Chapter 2. Leaving The Land of the Rising Sun

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Fujiwara-kun, saya serahkan semua kepadamu, ya? Haik. Arigatho gozaimashita! Haik!"

Aku tersenyum lebar sekali seakan matahari terbit di wajahku. Dengan penuh semangat, aku melompat turun dari monorail yang menghubungkan stasiun Tokyo dengan Bandara Haneda. Aku tiba tepat waktu, hanya beberapa menit lagi loket check in akan dibuka. Aku akan segera meninggalkan negeri matahari terbit, berkumpul kembali dengan adik-adikku. Kutarik sebuah troli dan kutata barang bawaanku di atasnya.

Aku hanya membawa beberapa surat penting dan baju ganti. Memenuhi total bagasi sebanyak 20 KG. Sisa harta benda yang masih bisa kubawa pulang sudah kukemas dan kukirim menggunakan jasa pengiriman. Kuminta Fujiwara Masara, tetangga apartemen sekaligus kawan minumku, mengurus dan mengawasinya sampai kuterima di Indonesia.

Sisa gajiku sudah kuterima dalam bentuk cek dan kucairkan dua hari lalu. Aku sudah mengirim bingkisan selamat tinggal kepada kolega dan kawan-kawan baik, terutama Ryuuji Senpai atas bantuannya selama bekerja di bawah pengawasannya. Jepang adalah negara yang ketat dan luar biasa disiplin, seseorang harus tahu kapan mereka membungkuk atau berterima kasih, tetapi juga merupakan negeri yang hangat dan ramah. Aku pasti akan kembali suatu hari nanti.

Shizu-Chan juga menelepon semalam, dia menangis tersedu-sedu. Namun, aku hanya bisa menenangkannya melalui telepon dengan berat hati, aku bahkan menolak kunjungannya. Aku tidak ingin memaafkannya, terlebih lagi, aku tidak ingin berubah pikiran. Aku masih sangat menyayanginya, aku tahu tidak akan sanggup melihat wajah sedihnya. Walaupun sesungguhnya aku lebih tidak kuasa membayangkannya berada dalam pelukan lelaki lain. Mungkin sekarang ini kebencianku lebih besar daripada rasa sayangku, dan aku tidak ingin dia melihat itu.

Untuk apa meninggalkan kesan buruk sebelum perpisahan, bukan?

Setelah melewati petugas imigrasi tanpa halangan apa pun, aku berjalan santai menuju ruang tunggu. Berhenti sejenak di sebuah vending machine untuk membeli kopi terakhirku di negeri Sakura. Sayangnya, tidak ada kopi hangat di ruang tunggu. Tidak apalah, aku bisa membeli sesuatu di atas pesawat nanti. Lagi pula tidak ada notifikasi delay, seharusnya aku bisa segera masuk pesawat dalam setengah jam.

Aku membeli tiket paling murah, karena ini sudah arus balik libur natal dan tahun baru. Rate ticket memang agak mahal untuk keluar dari Jepang. Pesawat ini akan transit selama beberapa jam di KLIA2, lantas melanjutkan perjalanan ke Jakarta, yang memakan waktu satu jam. Kemungkinan aku akan sampai di Jakarta antara siang atau sore hari.

"Ah! Biar saya bantu, Obaa-San!"

Aku menyahut barang bawaan nenek-nenek tua yang duduk satu line denganku. Kusimpan baik-baik cabin bagage-nya di overhead compartment kemudian baru kujejali dengan bawaan tanganku. Nenek itu mengangguk beberapa kali sambil mengucap terima kasih, dan baru puas setelah aku membalas membungkuk dalam jumlah yang sama.

Jepang mengajarkanku bagaimana menghormati orang tua, orang cacat, dan wanita hamil. Mereka tidak beramah tamah dengan ucapan, melainkan dengan perbuatan. Pertama kali aku menginjakkan kaki di Tokyo, aku terpukau dengan bagaimana orang-orang sini begitu tulus membantu. Dan jika mereka menerima bantuan, mereka akan melakukan segala daya dan upaya untuk membalas budi baik si pemberi bantuan.

Jika mereka tidak bisa membantu, raut wajah mereka akan tampak sangat menyesal. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka akan membantu kita menanyakannya kepada orang lain.

Pada minggu-minggu awal kedatanganku, aku merepotkan banyak sekali orang. Tidak sedikit dari mereka menunjukan arah dengan berjalan bersamaku sampai tempat tujuan karena tidak banyak yang lancar berbahasa Inggris. Tetangga apartemenku semuanya orang baik. Setiap kali mereka bepergian, selalu ada buah tangan untuk dibagikan. Tidak heran, Jepang begitu tersohor dengan toko cindera mata. Tradisi ini, mau tidak mau, kuikuti dan aku aku sangat senang melakukannya.

"Mau kemana, anak muda?" Nenek itu duduk di tepi jendela, aku di tengah, sementara seorang lagi di sisi aisle sudah menutup wajah dengan topi menandakan tak ingin diganggu.

"Indonesia," jawabku gagah. "Obaa-San kemana?"

"Kuara Rumpuru," beliau menjawab dengan senyum ramah, meski susah payah.

"Mengunjungi anak cucu?"

Beliau mengangguk sekali lagi, lantas mengambil sesuatu dari lipatan kimono sederhananya. Dia menunjukkan selembar foto kepadaku.

"Ini anak sulungku beserta istri dan anaknya. Namanya Sadou. Istrinya orang lokal, namanya Siti Raira," dia menjelaskan. Maksudnya Siti Laila. Orang Jepang tidak punya huruf L dalam kosakatanya. Aku mengangguk antusias. "Anaknya lucu-lucu, bukan? Yang laki-laki namanya Saito, yang perempuan bernama Benio."

"Iya. Lucu sekali, Obaa-San!"

"Apa yang kamu lakukan di Indonesia? Pulang kampung? Kita harus bertemu lagi kalau kamu pulang ke Tokyo," ucap Nenek tulus.

"Tentu saja. Saya akan mampir dengan senang hati, tapi ... mungkin tidak dalam waktu dekat."

"Oh? Kenapa?"

"Saya sudah berhenti bekerja, Obaa-San. Adik-adik membutuhkan saya!" kataku yakin.

Ya, aku yakin. Di email yang kukirimkan pada ayah, dia bilang sangat mengharapkan kedatanganku. Kami berbicara banyak beberapa hari terakhir ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Aku sengaja menyimpan permintaan maafku sampai tiba pertemuan kami.

"Ya, itu baik," celetuk Obaa-San. "Kamu bisa mencari uang dari mana pun. Keluargalah yang paling penting!"

Aku mengangguk dalam. Setuju sepenuh hati.

"Oh!" seruku, mungkin aku harus bergantian memperkenalkan pada nenek siap saja anggota keluarga kami. Aku mengambil selembar foto dari dompet dan kusodorkan padanya. "Ini kami. Tujuh tahun yang lalu," tukasku.

Nenek mengenakan kacamata yang disimpannya di lipatan kimono, mengerutkan alis, lantas memindai satu per satu wajah dalam foto itu.

"Kami lima bersaudara," aku memulai. Suaraku terdengar riang dan berisik, tapi aku tidak ambil pusing. "Ibu kami sudah meninggal lima tahun yang lalu. Satu bulan sebelum saya pindah ke Jepang. Ini saya, Obaa-San. Bagaimana saya? Keren, kan?"

Nenek tertawa kecil, mengangguk-angguk membenarkan.

"Ini sebelum saya lulus kuliah, usia saya baru 21 tahun. Nah ini. Ini Kal-el. Putra kedua. Meskipun wajahnya seperti pemarah, tapi sebenarnya dia anak yang baik. Dia juga sangat pandai. Nilai-nilainya di sekolah sangat memukau. Sekarang dia sedang kuliah kedokteran. Atau mungkin juga sudah lulus. Lihat. Dia tampan juga, kan? Di antara kami berempat siapa yang paling tampan, Obaa-San?"

"Wah ... sulit menentukan, tapi sepertinya kamu paling bijaksana."

Aku tertawa senang, "Obaa-San bisa saja. Kal-el memang lebih tampan, tapi saya juga tidak kalah, kan?" Kami berdua tertawa, membuat lelaki yang duduk di samping kiriku mengerang. Aku memelankan suara. "Ini Kanaya dan Kenang."

"Mereka kembar?"

"Iya. Kembar laki-laki dan perempuan. Waktu saya pergi, mereka baru 12 tahun."

Aku terdiam sesaat, tidak bisa tidak, mataku menerawang menapaki jejak-jejak masa lalu.

"Kanaya"—aku melanjutkan, setelah menghela napas panjang—"menangis sampai ingusnya mengotori baju saya saat perpisahan. Dia cengeng sekali, kami bergantian mengantarnya ke sekolah karena selalu digoda teman-teman sebayanya. Sedangkan saudara kembarnya, Kenang—yang mengenakan seragam polisi mainan ini—anak yang sangat bandel. Tapi mereka semua cerdas, Obaa-San. Lalu ini. Ini Kefan. Si bungsu. Dia dekat sekali dengan saya. Saya pahlawan buatnya, karena Ayah jarang sekali pulang ke rumah ...," kalimatku terhenti di sana. Mengambang. Seperti memoriku yang selalu tertambat jika aku mulai mengingat Ayah.

"Sudah lima tahun kami tidak berjumpa, saya agak bingung bagaimana harus bersikap setelah sekian lama tidak berjumpa. Sepertinya, harus benar-benar tampak bijaksana, berwawasan luas, supaya mereka mengagumi saya seperti dulu. Benarkan, Obaa-San? Obaa-San?"

Kepala nenek terjatuh di atas bahuku. Wanita tua itu tertidur justru pada saat aku membutuhkan sarannya. Dengan hati-hati, aku memasangkan jaket yang kugulung menyerupai bantal untuk menahan kepalanya agar tidurnya nyaman. Aku sendiri lantas melamun membayangkan seperti apa rupa adik-adikku saat mereka menyambutku di bandara.

Kemudian aku ikut tertidur bersama Obaa-San.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro