Chapter 3. Kejutan Pertama

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak tahu kenapa tidak seorang pun datang menjemput. Rasanya aku sudah mengirimkan scan tiketku ke email Ayah. Apa dia masih seceroboh dulu? Entah berapa kali dia salah membaca jadwal turnamen bola untuk memberiku semangat saat aku masih SD, atau datang dua jam lebih lambat saat menghadiri upacara kehormatan untuk siswa berprestasi di mana Kal-el selalu menjadi nomor satu.

Kemana Kal-el dan yang lain? Apa mereka terlalu sibuk untuk menyambutku? Sudah lima tahun kami berpisah, kenapa mereka tidak menyisihkan waktu untuk sekadar menjemput? Oh sudahlah. Mungkin mereka berharap aku sudah duduk nyaman di rumah saat mereka pulang dari beraktivitas.

Kanaya mungkin akan memelukku karena rindu yang meluap, dan aku akan membusungkan dada dengan pongah, bertanya apakah dia membutuhkan jalan-jalan ke Bangkok atau Singapura sebagai hadiah ulang tahunnya bulan Juni nanti. Aku tidak sabar ingin mengacak rambut Kal-el yang selalu rapi, mungkin wajahnya yang dingin itu akan menghangat saat melihat kembali kakaknya setelah bertahun-tahun berpisah. Aku mengira-ngira bagaimana reaksi Kenang. Kefan jelas akan melompat dan memintaku menggendongnya.

Dan Ayah ... Ayah ... mungkin aku akan membalas pelukannya, kalau dia memelukku. Kemudian malam harinya, saat anak-anak sudah tidur, aku akan mengajaknya menikmati sekaleng bir sambil membicarakan masa lalu. Ini akan jadi malam yang emosional dan mengharu biru. Aku sudah siap meminta maaf.

"I really don't know how you guys treat our stuff! It's all bloody mess!"

Kuputuskan untuk membiarkan saja roda koporku patah. Wanita berkebangsaan Kanada itu sudah cukup meneriaki petugas maskapai dengan brutal. Padahal, dia salah sasaran. Petugas maskapai tidak mengurus bagasi penumpang, bandaralah yang bertanggung jawab. Aku melewatinya setelah melempar senyum, tapi wanita itu tidak tampak ingin berdamai.

Kalau tidak salah Jakarta tidak sepanas ini tujuh tahun yang lalu. Masih di dalam bandara saja aku merasa kegerahan, entah bagaimana udara di luar. Tanpa repot-repot berbelok ke kamar kecil, aku menanggalkan sweat shirt, dan membiarkan begitu saja bagian atas tubuhku hanya berbalut kaus putih polos yang biasa kukenakan pada musim panas di Jepang.

Paling tidak, aku menemukan taksi dengan mudah begitu melangkah keluar dari terminal kedatangan. Di Jepang, aku hampir tidak pernah memakai taksi, kecuali perusahaan mengganti ongkosnya. Ongkos taksi di sana luar biasa mahal, semua orang berhenti di stasiun terdekat dari tempat mereka tinggal atau bekerja, berpindah ke kereta bawah tanah, atau berjalan kaki sampai tempat tujuan. Kadang, aku menyimpan sepeda, tapi lebih sering berjalan kaki.

Setelah menyebutkan nama jalan, aku dibawa menembus jalanan kota yang macet dan bising. Biarpun Jakarta bukan tempat baru bagiku, tapi aku seperti orang asing di negeriku sendiri. Aku tidak bisa berhenti membandingkan kondisi negara ini dengan negara yang kutinggali lima tahun terakhir.

Sesampainya di rumah, aku lebih terkejut lagi mendapati rumah dalam keadaan kosong.

Terpaksa aku menanti di teras. Ponselku tidak berfungsi di Indonesia. Aku tidak lagi bisa memastikan apakah kawan-kawan lamaku masih tinggal di sekitar sini untuk kumintai bantuan. Kuputuskan untuk menunggu, hari sudah mulai gelap, mungkin mereka akan segera kembali.

Rumah ini benar-benar tidak berubah.

Pohon mangga tua itu masih berdiri kokoh di halaman. Kursi taman yang terbuat dari besi berukir inisial nama ayah dan mama, masih terpatri di bawah pohon. Segaris senyum terbit di bibirku tanpa sengaja kubuat ketika memoriku menayangkan kembali saat-saat dimana kami berlima biasa menghabiskan sore bersama.

Kal-el duduk di teras ini dengan bukunya. Kanaya dan Kenang bermain kejar-kejaran. Sedangkan aku memangku Kefan kecil sambil mengelus-elus rambutnya yang halus, membujuknya agar segera tidur. Mama akan mengawasi kami dari balik kaca ruang tamu. Ayah tidak ada di antara kami, dia selalu ada perjalanan bisnis.

Atau petualangan bisnis.

Aku melenguh. Demi apa dulu aku pergi sejauh itu untuk bekerja? Meninggalkan adik-adik yang membutuhkan kehadiranku pada saat kami baru saja kehilangan mama? Kal-el mengutukku tidak bertanggung jawab, tapi kuabaikan, toh kami memang tidak pernah akur. Dia selalu menemukan satu dan lain hal yang bisa dia gunakan untuk mencemburuiku. Saat itu kupikir, suatu hari dia akan mengerti, tanpa harus kujelaskan.

Ada satu rahasia yang selalu kusembunyikan dari adik-adikku selama ini. Aku hanya berharap suatu hari ayah memiliki keberanian untuk berkata jujur.

Kesalahan terbesarku adalah tidak menghubungi Kal-el dan yang lain selama aku tinggal di Jepang. Aku menghukum ayah dengan melimpahkan semua tanggung jawab menjaga mereka. Akhir-akhir ini aku menyadari, aku bukannya menghukum Ayah, tapi justru membuat diriku menjadi sosok yang paling dibenci.

Selama ini Jepang, dengan pekerjaanku yang baik, kekasihku yang sempurna, dan kehidupanku yang menyenangkan, menjauhkanku hingga tak terjangkau dari keluargaku. Ketika kebahagiaan itu runtuh, aku menyadari apa saja yang sudah kubuang dengan tanpa perasaan. Yang muncul di benakku setelah kegagalan besar dalam bercinta adalah menebus waktu kebersamaan kami yang hilang, dan tak akan kembali.

Sesudah satu jam lebih menunggu, akhirnya sebuah mobil memasuki halaman rumah. Serta merta, aku berdiri dari duduk, menyiapkan senyum terlebar yang kupunya. Kusingkirkan segala khawatir yang hinggap baru saja dan kuganti dengan wajah ceria. Aku menghambur mendekat saat lampu mobil dimatikan. Akan tetapi, sampai aku berdiri di sisi pintu, tidak seorang pun keluar dari mobil, atau menyongsongku.

Sebagai gantinya, kaca jendela mobil perlahan turun.

"Kal!" seruku ceria. Wajah tampannya yang masam muncul dari balik kaca. Alisnya masih mengerut seperti terakhir kali aku mengingatnya. Di hidungnya, bertengger kacamata yang menambah serius penampilannya. Aku merindukan Kal-el teramat sangat, adik lelaki pertama yang sangat kubanggakan, hingga aku tidak berpikir mengapa dia bergeming di balik kemudi, bukannya memelukku.

"Hei," balas Kal-el pendek.

Sambil mengayun tubuh ke arah pintu penumpang dan membukanya, Kal-el tampak memaksakan senyuman. Suasana canggung tidak bisa kami hindari, apalagi ketika aku sudah duduk di sampingnya, tapi tetap tidak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan.

Kal-el menghidupkan kembali mesin mobil.

Aku menyayangkan sikap dinginnya, tapi merasa tidak punya hak untuk berkeberatan. Kal sudah dewasa saat aku pergi, kami terlibat dalam perkelahian sengit di malam sebelum kepergianku. Dia marah karena aku bersikeras pergi, padahal mereka justru sedang sangat membutuhkanku. Sepertinya, dia belum bisa memaafkanku.

"Kemana yang lain?" aku bertanya.

"Kenapa lo kembali?" dia balas bertanya.

Aku menatap sisi kiri wajahnya. Kaku. Rahangnya yang tegas tampak keras, kuduga giginya gemeretak di balik pipinya.

"Lupakan saja," ucapnya lagi, kali ini sambil memundurkan mobil untuk keluar dari halaman, kembali ke jalan utama.

"Aku harus memasukkan koporku ke dalam," kataku, berusaha mencegah.

"Nggak akan hilang," tukas Kal-el ketus.

"Kal-el, kita akan kemana?" tanyaku lagi, kali ini aku menggunakan suara yang terdengar dalam dan serius, berusaha membuat Kal-el tahu kesungguhanku dalam bertanya.

Mobil Kal-el meluncur di jalan raya, seraya membenarkan letak kaca spion agar dia bisa melihat bagian belakang mobil dengan lebih jelas, dia mendengus, "Bukannya tadi lo nanya di mana yang lain?"

Aku sedang tidak ingin berdebat, meski aku berharap disambut lebih hangat. Akan tetapi mungkin saja ini bagian dari kejutan penyambutan. Siapa lagi yang pantas menjemputku, membuatku berpikir aku tengah diabaikan, padahal mereka sedang menantiku di pesta—misalnya—selain Kal-el? Dia paling pintar membuat seseorang merasa tidak berarti.

"Ayah mengalami kecelakaan saat menjemputmu tadi sore, karena itu dia tidak datang ke bandara," Kal-el memberitahu secara gamblang dengan suara kelewat tenang.

Aku terperangah, "Astaga, Kal-el. Dia baik-baik saja, kan?" tanyaku cepat.

Sementara aku masih tersentak--kaget bukan main—Kal-el menatapku sepintas, "Nggak. Dia meninggal."

Huh? Meninggal?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro