh, tapi kalau aku pikir-pikir, apa yang membuatnya begitu tidak berhak mendapat setitik air mata dari adik-adikku? Bahkan air mataku pun ... tidak menetes.

Kanaya hanya mengernyit, seolah-olah aku tidak berhak bertanya seperti itu.

"She's trying hard to be punk!" sahut Kenang, terkekeh. Kanaya melempar tatapan penuh permusuhan kepada saudara kembarnya yang berpenampilan tidak jauh lebih baik. Kenang mengenakan tindik di telinga, rambutnya jabrik, nyaris pelontos di sisi kanan dan kiri kepalanya, dan dia belum mandi, padahal ini sudah hampir sore.

Aku yakin bau gosong babi panggang ini berasal dari ketiaknya yang mulai lebat oleh rambut.

"Apa yang terjadi di rumah ini?" gumamku, seperti itik yang tersesat.

Ketika aku mengatakan tidak ada yang berubah di rumah ini, itu tidak benar sama sekali. Begitu aku masuk rumah, anggapanku total kuralat. Rumah yang biasanya rapi dan bersih, berantakan seperti kapal pecah. Tumpukan majalah dan koran di mana-mana, piring kotor bertebaran di dapur, lukisan dan foto lama tampak berdebu dan usang.

"Siapa yang bertanggung jawab di rumah ini?" aku terang-terangan menatap Kal-el saat menanyakannya.

Pemuda tampan itu melengos, mendengus menyebalkan, lantas menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

"Kak Kal sudah tidak tinggal di rumah, Kak Ken," Kefan—si bungsu—tersenyum, suaranya lembut, melahirkan kembali harapanku yang nyaris runtuh melihat keluargaku dalam keadaan mengkhawatirkan.

Usianya kini menginjak 10 tahun, tapi pancar kedewasaan begitu terasa pada tutur kata dan raut wajahnya. Aku menggerakkan tangan, mengisyaratkannya agar mendekat.

Seperti harapanku, adik bungsuku itu demikian penurut. Aku memundurkan tubuhku hingga menatap sandaran sofa, membuka pahaku lebar-lebar supaya dia duduk di antaranya. Dan Kefan dengan senang hati melakukannya. Aku memeluk tubuhnya erat, membuatnya terkekeh senang, sekaligus membuat ketiga saudaraku yang lain memperlihatkan reaksi tidak menyenangkan. Melengos ke segala arah.

"Siapa tahu lo lupa, rumah ini masih punya ayah sampai dia meninggal," Kal-el beranjak dari duduk untuk membuka jendela lebar-lebar. "Jadi dialah penanggung jawab rumah ini," katanya, lantas mendekat pada Kanaya, dan mendorong kasar bahu gadis itu sampai merapat ke jendela yang terbuka. "Bukan gue," tambahnya.

Kanaya mengentakkan bahunya kesal.

Gadis-gadis memang mudah jadi pemberontak kalau mereka kurang perhatian. Aku menatap Kanaya dengan perasaan iba. Rambutnya disemir—merah, pink, hijau, ungu, pirang—warna-warni. Dia tampak seperti bendera kampanye equality berjalan dibanding kepala seorang gadis berwajah manis.

Sekolah macam apa yang mengizinkan siswa berpenampilan seperti itu belajar di sana?

"Selama gue ada di rumah, lo nggak ngerokok di dalam rumah!" Kal-el mencabut batang rokok dari bibir gadis itu dan mencampakkannya ke luar.

"Kamu seharusnya nggak ngerokok sama sekali, Aya!" aku menimpali. Komentarku membuat bibir Aya makin cemberut. Sambil membuang wajahnya ke luar, gadis itu melompat gesit, duduk di kusen jendela, kemudian menumpukan dagu lancipnya di atas lutut.

Aku menggeleng-gelengkan kepala, "Dan apa yang kamu lakukan pada rambutmu?" tanyaku sekali lagi, tidak bisa menahan diri.

"Itu paling hanya sementara," bisik Kefan, kepalanya bersandar nyaman di dadaku. "Mungkin kak Aya sedang diskors."

"DISKORS?!" teriakku tidak percaya.

Kanaya mendengus malas, "Dasar bocah penjilat sok tahu!" cemooh Kanaya pada si bungsu.

"You don't talk to your brother like that!" aku memperingatinya, mempererat pelukanku pada Kefan. Sejak dulu badan si bungsu lemah, dia mudah sakit, dan perasaannya pun serapuh tubuhnya. Wajahnya murung setelah dicaci Kanaya.

"Ya kayak gini ini kita kalau ngumpul," Kenang menyerobot dari atas bar stool sambil menyesap kola. "Kakak pikir kayak gimana? Tiba-tiba pergi, lalu tahu-tahu muncul, sekarang banyak komen soal bagaimana kami bicara satu sama lain," tandasnya sinis.

Aku menengadah, menahan air mataku jatuh di pipi. Kenang benar. Aku sudah lama menjauh dari mereka, dan pada hari pertamaku menjejakkan kaki di tanah kelahiran, secara tidak langsung aku harus menjadi penyebab kematian ayah. Kalau aku mengharapkan sambutan hangat dari adik-adik manis yang sudah kutinggalkan bertahun-tahun, maka aku tidak lebih dari seorang munafik.

Aku yang menelantarkan mereka di tangan seorang pria yang kutahu tidak bertanggung jawab, hanya untuk membuktikan betapa beratnya mengurus sebuah keluarga. Sakit hatiku karena kematian Mama yang diakibatkan oleh kecerobohannya, kini mengorbankan keluarga ini.

Selama ini, karena usiaku terpaut lumayan jauh dari adik-adikku, akulah satu-satunya orang yang membantu mama mengurus rumah dan mereka. Ayah bekerja entah dimana, pulang tidak tentu, dan sikapnya yang riang gembira, mengentengkan segala urusan, membuatnya tidak pernah memahami bagaimana anak-anaknya tumbuh dan berkembang.

Aku sudah tahu semua itu, tapi aku malah mengorbankan adik-adik, demi rasa jengkelku pada kehidupan ayah yang tidak terikat dan santai.

"Ayah sudah lama menganut agama lain," Kal-el menengahi. "Dia membuat wasiat supaya kita mengkremasi tubuhnya, dan membuang abunya ke laut."

Apa? Ya Tuhan.

Aku memijit pelipisku. Belum cukupkah kerumitan yang menyambut kedatanganku?

"Sejak kapan dia—ak—" kupotong sendiri kalimatku. Agar Kal-el melanjutkan rapat keluarga, aku mengibaskan tangan supaya mereka tidak mengacuhkan ketidakberdayaanku. Aku menghela napas berat, tak satu kata pun yang masuk ke telingaku. Yang terus bertabuh di benakku hanya betapa bodohnya ayah dan aku sendiri.

Maksudku, usianya sudah 50 tahun lebih. Untuk apa dia pindah keyakinan? Aku sendiri bahkan tidak terlalu mengerti apa fungsi dari keyakinanku. Namun kalau sudah begini, bukankah keputusannya hanya akan merepotkan orang banyak?

Pada saat kepalaku mulai pening, kurasakan jemari Kefan memijat tanganku lembut. Aku menatapnya. Dan pada detik itu juga kusadari, aku masih bisa berbuat sesuatu untuk si bungsu yang belum terkontaminasi.

Aku bahkan masih bisa mengembalikan Kanaya dan Kenang ke jalan yang benar, mereka masih bisa berubah.

Sedangkan Kal-el ... well ... tidak ada yang salah dengan Kal selain sikapnya yang dingin dan tak acuh terhadap orang lain. Jika saatnya tiba, dia mungkin akan menemukan pencerahannya sendiri. Yang jelas, aku tidak perlu mengkhawatirkan masa depannya.

"Menurut gue nggak usah dikremasi," seruan Kanaya membuatku kembali teringat bahwa kami sedang rapat. "Lakuin aja pemakaman sesuai kebanyakan orang. Lagi pula, ayah kan emang suka aneh-aneh. Gue yakin dia cuma becanda aja waktu bikin wasiat kayak begitu. Gimana gue mesti jelasin ke temen-temen kalau mereka nanya? Kenapa bokap lo dikremasi? Gue mesti jawab apa? Agama kita apa?!"

"Kalau menurut gue, lakuin aja. Itu permintaan terakhirnya, kan?" Kenang mengkonfrontasi. "Kenapa sih lo nentang banget, gembel? Kayak lo aja yang bakal ketiban repot, palingan juga lo nggak ngapa-ngapain. Dasar cewek!"

"Ya gue jelas malu, lah!" balas Kanaya, membentak. "Emang lo? Nggak ada yang peduli sama hidup lo. Temen-temen gue pasti ngerasa aneh, ngapain gue punya bokap meninggal aja pake dikremasi segala?"

"Itu karena temen-temen lo pikirannya sempit. Lo pikir, agama cuma punya kita doang? Lagian sejak kapan sih lo peduli? Sekalian aja lo nggak usah datang pas acara kremasi, pura-pura kayak nggak ada apa-apa! Selama ini juga lo kayak nggak punya Papa!"

Kanaya melompat turun dari kusen jendela, merangsek ke arah Kenang, tapi dihentikan oleh Kal-el. Meski begitu, mulutnya tetap meracau. "Oh. Jadi sikap lo lebih baik dibanding gue, gitu? Nggak usah sok cari perhatian deh di depan orang-orang! Dan nggak usah pura-pura baik-baik aja selama ini!"

"Lo lagi PMS?" tanggap Kenang tenang.

Kanaya menggeram seperti siap menerkam. Aku syok di tempatku duduk. Keringat dingin mengucur di keningku.

Kulihat Kenang hanya menghela napas, "Ngatain semua orang cari perhatian. Kalo gue lihat-lihat, lo yang sedaritadian cari perhatian!"

"Oke. Berhenti," Kal-el mendesis, tangannya masih melingkar erat di pinggang Kanaya yang tidak mau berhenti memberontak.

"Gue? Nyari perhatian siapa?"—matanya melirik ke arahku—"Nggak ada gunanya! Nggak ada yang peduli sama kita bertahun-tahun. Ngapain gue mesti cari perhatian?!"

"Tepat! Ngapain lo mesti ngotot teriak-teriak kalau lo nggak nyari perhatian? Ke siapa? Kak Kenan, mungkin? Kan lo yang selalu bilang dulu, kita nggak butuh ayah, kita butuhnya Kak Kenan. Kak Kenan yang bikin kita kayak gini. Lupa? Oh gue inget. Pasti bahan kimia rambut lo bikin amnesia. Ya k—"

"CUKUP!!!"

Bentakan Kal-el membuat ruangan senyap seketika. Termasuk aku. Dengan gusar, aku hanya bisa menyandarkan kepalaku di punggung sofa. Napasku terembus berat.

Astaga ... apa yang sudah kulakukan? Dulu, di rumah ini, tidak seorang pun berteriak. Meski ayah nyaris tidak pernah hadir di antara kami, meski aku dan Kal tidak pernah akur, tapi kami tidak saling berteriak.

Singkatnya, rapat hari itu berakhir dengan pengambilan suara terbanyak. Ayah akan dikremasi sesuai wasiat yang dia tinggalkan. Kenang dan Kanaya terlibat adu mulut hebat yang membuatku stress berat seusai rapat, terlebih karena aku melihat Kal-el—kecuali bentakannya barusan—menanggapi perkelahian brutal mereka dengan teramat santai, sementara dua berandalan itu tidak mengindahkan perintahku untuk masuk ke kamar masing-masing dan instrospeksi diri.

Aku tidak punya pengaruh apa-apa di rumah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro